Semestaku Sebelum dan Sesudah Dia Datang

Niken Karsella
Chapter #7

Sunrise Tepi Danau

“Kak, aku beliin martabak untuk Kakak,” ucap Ara sembari menunjuk kotak yang berada di atas meja belajarku. 

“Serius?” tanyaku antusias. Ara hanya mengangguk. Matanya sudah beralih ke ponsel.

Thanks, Ra.” Aku tersenyum lebar dan membuka kotak berukuran sedang yang berisi martabak kacang kesukaanku.

Semenyebalkan apapun Ara, seperti yang pernah aku katakan. Di satu sisi dia adalah adik yang pengertian dan baik hati. Walaupun Ara pemalas, suka menggerutu, suka hitung-hitungan dan suka beradu mulut denganku. Dia adalah adik terbaik menurut versiku. 

Lihatlah! Salah satunya adalah martabak kacang ini. Setidaknya seminggu sekali atau ketika dia sedang pergi jalan-jalan atau apalah yang membuat dia harus keluar rumah. Ara tidak pernah lupa membelikan oleh-oleh untukku. 

Bukan hanya itu, saat aku harus begadang untuk mengerjakan makalah deadline, dia juga suka menemani. Ya walaupun sambil mengoceh, setidaknya aku memiliki teman untuk mengusir sepi. Satu lagi, Ara juga yang selama ini membantu membeli keperluanku di luar. Karena aku malas sekali jika harus pergi ke warung, pergi ke minimarket, apalagi ke pasar.

“Kak Jingga, dipanggil sama Ibu di dapur.”

Kepala Aldava muncul di balik ambang pintu yang terbuka separuh. Matanya fokus menatap ponsel, sedang bermain game online. Anak zaman sekarang susah sekali mengatur kegiatannya, apalagi jika itu masalah ponsel. 

Setelah memberitahuku, Aldava pergi meninggalkan kamar. Aku berdiri dan pergi berjalan menuju dapur. Tidak lama kemudian aku sudah tiba di dapur. Ibu sedang mencuci piring.

“Kenapa, Bu?” tanyaku sembari menghampiri Ibu.

“Tolong buatkan teh untuk Ayah, cucian piring Ibu masih banyak banget, nih,” ucap Ibu. Tangannya gesit meraih piring kotor dan mencucinya. 

“Oke siap, Bu.”

“Kamu nggak lagi ngerjain tugas, kan?” tanya Ibu memastikan. Aku hanya menggeleng pelan. Aku meraih gelas dan mulai membuatkan teh untuk Ayah. 

“Ara sedang main ponsel?” tanya Ibu tiba-tiba. 

“Iya, Bu. Memangnya kenapa?” Aku bertanya.

“Coba, deh kamu liatin adik kamu Ara. Apa aja yang dilakuin sama Ara di ponselnya? Hampir setiap malam dia begadang sambil main ponsel. Ibu takut dia diam-diam pacaran atau melakukan hal yang nggak baik.”

Aku menoleh. Menatap wajah Ibu yang terlihat khawatir. Ibu benar. Sejak dua bulan belakangan Ara selalu begadang sambil bermain ponsel. Kantung matanya menghitam dan terlihat lelah. Bangun juga selalu kesiangan, dan itu merepotkanku. 

“Iya, Bu. Nanti Jingga coba liatin.”

“Kamu nggak apa-apa menasihati Ara. Ayah dan Ibu, kan sibuk jadi terkadang tidak sempat untuk memberikan nasihat,” jelas Ibu. 

Aku kembali mengangguk tanda aku mengerti. Ara memang berbeda. Dia masih remaja. Masih banyak hal yang tidak dipahaminya. Yang dia tahu hanya bermain dan menikmati hidup. Tanpa peduli pada masalah keluarga yang sedang melanda. 

Keluargaku mungkin terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang aneh. Tetapi ketahuilah, ada masalah yang sejak dulu tidak pernah selesai. Masalah keuangan yang tidak stabil. 

***

Tok Tok Tok

Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Menggeliat gelisah di atas tempat tidur. Mataku yang masih berat, seperti diganjal oleh batu memaksakan melirik jam dinding. Pukul empat dini hari. Siapa yang mengetok pintu sepagi ini? Apakah ada hal mendesak?

Aku mengangkat tubuhku susah payah dan duduk sejenak. Aku lelah sekali. Aku berjalan gontai membuka pintu kamar. Aku mengucek mataku sekali lagi. Hei! Tidak ada siapapun. Lantas dimana asal suara ketokan itu?

Tok Tok Tok 

Suara ketokan itu tetap terdengar meski aku sudah membuka pintu. Aku memutar tubuh. Menatap ke arah jendela. Sepertinya suara ketokan itu berasal dari sana. Aku berjalan pelan menuju jendela kamar. Menahan napas. Siapa coba yang dini hari seperti ini mengetuk jendela?

Aku mengintip dari balik tirai berwarna abu-abu. Aku mengusap rambutku yang hanya diikat asal. Jantungku memompa lebih cepat, aku khawatir. Astaga. Lihatlah! Seorang pemuda bertubuh tinggi berdiri di luar sana. Genta.

Aku membuka tirai jendela. Tidak berniat sama sekali membuka kunci jendela. Bagaimana jika pemuda berambut merah itu ingin berniat jahat? Aku tidak akan mengambil risiko terburuknya. 

“Kamu ngapain disana?” bisikku cemas.

“Buka jendelanya.” Genta juga berbisik. Aku menggeleng kuat. 

“Buka jendelanya atau aku bangunin orang tua kamu?” Genta mengancamku. Aku menatap cemas. Tetapi aku tidak akan membuka jendela ini. Bersikeras dengan pendirianku.

“Gila kamu!” ucapku ketus. 

Lihat selengkapnya