Semestaku Sebelum dan Sesudah Dia Datang

Niken Karsella
Chapter #6

Mahasiswa Kupu-kupu

Aku berjalan pelan menyusuri gedung kampus yang berdiri kokoh. Beberapa mahasiswa berlarian menuju gedung yang ada di seberang, aku menatap mereka sekilas. Mungkin dosen sudah tiba di kelas atau apalah yang membuat mereka terburu-buru.

Sepanjang perjalanan aku lebih banyak menunduk, menghindari kontak mata dengan siapapun. Setelah suasana sedikit lengang, aku menatap pohon palem putri yang berjejer di depan gedung. Beberapa bunga tampak layu dan menguning. Embusan angin menerpa rambut panjangku. 

Lima menit berjalan akhirnya aku tiba di gedung tempat kelasku berada. Tempat parkir mahasiswa baru terisi seperempatnya. Aku memang datang setengah jam lebih cepat. Aku lebih suka suasana hening dan damai, ketika telingaku mampu mendengar gesekan dedaunan kering yang berjatuhan. 

Aku melangkah masuk ke kelas yang masih kosong. Duduk di bangku nomor tiga dekat dinding. Aku meletakkan ransel berwarna abu-abu milikku di atas meja. Melepas jaket berwarna army yang membalut tubuhku, membuat hangat.

Tidak banyak yang aku lakukan, hanya membuka beberapa buku mengenai mata kuliah yang dua jam ke depan akan disampaikan oleh dosen. Aku sengaja tidak mengambil organisasi di dalam maupun luar kampus, agar aku bisa lebih fokus untuk menyelesaikan kuliahku lebih cepat. 

Aku juga tidak masalah disebut ‘mahasiswa kupu-kupu’ oleh beberapa dosen dan teman-temanku. Selagi pilihanku ini adalah yang membuatku nyaman dan tidak mengusik hidup mereka, maka aku tidak harus ambil pusing. Toh, hidupku tidak dibuat untuk membahagiakan semua orang.

Setiap manusia memiliki hak untuk menentukan jalan hidup yang membuatnya nyaman. Jangan dengarkan pendapat orang lain tentang pilihan kita. Kekurangan kita akan menjadi bahan gosip mereka. Kelebihan kita akan menjadi objek keirian mereka. Maka lakukan saja hal yang kita sukai tanpa harus mendengarkan kalimat kebencian orang lain. 

Tiga puluh menit berlalu dengan cepat. Seluruh teman kelasku sudah mengisi tempat duduk masing-masing. Setelahnya dosen juga sudah masuk, menyapa kami tegas. 

Seorang perempuan paruh baya dengan rambut sebahu yang mulai memutih sudah berdiri di depan. Bu Alena. Suaranya lantang dan tatapannya tajam. Setelah mengabsen mahasiswa di kelasnya hari ini, dia berjalan sambil memperhatikan kami.

“Hari ini kita akan membahas sejarah dan perkembangan Psikologi.” Bu Alena sudah berdiri di sudut kelas. 

“Ada yang tahu pengertian psikologi?” tanya Bu Alena to the point.

Aku mengacungkan tangan. Mataku bergerak cepat menatap Bu Alena yang berdiri di belakang. Dia berjalan menghampiriku dengan tatapan mata tajam. Aku menelan ludah. Meski Bu Alena sudah mengajar kelasku tiga kali di semester tiga ini, dan aku tahu itu memang ciri khasnya, tetap saja terasa menakutkan menatap matanya.

“Ya kamu! Apa pengertian Psikologi?” Bu Alena sudah berdiri di depanku. Menopang tangannya di atas meja. Aku gugup. 

Aku menarik napas panjang. “Menurut asalnya, Psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno. Psyche yang berarti jiwa dan logia yang artinya ilmu, sehingga secara etimologi Psikologi dapat diartikan dengan ilmu yang mempelajari tentang jiwa.”

Aku berhenti sejenak dan melanjutkan kalimatku yang belum usai. “Psikologi tidak mempelajari jiwa atau mental secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi Psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa atau mental tersebut, yakni berupa tingkah laku dan proses kegiatannya. Sehingga Psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan dan ilmu terapan yang mempelajari mengenai perilaku dan fungsi mental manusia secara alamiah.”

“Pada tahun 1879 Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium Psikologi pertama di?” tanya Bu Alena sambil menatapku serius. 

University of Leipzig, Jerman.” Aku menjawab mantap.

“Bagus sekali. Siapa namamu?” tanya Bu Alena cepat.

“Jinggani,” jawabku pelan.

“Mahasiswa kupu-kupu yang sedang hangat diperbincangkan itu ternyata kamu?” Bu Alena mengernyitkan dahi. 

Aku terkesiap, apa maksudnya? Hangat diperbincangkan? Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Menatap beberapa mahasiswa yang mengangkat bahu. Aku menggeleng tidak mengerti.

“Terserah, saya tidak peduli. Yang saya tahu, kamu menjawab pertanyaan saya dengan baik.”

Bu Alena mengangguk dan tersenyum. Kemudian dia berjalan menuju mejanya dan menuliskan sesuatu, mungkin memberi nilai atau apalah.

Mahasiswa kupu-kupu yang sedang hangat diperbincangkan? Apa yang telah terjadi? Di kampus besar ini ada banyak sekali mahasiswa yang memilih kuliah pulang - kuliah pulang. Tetapi kenapa harus aku yang terkenal sampai seperti ini?

Dua jam ke depan berjalan dengan baik, terlepas dari kabar tentang mahasiswa kupu-kupu itu. Bu Alena membahas lebih detail tentang pengertian Psikologi sampai ke akar-akarnya dan menjelaskan sejarah perkembangan Psikologi secara menyeluruh. 

Aku mendengarkan dengan antusias. Sesekali aku bertanya hal-hal yang tidak kupahami. Sesekali juga Bu Alena bertanya padaku, mata tajamnya entah mengapa selalu mengarah padaku. Aku harus menarik napas berkali-kali karena kaget. 

Beberapa mahasiswa yang duduk di kursi belakang menguap berkali-kali. Menopang wajahnya yang terlihat mengantuk. Bahkan ada mahasiswa yang telah membenamkan wajahnya di meja, sampai Bu Alena harus melempar spidol untuk membangunkannya. 

Dua jam berjalan lancar. Mahasiswa mengembuskan napas lega ketika Bu Alena meninggalkan kelas. 

“Astaga, gue baru sadar ternyata Bu Alena hobi banget ngomong,” celetuk seorang mahasiswa yang duduk di kursi paling belakang.

“Asli, nggak capek itu bibir komat-kamit baca mantra,” sahut mahasiswa yang lain.

Lihat selengkapnya