Aku duduk bersandar di halte bus. Pukul empat sore. Hujan menyiram kota hari ini. Tampias air hujan membuat pakaianku lembab. Hujan turun ketika aku berada di bus lima belas menit yang lalu. Beberapa penumpang sudah pulang dengan payung. Sebagiannya lagi berjalan menembus hujan yang semakin menderas.
Hanya menyisakan aku sendiri. Embusan angin menerpa pepohonan, membersihkan udara dari polusi. Air hujan menyiram setiap jengkal jalanan yang lengang. Suasana lebih gelap dari biasanya. Aku mengembuskan napas perlahan. Barusan aku menghubungi Ara agar menjemputku.
Aku mengeratkan jaket berwarna army yang membalut tubuhku. Lima menit berlalu Ara belum juga datang dan hujan semakin deras. Badanku menggigil. Rambut panjangku basah dan sedikit berantakan. Sebenarnya halte ini tidak banyak membantu untuk melindungiku dari hujan, tetapi ini lebih baik daripada tempat lain yang lebih terbuka.
Aku menyeka air hujan yang membasahi wajahku. Bibirku mungkin sudah membiru. Lima menit berlalu lagi dan Ara belum juga datang. Aku mulai mendengus kesal. Di satu sisi aku juga khawatir. Halte ini sepi. Hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang dengan cepat.
Sebuah suara bising bercampur dengan rintik hujan membuat aku mendongak. Mataku menangkap sosok pemuda yang bertengger di atas motor Honda CRF150L berwarna merah. Berhenti di depan halte bus. Kepalanya sempurna ditutupi helm. Tubuhnya basah kuyup.
“Naik! Aku anterin kamu pulang!” teriak pemuda yang bertengger di atas motor. Suaranya beradu dengan derasnya hujan. Sepertinya aku mengenal suara itu.
Aku tidak bergerak dari posisi dudukku. Hanya menatapnya lamat-lamat, mencoba memastikan. Dua detik kemudian dia membuka helm dan menatapku dengan senyum manis. Aku sedikit kaget. Benar. Dia adalah Genta.
Wajahnya dipenuhi butir air hujan yang jatuh. Dia mengusapnya cepat. Matanya mengerjap berkali-kali. “Naik!” Genta berteriak, mengalahkan suara hujan.
Aku menggeleng. Walaupun tadi pagi ketika dia mengajakku melihat sunrise di tepi danau berjalan baik-baik saja. Tetap saja aku harus berhati-hati. Ini keadaan yang berbeda. Sepi. Hujan. Dan dia membawa motor. Bagaimana jika dia berniat menculikku?
“Kamu tidak mau pulang?!” teriak Genta.
“Sebentar lagi jemputanku datang.” Aku berteriak, berusaha mengalahkan suara hujan.
“Ya udah, aku pulang duluan.” Setelah mengucapkan kalimat itu Genta memakai lagi helm-nya. Lima detik kemudian dia sudah melajukan motornya cepat. Meninggalkan suara bising dan cipratan air dimana-mana.
Meninggalkan aku sendiri. Aku mengumpat kesal. Genta bahkan tidak membujukku sama sekali agar pulang bersamanya. Eh. Lagipula aku juga tidak mau pulang bersamanya. Baiklah. Lupakan kalimat itu! Ara sudah datang membawa payung besar.
“Kamu merepotkan banget sih!” umpat Ara kesal. Aku hanya menatapnya sekilas dan berdiri di sampingnya yang dilindungi oleh payung lebar.
***
Pukul sembilan malam. Hujan masih belum reda. Dua jam lalu aku dan keluarga sudah makan malam. Ibu pulang ke rumah satu jam setelah aku tiba bersama Ara. Ayah pulang satu jam setelah Ibu. Basah kuyup, menembus hujan dengan motor tua Ayah.
Aku berbaring di tempat tidur. Menutup seluruh tubuhku dengan selimut tebal. Ara bahkan sudah pulas tertidur setengah jam lalu. Biasanya jam segini Ara masih bermain ponsel hingga tengah malam. Aldava sepertinya juga sudah istirahat bersama Ayah dan Ibu.
Hujan memang suara detak ritmis yang terdengar seperti lagu pengantar tidur sehingga dapat membantu orang tertidur dengan cepat. Menurut sebuah penelitian yang pernah aku baca, bahwa ketika suara hujan memasuki otak manusia, secara tidak sadar otak menjadi rileks dan menghasilkan gelombang alpha yang memicu orang lebih cepat tidur.
Tetapi sepertinya hal itu tidak berlaku untukku malam ini. Mataku masih terjaga. Aku memeluk tubuhku yang dingin. Lampu kamar sudah dimatikan, gelap.
“Ara, kamu sudah tidur beneran?” Aku bertanya. Tidak ada jawaban.