Semestaku Sebelum dan Sesudah Dia Datang

Niken Karsella
Chapter #4

Halte Bus

Pukul lima sore. Matahari sudah bersiap dipeluk oleh ufuk barat. Aku duduk di halte bus yang lengang. Menatap takzim langit yang mulai berwarna jingga. Angin sore membuat rambut panjangku yang dikucir kuda beterbangan. Beberapa kendaraan berlalu lalang, tetapi itu tidak mengganggu rutinitasku. 

Kepalaku masih belum bisa melupakan kalimat Selly di coffee shop tadi siang. Aku tahu seseorang yang penting itu tidak akan pernah kembali lagi. Tetapi apakah salah jika aku masih merasakan kehadirannya dengan menatap senja di halte bus ini?

Namanya Langit. Tubuhnya tinggi dengan kaki jenjang. Wajahnya tampan dan begitu meneduhkan. Senyumnya merekah indah ketika pertama kali bertemu di halte bus ini. Rambut hitamnya tersisir rapi. Langit adalah—

“Hai, Jingga.”

Astaga. Lagi-lagi suara bariton itu menginterupsi narasiku sore ini. Pemuda berambut merah tembaga terang yang berantakan itu sudah duduk di sebelahku. Dia menatapku lamat-lamat dan kemudian tersenyum. Dasar aneh! Aku membuang muka. 

“Sekali lagi aku tanya, kenapa kamu tau namaku?” tanyaku kesal.

“Sebelumnya aku minta maaf, Jingga. Kemarin kamu pakai name tag, dan jelas sekali disana ada tulisan Jinggani Athalla,” jawab pemuda itu santai.

Astaga. Aku baru mengingatnya, name tag itu kupakai karena kelas Statistika di kampus, dan aku lupa melepaskannya. Aku menyelidiki wajah pemuda aneh itu. Dia terlihat seperti manusia biasa. Aku pikir dia waras. 

“Terus tentang tempat tinggal, anak siapa, dan—

“Kamu tinggal di bumi, anak ayah dan ibumu. Dan yang pasti kamu kuliah di sebuah Universitas. Iya, kan?” Pemuda itu menaikkan salah satu alisnya

“Hal seperti itu bukan hanya kamu yang bisa menjelaskannya. Anak kelas satu SD saja tau. Dasar pembohong!” ucapku ketus. Jawaban pemuda aneh itu tidak kuinginkan sama sekali. Jelas sekali dia sedang mengarang. 

“Bohong? Terserah, yang penting aku sudah menjawab pertanyaanmu,” jawabnya santai.

Menilik dari wajahnya sepertinya dia tidak berbohong. Kemarin mungkin hanya iseng-iseng ingin menggangguku. Tetapi selebihnya aku tidak tahu, dan sebenarnya aku tidak mau tahu. Untuk apa aku sibuk memikirkan pemuda yang tidak aku kenal? Membuang-buang waktu saja. 

Aku menggeser posisi dudukku. Kembali menatap langit yang semakin jingga. Aku beruntung hari ini, warna jingganya bertemu dengan warna kemerahan yang memukau. Akan lebih beruntung lagi jika pemuda dengan rambut merah ini tidak ada disini. Kehadirannya membuat aku tidak berkonsentrasi.

“Kamu lagi galau, ya?” tanya pemuda itu tiba-tiba.

“Sebelumnya aku minta maaf. Aku tidak mengenalmu sama sekali. Dan aku tidak suka jika kamu ada disini. Kamu sangat menggangguku,” ucapku memberitahu. Aku tidak peduli jika dia akan merasa tersakiti karena ucapanku barusan. 

“Kenalin, namaku Magenta Cakrawala. Kamu bisa panggil aku Genta.”

Lihat selengkapnya