Pukul sebelas malam. Mataku masih terjaga sejak satu jam yang lalu. Aku duduk bersandar di sandaran spring bed. Ara sudah tidur pulas di sampingku. Iya. Karena kamar tidur di rumah ini hanya ada dua. Jadi, aku harus berbagi tempat tidur dengan Ara. Sementara Aldava tidur dengan kedua orang tuaku di kamar sebelah.
Aku sudah berkali-kali memejamkan mata. Menutup seluruh tubuhku dengan selimut tebal. Menghitung domba, seperti yang orang-orang katakan agar bisa tertidur. Tetapi mataku tidak juga ingin menutup. Seperti ada bebatuan yang mengganjal.
Kepalaku dipenuhi oleh kalimat-kalimat yang diucapkan pemuda bernama Genta itu. Aku tidak tahu dia hanya menebak-nebak saja atau memang mengetahui tentang kehidupanku. Tetapi jujur, aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan pemuda itu. Kemarin adalah pertemuan pertama dengannya.
Pemuda itu marah-marah tidak jelas padaku. Padahal dia bukan siapa-siapa, hanya orang asing yang benar-benar menyebalkan. Apa urusannya bicara tentang buang-buang waktu? Lagipula aku hanya menghabiskan waktu satu jam disana. Dari mana dia tahu tentang seseorang yang sudah meninggal dalam hidupku?
Lagipula aku tidak mengganggu siapapun, orang-orang yang selama ini sering menemuiku juga tidak ada yang keberatan. Dia adalah orang pertama yang dengan percaya diri dan tanpa rasa bersalah mengusik rutinitasku.
Namanya Magenta Cakrawala, itu yang dia ucapkan. Rambutnya berwarna merah tembaga terang dan berantakan. Gurat wajahnya keras dan garis rahangnya kuat. Alisnya tebal dengan tahi lalat di ujung mata sebelah kanan. Tubuhnya tinggi dengan dada bidang.
Aku tidak ingat kapan aku berbaring dan tertidur pulas. Mataku terpejam setelah lelah memikirkan kejadian di halte bus. Semoga hari-hari berikutnya dia tidak lagi datang.
***
Pukul lima sore. Aku melangkah turun keluar dari dalam bus. Itu adalah bus terakhir yang beroperasi hari ini. Sepanjang perjalanan aku merapal doa dalam hati. Berharap pemuda aneh itu tidak menemuiku lagi hari ini. Semoga pertemuan kemarin itu hanya kebetulan.
Baru satu langkah aku berjalan menuju tempat duduk di halte bus. Mataku menangkap pemuda aneh itu tengah duduk santai. Sepertinya dia sudah memperhatikanku sejak aku turun dari bus. Ia tersenyum lebar padaku. Wajahnya tanpa dosa. Seolah kemarahan kemarin itu tidak pernah terjadi.
Aku memutar bola mataku malas. Aku benar-benar tidak ingin bertemu apalagi bertengkar dengan pemuda aneh itu. Baiklah, hari ini aku memutuskan untuk tidak menatap senja di halte bus. Aku berjalan cepat melewati pemuda itu.
“Hai, Jingga.”
Dia berdiri di sebelahku. Aku tidak menanggapinya, apalagi menatap wajah menyebalkannya itu. Tiba-tiba dia berdiri di hadapanku, menghalangi jalanku. Aku mendongak. Menatap iris matanya yang berwarna abu-abu.
Hei! Kenapa mata abu-abunya begitu familiar? Ada sesuatu yang tiba-tiba mengganjal hatiku. Sebuah keganjilan yang tidak bisa aku jelaskan. Aku menatapnya lamat-lamat. Sepuluh detik. Aku menggeleng tegas. Kenapa pula aku jadi memikirkannya?
“Aku minta maaf soal kejadian kemarin,” ucap pemuda itu pelan.
Aku menatapnya sekilas dan berjalan cepat meninggalkannya. Tetapi lagi-lagi dia mengejarku dan menghalangi langkah kakiku. Aku menghela napas kesal.
“Aku salah. Aku sudah asal-asalan berbicara tentang kehidupanmu. Aku sudah berteriak-teriak dan marah padamu. Aku minta maaf.”
Pemuda itu bicara serius. Wajahnya terlihat merasa bersalah. Rambut merah berantakannya diterpa angin sore. Dia masih menunggu jawaban dariku. Kenapa dia harus meminta maaf? Aku sungguh tidak peduli. Aku hanya ingin dia tidak datang lagi.
Sekali lagi aku hanya membisu. Menutup mulutku rapat-rapat dan kembali berjalan. Aku berharap dia lelah dan berhenti mengikutiku. Tetapi aku salah besar. Sekarang dia mencekal pergelangan tanganku.
“Lepasin tangan aku!” Aku berseru ketus. Dia segera melepaskan tangannya.