Genta menatapku dalam sekali setelah mendengar pertanyaanku. Dia tidak menjawab. Genta berdiri dan membayar bakso yang tadi dipesannya. Kemudian berjalan santai diantara manusia yang berlalu lalang. Seolah pertanyaanku beberapa detik lalu hanya angin selintas yang menelisik kulitnya.
Aku cepat-cepat membayar dan mengejar langkah lebar Genta. Menggendong ransel berwarna abu-abu dan meraih jaket yang tadi kulepas. Sepuluh detik kemudian aku sudah berdiri di sebelah tubuh tinggi Genta. Napasku tersengal. Menyeimbangi langkah cepatnya yang tidak berkurang.
Genta menatapku sekilas kemudian melanjutkan perjalanan dengan santai. Seolah aku ini hanya angin lalu yang menerpa rambut berantakannya. Tidak penting. Dia sama sekali tidak peduli dengan kehadiranku. Aku mendengus sebal. Lantas berpikir sejenak. Kenapa aku mengejarnya?
“Genta!”
Untuk pertama kalinya aku memanggil nama itu. Genta berhenti tiba-tiba. Aku juga menghentikan langkah. Jantungku berdetak lebih cepat. Napasku tercekat di tenggorokan. Genta menatapku dengan tatapan berbeda. Aku tidak bisa menafsirkannya secara sempurna. Pikiranku terlalu keruh untuk memahami jika tatapan itu adalah sesuatu yang pernah ada dan tidak pernah hilang.
Genta mengibaskan rambut merah berantakannya. Matanya masih belum berpaling dari memandang iris hitamku yang eksplisit. Mataku tidak pernah mampu berbohong dalam segala situasi. Dan entah mengapa, aku juga tidak mampu memalingkan wajah. Tatapanku sempurna terkunci. Ada sesuatu yang benar-benar tidak aku pahami. Semesta seketika terhenti. Aku menemukan sesuatu yang keliru, tetapi tidak bisa aku koreksi.
“Jingga!” Genta melambaikan tangan. Aku tersadar dan salah tingkah.
Aku menghela napas dalam dan berdiri tegak sembari menatap serius ke arah Genta. “Kamu sebenarnya siapa?” Wajahku penuh tanda tanya.
“Pertama. Kamu tau namaku, tau rumahku, dan juga tau nomor teleponku. Kedua. Sejak sore itu, kamu selalu datang tiba-tiba, seolah kamu tau kemana saja aku akan pergi. Ketiga. Dari cara kamu berbicara, kamu seperti sudah lama sekali mengenalku. Aneh.” Aku mengernyitkan dahi. Pertanyaan itu meluncur bebas.
“Kamu lupa pada kalimatku beberapa waktu lalu? Akan aku ulangi dan ingat baik-baik kalimat ini. Jika perlu kamu catat di buku harianmu.” Genta memberi saran kemudian terkekeh pelan. Jingga tidak terlalu tertarik dengan kalimat barusan.
“Kamu bukan orang asing, Jingga. Kamu adalah bagian terpenting dari masa lalu, masa sekarang dan masa depanku.”
“Tapi aku sama sekali tidak mengerti dengan kalimat itu.” Aku tidak berbohong. Aku benar-benar tidak mengerti.
“Suatu saat nanti kamu akan mengerti,” ucap Genta santai. “Kamu harus berusaha untuk menemukan bagian yang hilang dari kisah hidup kamu. Enggak ada hal yang instan, sekali menjentikkan jari langsung mengerti semuanya. Itu hanya sulap palsu! Ada perjalanan yang harus kamu tempuh agar sampai pada sebuah kesadaran.” Genta tersenyum hangat menatapku.
Aku masih belum mengerti, ditambah lagi dengan kalimat rumitnya barusan. Kepalaku tambah pusing. Genta benar-benar menyebalkan. Pemuda itu melangkah maju. Meninggalkanku yang masih mematung. Berdiri seorang diri di trotoar.
Begitu banyak yang aku lupakan sejak satu tahun lalu. Sejak Langit pergi untuk selama-lamanya. Separuh hidupku dipenjara oleh kehilangan dan kesedihan mendalam. Ragaku hidup dan dinamis. Tetapi jiwaku mati dan statis. Sejak hari ini aku mulai menyadari ada sesuatu yang keliru. Sesuatu yang terlupakan, tetapi belum mampu aku tarik ke permukaan.
***
“Ra, Kakak boleh minta tolong nggak?” tanyaku pelan.
“Enggak!” Ara menggeleng tegas. “Aku sudah banyak sekali bantuin kamu selama ini. Jatah kamu sudah habis. Top up dulu, dong!” Ara nyengir lebar kemudian beralih menatap layar laptop.
“Ya Tuhan, punya adik gini amat.” Aku mendengus sebal.
Beberapa waktu lalu aku sudah menceritakan tentang Genta. Hanya sedikit. Aku bilang Genta itu orang asing yang tiba-tiba datang menggangguku. Ara juga sudah tahu jika malam itu Genta datang—saat hujan deras melanda kota.
Gara-gara panggilan masuk dan pesan singkat yang tidak segera kuhapus, sekarang Ara punya alasan untuk tidak membantuku lagi. Jika aku memaksa dia akan bilang ke Ayah tentang kedatangan Genta malam itu. Menyebalkan. Kenapa hal-hal di semesta ini terasa tidak menyenangkan? Aku mengeluh tertahan.
Sekarang pukul delapan malam. Aku dan Ara duduk santai di ruang tamu. Ara sedang fokus menatap layar laptop, sibuk dengan makalah yang tidak juga selesai sejak seminggu lalu. Dasar lelet. Bagaimana mau selesai jika setiap menulis satu paragraf diselingi dengan melihat ponsel. Membalas pesan. Atau hanya scroll feed instagram. Ditambah lagi dengan keluhan-keluhan yang mengganggu telingaku.
“Araa!” Suara Ibu berteriak memanggil.
“Iya, Bu?” balas Ara tanpa melepas pandangan dari layar laptop. Aku menendang kakinya pelan. Mengisyaratkan untuk menjenguk Ibu yang berada di dapur.
“Araa!” Suara Ibu terdengar lagi. Ara masih diam di tempat dan menyahut sekilas. Tidak ada tanda-tanda dia akan menghampiri Ibu.
“Kalau dipanggil langsung dijenguk, Ara.” Ayah mengingatkan. Ayah baru keluar dari kamar. Duduk di sampingku.