Tok Tok Tok
Aku bergerak malas di tempat tidur. Suara ketukan pintu terdengar samar diantara derasnya suara hujan di luar sana. Rasanya baru beberapa jam aku memejamkan mata, dan sekarang mataku dipaksa terbuka oleh suara ketukan.
Aku bangkit dan duduk sejenak di atas tempat tidur. Suara ketukan itu tidak berhenti. Mataku berat sekali. Aku berdiri dan keseimbangan tubuhku hampir saja hilang. Aku membenarkan piyama yang melekat di tubuhku.
Sedetik kemudian mataku terbuka lebar. Suara ketukan itu bukan berasal dari pintu kamar melainkan dari kaca jendela. Ya Tuhan. Apakah Genta benar-benar datang? Sekarang pukul sebelas malam. Aku berjalan gontai mendekati jendela.
Membuka tirai berwarna abu-abu. Benar saja. Genta sudah berdiri di balik jendela. Tubuhnya basah kuyup. Rambut merahnya berantakan. Aku menahan napas. Kaget. Dia tidak berbohong tentang pesan singkat yang satu jam lalu dikirimkannya padaku. Dia benar-benar datang ke rumahku malam ini.
Aku dengan cepat membuka jendela. “Kamu nekat banget sih!” Aku berseru tertahan. Keputusannya untuk menghampiriku bodoh sekali. Kenapa dia rela menerobos hujan hanya untuk berdiri di balik jendela kamarku?
“Ternyata kamu masih hidup,” ucap Genta sembari mengusap wajahnya yang basah. “Aku kira kamu sudah membeku di halte bus,” lanjutnya.
“Maksud kamu?” Aku bertanya heran. Keningku terlipat.
“Aku telepon berkali-kali tidak kamu angkat. Aku kirim pesan singkat juga tidak dibalas. Kamu gaptek?” tanya Genta serius.
“Gaptek?” Aku mengernyitkan dahi.
“Gagap teknologi. Tidak tahu caranya mengangkat telepon dan membalas pesan singkat. Atau yang lebih parahnya, kamu tidak bisa menggunakan ponsel,” jawab Genta ketus. Dia menatapku lamat-lamat.
“Aku—
Belum sempat aku bicara, Genta memercikkan air hujan ke wajahku. “Jika memang kamu tidak mau mengangkat teleponku. Setidaknya kamu bisa membalas pesan singkat yang aku kirim. Bilang kalau kamu baik-baik saja dan sudah pulang ke rumah.”
“Kamu tidak akan mengerti rasanya khawatir, sebelum kamu sendiri yang berada di posisi itu,” sambung Genta dengan suara yang berat.
Aku menelan saliva mendengar kalimat Genta. Apakah? Apakah kalimat itu sebuah kekhawatiran untukku? Aku menatap Genta yang berdiri di balik jendela. Tubuhnya terlindungi oleh kanopi rumah sekarang, tetapi percuma. Genta sudah basah kuyup. Aku merasa kasihan padanya. Dia datang hanya untuk memastikan aku baik-baik saja.
Tidak. Aku menggeleng cepat dan mengusir sebuah perasaan yang tiba-tiba melanda hatiku. Aku menarik napas perlahan. “Sorry,” ucapku pelan.
"Kata sorry tidak akan membuat seluruh tubuhku seketika menjadi kering." Genta memutar bola matanya malas. Aku hanya diam.
“Aku pamit pulang,” ucapnya datar. Genta memutar tubuh dan hendak berlari menuju motornya yang terparkir di halaman rumahku.
“Tunggu!” Aku memanggilnya. Dia berhenti dan memutar tubuh. Menatapku lamat-lamat. Menunggu kalimat yang akan keluar dari mulutku. Sebenarnya aku ragu.
“Hujannya semakin deras.” Aku menunduk. Tidak berani menatap matanya.
“Apakah kamu mau memakai mantel milikku?” tanyaku ragu.
“Tidak!” Genta menggeleng tegas. Aku menelan ludah. Wajah pemuda itu datar sekali. Aku hanya mengangguk patah-patah. Aku tidak akan memaksa.
Genta balik kanan dan dengan cepat menerobos hujan yang semakin deras. Tubuh basah kuyupnya sudah bertengger di atas motor. Aku menatapnya nanar. Dia datang kesini hanya untuk memastikan aku baik-baik saja. Benarkah demikian?
Siapa Genta sebenarnya? Kenapa dia sangat mengkhawatirkanku? Aku kembali mengingat masa laluku. Siapa tahu dia adalah teman semasa kecil. Sepuluh menit. Tidak ada sama sekali. Aku tidak mengenal Magenta sebelumnya. Dia adalah orang asing.