Cahaya matahari pagi menerobos tirai jendela berwarna abu-abu di kamarku. Sinar lembutnya menimpa tubuhku yang menggeliat di atas spring bed. Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Beradaptasi dengan cahaya yang membuat mataku silau.
Aku mengangkat tubuhku dengan susah payah. Rasanya aku baru saja memejamkan mata, sekarang mentari sudah membangunkanku dengan paksa. Kulirik jam dinding di kamarku. Pukul tujuh pagi.
Aku jelas-jelas sangat kesiangan, tetapi syukurlah hari ini adalah hari libur. Tidak ada pekerjaan mendesak yang harus kukerjakan selain pergi ke coffee shop untuk membantu Ayah. Aku beranjak dari tempat tidurku menuju kamar mandi.
Sebelum tubuhku sempurna hilang di balik pintu kamar mandi, aku menatap sekilas tubuh Ara yang menggeliat gelisah. Ia menutup tubuhnya dengan selimut tebal berwarna abu-abu. Entah kapan dia akan bangun.
Aku menatap pantulan diriku di standing mirror yang berada di ruang tamu. Enam bulan belakangan berat badanku turun secara berkala. Lihatlah! Tubuhku semakin kurus dan ringkih. Kantung mataku terlihat sangat mengganggu. Hanya rambut panjangku saja yang sepertinya tidak banyak berubah.
Aku mengenakan kaus oblong lengan panjang berwarna hitam polos dipadu dengan celana jeans berwarna senada. Tubuhku dibalut trucker jacket berwarna army peninggalan seseorang yang sangat penting. Benda yang tidak pernah aku tinggalkan ketika pergi. Karena dengan jaket inilah aku bisa merasakan kehadirannya.
“Ara! Aku pergi ke coffee shop. Pintu rumah jangan lupa dikunci!” teriakku.
“Iya, nanti aku kunci.” Suara Ara terdengar serak khas orang yang baru bangun tidur.
Aku menutup pintu kayu berwarna putih bersih. Meninggalkan rumah dengan langkah pelan. Menyusuri jalanan yang lengang. Aku menuju halte bus yang berjarak dua ratus meter dari rumah.
Satu tahun yang kembali kelabu setelah satu tahun yang menakjubkan. Pergi ke coffee shop setiap hari libur, kuliah, pulang, membantu kedua orang tua, sesekali berkunjung ke rumah teman, menatap senja di halte bus setiap sore tiba dan istirahat ketika lelah.
Hanya seperti inilah rutinitas harianku. Tidak ada semangat yang menggebu. Aku menjalani semua ini ala kadarnya. Bertahan selama mungkin, sampai Tuhan berkata waktunya sudah usai.
***
Aku tiba di coffee shop pukul setengah sembilan. Kudorong pintu kaca yang mengkilap. Suasana vintage langsung terpancar di interior coffee shop milik Ayah. Lantai berupa ubin kayu berwarna cokelat tua. Furniture dan ornamen dekorasi berbahan kayu yang memiliki serat besar.
Langit-langit datar khas rumah mid-century berbahan kayu. Meja-meja bundar tersusun rapi dengan dua kursi berbahan kayu. Sementara di dekat jendela kaca, dua meja panjang berdiri kokoh dengan kursi-kursi bundar yang berjejer. Vas bening berisi bunga mawar merah menghiasi setiap sudut ruangan.
Aku berjalan pelan menuju meja barista. Seorang laki-laki dengan tubuh tinggi gagah menggunakan apron barista berwarna cokelat muda dan hitam. Dia adalah barista sekaligus ayahku. Ayah sedang membuat latte art dengan bentuk hati di atasnya.
Ayah menguasai sajian kopi secara keseluruhan, mengetahui detail bahan biji kopi yang dia sajikan, memiliki pengetahuan tentang origin dan proses biji, tingkat roasting dan efeknya pada kopi. Memahami profile karakter rasa serta luas wawasannya tentang kopi.
Dan itulah yang sekarang coba ia tularkan padaku. Sejak dua tahun belakangan ini aku sudah banyak belajar, meskipun memang belum semahir Ayah. Tetapi itu sudah cukup membuat Ayah memercayakan aku untuk berdiri di belakang mesin espresso.
“You’re awesome barista!” ucapku takjub.