Pukul sebelas siang. Matahari bersinar terik. Bertahta di tempat tertinggi. Aku duduk di koridor kelas. Menunggu Amar yang sedang mengantarkan tugas ke ruangan dosen. Aku menyeka keringat yang bercucuran di pelipisku. Cuaca hari ini panas sekali. Tenggorokanku kering.
Tadi pagi Amar mengirim pesan singkat. Mengajak makan siang bersama. Awalnya aku menolak, tetapi dia memaksa sekali. Janji akan mentraktir. Akhirnya aku menyetujui, bukan karena aku ditraktir. Tetapi apa salahnya makan siang bersama? Sudah lama aku tidak makan siang di luar.
“Hai, Dinda.” Aku menyapa seorang gadis berambut pendek dengan tubuh berisinya. Dia lewat di hadapanku.
“Hai, Jingga.” Gadis itu tersenyum hangat dan membalas menyapa.
Namanya Dinda. Dulu dia adalah teman baikku semasa SMA. Sejak kelas satu SMA aku selalu bersama Dinda. Dia pandai sekali matematika. Aku yang membenci pelajaran itu belajar banyak darinya. Bahwa matematika tidak serumit yang ada di kepalaku. Dinda adalah teman yang pengertian.
Usianya terpaut satu tahun denganku, dia lebih muda. Sesekali dia bersikap kekanak-kanakan. Hatinya mudah tersentuh. Sensitif. Tetapi aku tidak menuntut lebih dalam pertemanan. Karena akupun juga tidak lepas dari kekurangan. Aku hanya berharap sebuah persahabatan yang tidak fana.
Dua tahun persahabatan kami berjalan baik-baik saja. Aku pernah berpikir bahwa persahabatan kami tidak akan usai. Dengan keangkuhan diri aku memproklamirkan sebuah kata abadi. Namun sebuah kejadian membuat semuanya berubah. Tanpa pernah aku sangka sebelumnya. Setitik pun tidak pernah terlintas di pikiranku bahwa sebuah perpisahan akan datang. Orang yang benar-benar aku percaya justru meninggalkanku di saat-saat terburuk dalam hidupku.
Hari pertama tahun ajaran baru di kelas tiga SMA aku dilanda kehilangan tak terduga. Hatiku remuk redam. Benteng yang selama ini aku bangun dengan susah payah runtuh seketika. Hatiku ibarat daging yang disayat-sayat belati. Kepercayaanku seperti dibunuh sampai tuntas. Seperti itulah pikirku dulu.
Aku membutuhkan Dinda saat itu, tetapi dia malah pergi meninggalkanku. Pergi bersama kaki-kaki baru yang lebih kokoh. Melepaskan simpul-simpul yang aku ikat dengan rapi. Menyingkirkan aku yang benar-benar limbung. Jatuh sendirian. Tidak punya pegangan untuk sekadar mempertahankan kakiku yang rapuh.
“Kamu belum pulang?” Pertanyaan Dinda membuat lamunanku buyar.
“Hmm, belum. Aku mau makan siang dulu,” jawabku kikuk. Kami sudah lama tidak bertegur sapa. Suasana yang dulu menyenangkan sekarang menjadi canggung. Bahkan hanya sekadar menjawab sebuah tanya sederhana.
“Kebetulan aku juga mau makan siang,” ucap Dinda canggung. Dia menyentuh tengkuknya. Senyumnya tanggung sekali.
“Ya udah, kita bareng aja kalau gitu,” jawabku antusias. Entah datang darimana keberanianku untuk mengajaknya. Karena sejujurnya aku rindu pada Dinda.
“Jingga, aku—
Belum sempat Dinda menyelesaikan kalimatnya, dua orang gadis datang menghampiri kami berdua. Selly dan Arum. Mereka berdua tersenyum padaku. Aku penasaran pada kalimat Dinda yang menggantung.
“Hai, Jingga, Dinda.” Suara Arum terdengar ramah menyapa. Aku membalas pelan.
“Kalian ngapain disini?” tanya Selly.
“Oh, iya. Makan barengnya kapan-kapan aja, Jingga. Aku lupa, ada kerja kelompok hari ini.” Wajah Dinda terlihat muram. Senyumnya lenyap ketika Selly dan Arum tiba. Aku mengerti apa yang terjadi. Aku hanya mengangguk pelan dan tersenyum.
Dinda sudah berjalan cepat meninggalkan kami bertiga. Aku mengembuskan napas perlahan. Situasi ini rumit sekali. Aku ingin segera menyelesaikannya, tetapi bingung harus memulainya dari mana.
Keadaan seperti ini sangat mengganggu. Tetapi aku tidak punya resistansi yang cukup tinggi untuk menghempaskannya. Aku terlalu gamang untuk menentukan apa yang hatiku inginkan. Aku terlalu khawatir untuk keluar dari zona nyaman yang mengikatku.
Kegamangan dalam diriku membuat semua keadaan tidak juga rampung. Aku telah meninggalkan Dinda dan memilih Selly. Padahal aku tidak ingin kehilangan salah satunya. Aku egois. Aku menginginkan semuanya dalam satu waktu.
“Dinda kenapa?” Arum menatap heran Dinda yang sudah pergi menjauh.
“Kalian belum pulang?” Aku mengalihkan percakapan. Pertanyaan itu rumit sekali jika harus dijelaskan.
“Kita lagi nyebar undangan birthday-nya Bara,” jawab Arum semangat. Pasalnya dia sudah lama menaksir Bara. Bahkan sejak duduk di bangku kelas satu SMA.
“Bara titip pesan buat kamu, Jingga.” Selly memberikan undangan berwarna biru tua. Aku menerimanya dan menatap Selly dengan kening terlipat.