Suara itu begitu familier di telingaku. Aku tidak akan pernah melupakannya. Tidak akan pernah. Suara hangat yang pertama kali menyapaku tiga tahun lalu. Itu adalah suara Langit. Pemuda yang dua tahun lalu pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.
“Jingga?”
Aku menelan saliva yang terasa pahit dengan susah payah. Suaranya berubah. Bukan lagi suara hangat milik Langit, digantikan oleh suara menyebalkan milik pemuda berambut merah itu. Genta. Aku mencubit lenganku. Sakit. Aku meringis pelan. Sungguh, aku tidak sedang bermimpi. Lantas yang barusan kudengar, apa?
“Jingga, kamu baik-baik saja?” Suara berat Genta terdengar khawatir.
Lidahku masih kelu. Udara melewati pita suara dengan gerak lambat sehingga aku tidak bisa menghasilkan suara. Suara itu benar-benar membuatku kaget. Tubuhku masih mematung. Peredaran darahku rasanya tidak bekerja dengan baik. Perpindahan suara yang mendadak dan tidak bisa aku tebak.
“Jingga, kamu kenapa?” Genta kembali bertanya.
Aku tersentak dan tersadar dari sesuatu yang membuatku terpaku. Aku menarik napas dalam. Mengusap wajahku yang kebas.
“Aku baik-baik saja,” jawabku pelan.
“Aku sedang berada di depan jendela kamu.”
Kalimat Genta membuatku terkesiap. Aku menoleh dan menatap jendela yang tertutup tirai berwarna abu-abu. Aku berdiri dan berjalan hati-hati menuju jendela kamarku. Memastikan dengan jantung yang berdetak kencang.
Aku membuka perlahan tirai jendela. Mengintip keluar. Gelap. Tidak ada siapa-siapa. Aku mengernyitkan dahi. Ponselku masih menempel di telinga. Terdengar suara deru napas Genta. Aku memperluas jarak penglihatanku. Siapa tahu Genta bersembunyi. Tetap tidak ada siapa-siapa.
“Tapi boong!”
Astaga. Aku mengumpat kesal mendengar suara menyebalkan itu dari seberang telepon. Genta sudah tertawa terbahak-bahak disana. Aku mematikan sambungan telepon dengan cepat. Darahku sudah naik sampai ke ubun-ubun. Jika saja dia ada disini, sudah kujitak kepalanya itu. Atau kujambak rambut merah berantakannya.
Satu jam berlalu setelah Genta menelepon. Aku sudah berbaring di atas tempat tidur. Udara malam ini dingin sekali. Aku menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Bisa-bisanya pemuda menyebalkan itu merusak suasana hatiku yang sudah kusut. Dasar menyebalkan!
Suara itu nyata sekali. Mungkin kerinduanku pada Langit membuat aku berhalusinasi. Berharap suara hangatnya menyapa malam-malam sunyiku. Kenyataannya Genta yang menelepon, bukan Langit. Ya Tuhan. Tidak adakah sebuah mukjizat atau keajaiban yang bisa mengembalikan Langit satu hari saja?
***
Pukul sembilan pagi. Aku duduk di sebuah kursi yang ada di belakang meja barista. Ayah tengah sibuk membuat latte art pesanan pelanggan. Rambut Ayah yang mulai memutih bergerak-gerak. Aku tersenyum. Selalu menyenangkan menatap Ayah yang sedang bekerja. Wajahnya selalu serius. Mata cokelatnya berbinar.
Kalian bertanya ibuku dimana? Ibuku memiliki angkringan sederhana di sudut kota. Ara yang membantunya disana. Sesekali aku juga membantu Ibu. Tetapi memang lebih sering disini bersama Ayah.
“Jingga, tolong antarkan ke meja di depan, ya.” Ayah menyerahkan secangkir latte art berbentuk bunga tulip. Pattern bunga tulip ini masih belum bisa aku buat. Aku mengangguk dan menerimanya.
Kakiku berjalan pelan menuju meja yang ditunjuk Ayah. Beberapa kursi diisi oleh remaja tanggung yang sedang bermain game. Beberapa lagi diisi oleh pasangan kekasih yang asyik mengobrol. Aku hanya memperhatikan sekilas. Coffee shop Ayah cukup ramai.
Seorang laki-laki memakai jaket tebal dan kepalanya sempurna ditutupi oleh topi jaket. Dia menunduk, sampai aku tidak bisa melihat wajahnya. Aku meletakkan secangkir latte art di atas meja. “Silakan,” ucapku hangat dan tersenyum.
Tetapi seketika senyumku tersumpal saat laki-laki itu mendongak. Mulutku terbuka, menatap tidak percaya. Seharusnya aku tidak lagi kaget menatap wajahnya, tetapi kenapa dia berada disini? Di coffee shop Ayah. Genta benar-benar seperti penguntit.
“Kamu ngapain disini?” Aku berseru tertahan. Mencoba tidak menarik perhatian siapapun. Aku menatap sekitar. Juga melirik Ayah yang sudah sibuk dengan kegiatannya.
“Mau daftar sekolah.”
“Daftar sekolah?” Aku mengernyitkan dahi.
“Bego!” ucap Genta ketus. Matanya menatap tajam ke arahku.