Waktu melesat begitu cepat. Seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya dengan kekuatan penuh. Kuliahku berjalan baik-baik saja. Ujian tengah semester akan dimulai besok. Tidak banyak yang kupersiapkan kecuali belajar dan belajar. Namun sesekali aku juga malas membuka buku.
Satu tahun lalu, tepatnya ketika menjelang kelulusan SMA. Ketika hampir semua orang berjuang mati-matian untuk mendapatkan kampus terbaik sekaligus kampus yang mereka inginkan. Aku harus mengubur semua impian-impian besarku. Impian untuk masuk universitas yang sudah dua tahun aku dambakan.
Sastra Belanda. Jurusan impian yang satu tahun lalu harus aku lupakan selama-lamanya. Nasibku tidak sebaik orang-orang yang bermunculan di acara platform bimbingan belajar online yang seringkali memenuhi channel TV. Mereka yang beruntung bisa masuk universitas impian mereka dengan restu orang tua.
Sastra Belanda. Jurusan yang hanya dapat ditemukan di kampus terbaik. Berada di ibu kota. Kedua orang tuaku tidak mengizinkan aku merantau. Panjang sekali rentetan alasan agar aku tetap bersama mereka di kota ini. Aku mengalah. Tidak berniat membangkang kedua orang tua yang sudah membesarkanku.
Awalnya aku merasa marah. Aku kecewa. Air mataku tidak bisa dibendung walau satu bulir. Bermalam-malam aku menangisi takdirku yang kukira buruk sekali. Kenapa keadaan memukul mundur cita-citaku? Bahkan sampai aku berkuliah di semester pertama pun, aku masih belum menerima kenyataan itu. Berkali-kali aku membujuk hati untuk berdamai, namun tetap saja resah yang tertuai.
Psikologi. Jurusan yang sekarang sedang aku tempuh. Pilihan terakhir yang setidaknya sedikit aku pahami. Entah benar-benar aku pahami atau hanya sebuah cara untuk menghibur diri. Awalnya aku malas-malasan pergi ke kampus. Sampai suatu ketika aku melihat Ayah rela menjual mobil kesayangannya untuk membiayaiku kuliah. Aku benar-benar merasa bersalah dan mulai memperbaiki semuanya.
Aku percaya. Apapun yang akan menjadi takdirku, akan mencari jalannya menemukanku. Rencana Tuhan jauh lebih baik dari cita-cita terbaikku. Ketika Tuhan menempatkan kita pada sebuah situasi yang tidak pernah kita inginkan. Percayalah. Tuhan akan selalu menuntun kita untuk sampai di hari terbaik suatu hari nanti.
Aku melompat keluar dari bus setelah membayar dengan uang receh. Pukul lima sore. Embusan angin membelai rambut panjangku yang dibiarkan tergerai. Jalanan ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang. Aku duduk di sebuah halte bus yang kosong. Tempat biasa aku menghabiskan waktu senja.
Aku menyandarkan punggung. Menatap gedung-gedung tinggi menjulang. Di trotoar seberang beberapa pekerja bangunan hendak pulang. Wajah-wajah lelah. Gerobak penjual makanan mangkal di bawah pohon besar.
“Hai, Jingga!”
Suara sapaan itu tidak lagi membuatku kaget. Satu bulan terakhir aku mulai terbiasa. Genta duduk di sebelahku. Rambut merah berantakannya diterpa angin sore. Aku menatapnya sekilas. Meskipun aku tidak lagi merasa terganggu, tetap saja aku belum bisa bersikap ramah padanya.
Soal rambut merahnya aku percaya jika itu rambut merah alami. Beberapa waktu lalu aku searching di google. Genta benar. Penjelasannya waktu itu fakta, bukan karangan saja. Populasi orang yang memiliki rambut merah alami hanya ada satu sampai dua persen saja dari penduduk bumi.
Tetapi menurut yang aku baca, warna rambut merah ini lazim dimiliki oleh orang-orang berketurunan Eropa Utara seperti daerah kawasan Nordik dan Skandinavia, keturunan Jermanik Utara dan Kelt, sedangkan untuk orang-orang wilayah lain rambut ini tidak lazim. Entahlah. Aku tidak terlalu memikirkannya.
“Orang yang sekarang ada di hati kamu beruntung sekali.”
Aku menoleh. Menatap wajah Genta yang datar setelah mengucap kalimat itu. Akulah yang beruntung pernah dipertemukan dengan Langit.
“Kamu sangat aneh! Seolah olah kamu tau semua hal tentang hidupku,” ucapku menyelidik.
Genta menatapku. “Aku hanya menebak-nebak saja,” jawab Genta santai.
“Tapi semua tebakan kamu benar.”
Sejak pertemuan pertama, semua kalimat Genta menyinggung keadaanku. Astaga. Mulutku keceplosan. Aku memaki diriku sendiri. Kenapa pula aku sampai kelepasan bicara? Aku bergerak gelisah.
“Orang yang kamu cintai pergi meninggalkan kamu?” tanya Genta memastikan.
Aku terdiam. Mengalihkan pandangan. Menatap langit yang mulai berwarna jingga kemerahan. Mentari siap tumbang di kaki langit bagian barat. Siap digantikan oleh temaramnya langit malam. Burung-burung terbang melintasi langit.
“Atau dia sudah meninggal?” tanya Genta hati-hati.
Aku menatap tajam ke arah Genta. Waktu itu dia bicara seolah olah dia mengetahui semuanya. Tetapi hari ini dia bertanya dengan hati-hati, seakan sedikitpun dia tidak pernah tahu apa yang sedang aku rasakan. Aneh.
“Sampai kapan kamu terus berharap pada orang yang sudah tidak ada di permukaan bumi? Sudah hilang batang hidungnya dari semesta!”