Aku duduk di kursi kelasku. Menatap fokus lembaran berisi soal ujian tengah semester. Sepuluh menit lagi waktu ujian akan berakhir. Hanya tinggal dua soal yang belum kukerjakan. Aku membacanya sekali lagi. Tetap tidak terpikirkan jawaban yang tepat. Otakku buntu.
Aku berpikir keras. Lima menit. Akhirnya aku mengalah. Mulai menuliskan jawaban yang sebenarnya aku tidak tahu benar atau salah. Daripada dua soal itu kosong, lebih baik aku menuliskan apa saja yang kira-kira masuk akal. Setidaknya dosen memberi nilai jerih payah menulisku. Aku tertawa dalam hati.
Sepuluh menit berlalu. Aku dan teman-teman sekelas sudah mengumpulkan lembar ujian ke meja dosen. Aku menanggapi singkat Amar yang bertanya tentang soal ujian barusan. Aku menggendong ransel berwarna abu-abu milikku dan beranjak keluar kelas. Pukul dua siang.
“Jingga!”
Aku berhenti ketika mendengar teriakan itu, mencari sumber suara. Dari lorong gedung terlihat seseorang berlari menghampiriku. Arum. Napasnya tersengal ketika tiba di hadapanku. Wajah tirusnya berkeringat. Aku menatap bingung.
“Kenapa, Rum?” tanyaku heran.
“Selly … Selly!” ucap Arum terputus-putus. Dahiku terlipat. Sekaligus menatap cemas. Hal sepenting apa yang harus membuat Arum terlihat kelelahan?
“Selly kenapa? Kamu napas dulu yang benar,” ucapku berusaha menenangkan. Percuma Arum bicara dalam keadaan hela napas yang memburu. Aku tidak bisa menerkanya.
Arum berdiri tegak. Menarik napas panjang dan menghelanya kasar. Dia menyeka keringat yang membasahi pelipisnya. Merapikan rambut sebahunya yang sedikit berantakan. Ekspresi wajahnya menyiratkan kabar yang tidak menyenangkan.
“Selly kecelakaan, sekarang sudah dibawa ke rumah sakit.” Arum menjelaskan cepat.
Aku terperanjat mendengar berita itu. Tanpa banyak tanya aku segera mengajak Arum untuk menyusul ke rumah sakit. Ini berita buruk. Teman baikku sedang tertimpa musibah. Perasaan khawatir memenuhi diriku.
***
Lima belas menit dalam perjalanan, sekarang aku telah tiba di rumah sakit. Aku, Arum dan kedua orang tua Selly tengah berdiri di luar ruangan IGD. Dokter tengah menangani Selly di dalam sana. Perasaan tegang tersirat jelas dari wajah-wajah yang kebas seketika.
Menurut penuturan Arum, Selly tidak sengaja ditabrak oleh seorang laki-laki yang melajukan motor besar miliknya di depan gerbang kampus. Aku menunggu dengan khawatir. Semoga Selly baik-baik saja. Aku tidak akan sanggup jika kehilangan datang lagi padaku tahun ini.
Satu jam penuh berlalu dengan kecemasan melanda kami. Keresahan terpancar jelas dari wajah kedua orang tua Selly yang terlihat lelah. Selly sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Kedua orang tuanya menangis sedih ketika melihat kepala Selly dibalut perban. Aku juga menatap sedih. Bagian tangan Selly terluka, dibalut perban juga.
“Selly baik-baik saja, kok Bu, Yah,” ucap Selly pelan. Matanya berair ketika melihat kekhawatiran kedua orang tuanya.
“Kamu pasti sembuh, Nak.” Ayah Selly tersenyum lembut. Mencoba mengganti rasa sedihnya dengan kekuatan yang menjalar lewat ulasan senyum beberapa detik lalu.
“Arum, Jingga.” Suara serak Selly memanggil.
Aku dan Arum mendekati Selly yang terbaring di ranjang rumah sakit. Salah satu tangannya tertancap jarum yang merambat menuju infus. Aku tidak tega. Hatiku ini mudah sekali tersentuh.
“Semoga kamu cepat sembuh, Sel. Kasian, sih Arum nggak punya teman ke kampus kalau kamu lama-lama di rumah sakit.” Aku berusaha menghibur. Aku tidak akan menambah kesedihan dengan menangis. Tetapi apakah gurauanku barusan akan menjadikan suasana lebih baik? Entahlah.
“Kalian jangan sedih, aku baik-baik saja, kok.” Selly tersenyum tipis. Suaranya pelan. Aku tahu dia sedang menahan rasa sakit di kepala. Pusing.
“Selly! Sudah luka-luka seperti ini masih bisa ngomong baik-baik saja? Kamu bukan orang kebal. Aku tau kamu sedang tidak baik-baik saja. Lihat kepalamu! Rasanya pasti sakit sekali,” ucap Arum sembari mengusap ujung matanya yang berair.
“Eh. Kamu kenapa menangis?” tanya Selly heran. Keningnya terlipat.
“Tidak! Aku tidak menangis.” Arum menyeka bulir kecil yang membasahi wajahnya.