Semestaku Sebelum dan Sesudah Dia Datang

Niken Karsella
Chapter #15

His Birth-Die

Satu minggu berlalu dengan cepat, tidak terasa. Waktu melesat tanpa persetujuan siapapun. Tidak menunggu sedetik pun ketika kita terjatuh atau stuck di tengah jalan. Rutinitasku tidak banyak yang berubah. Semuanya berjalan seperti biasanya. Kecuali perasaanku. 

Jujur, aku menginginkan kehidupan yang normal. Kehidupan yang seharusnya membuat aku merasa hidup. Memiliki tujuan dan cita-cita yang ingin digapai. Memiliki keluarga yang harmonis. Memiliki orang-orang baik yang bisa mengerti keadaanku. Memiliki kegiatan-kegiatan positif yang membuatku produktif. 

Tetapi ternyata semesta tidak semenyenangkan yang aku kira. Semesta tidak sesederhana ketika aku tahu jika senja itu indah dan memukau. Semesta itu kejam sekali. Sesekali aku memakinya, mengapa kehidupanku tidak semeriah dan semarak orang-orang di luar sana? Mengapa hidupku dihantui oleh kehampaan yang tidak memiliki akhir? 

Tetapi berkali-kali juga aku memujinya. Semesta memberikan keindahan yang sempurna. Cahaya jingga di kala senja, keluarga, dan sebuah keyakinan dalam dada adalah alasan mengapa hingga detik ini aku memutuskan untuk tetap bertahan. Seburuk apapun situasinya. Ada beberapa alasan yang membuat kakiku tetap kokoh meski pijakannya rapuh bagai kayu yang lapuk. Siap luruh kapan saja. 

Pukul sembilan pagi. Aku menyusuri lorong gedung kampus yang cukup ramai. Mahasiswa berlalu lalang. Aku mempercepat langkah kakiku. Menghindari kontak mata dengan mahasiswa yang tidak aku kenal. 

“Jingga!”

Suara itu membuat langkahku terhenti. Aku mengedarkan pandangan, mencari sumber suara. Selly dan Arum. Mereka berdua berjalan menghampiriku dengan senyum lebar. Aku balas tersenyum. 

“Jangan lupa, ya nanti malam.” Selly tersenyum menggoda menatapku.

Aku tidak akan lupa. Malam ini adalah acara perayaan ulang tahun Bara—teman sekelas waktu SMA sekaligus teman sekampus. Selly tidak akan berhenti menggangguku. Arum yang menyukai Bara akan cepat-cepat mengalihkan percakapan.

“Kita mau pakai baju samaan nggak?” tanya Arum tiba-tiba. 

“Eh. Bukannya dress code-nya udah ditentukan?” tanya Selly bingung.

“Iya, deng. Maaf, aku lupa.” Arum menepuk jidatnya pelan. 

Selly melotot pada Arum. “Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi pelupa sih, Rum?”

Sorry.” Arum nyengir lebar.

“Kalian perginya bareng?” tanyaku.

Selly dan Arum saling tatap. Seperti sedang menyelaraskan sesuatu. Aku mengernyitkan dahi. Apakah pertanyaanku ada yang salah? Dua detik kemudian mereka berdua tersenyum. 

“Arum pergi bareng Dinda. Kamu pergi bareng sama aku, ya, Jingga. Nanti malam aku jemput,” ucap Selly. 

Aku hanya mengangguk. Merasa semuanya baik-baik saja. Padahal semesta sudah menuntunku untuk memahami sesuatu yang palsu. Tetapi rasa apatis yang entah sejak kapan tertanam, membuat aku tidak mafhum. Ternyata aku benar-benar keliru. Aku tidak pernah menyadarinya. 

“Ya udah, aku sama Selly mau ke kelas dulu, ya, Jingga,” tandas Arum sembari melambaikan tangan. Selly juga melambaikan tangan dan tersenyum. Aku melepas mereka. 

***

Pukul tujuh malam. Aku dan Selly berjalan pelan memasuki rumah besar yang sudah di dekorasi dengan sempurna. Nuansa klasik dengan sentuhan retro yang fashionable, terlihat pada dekorasi wadah makanan dan gelas-gelas kecil, serta sepasang hiasan meja yang flamboyan. Dominasi warna monokrom dan emas tampak semakin menarik. 

Aku berpapasan dengan teman-teman lamaku di SMA. Aku tersenyum tipis. Ramai sekali. Suara backsound lagu Birthday milik Katy Perry terdengar santai. Sejujurnya aku tidak begitu suka dengan keramaian. Aku lebih suka suasana hening dan damai.

Selly menarik tanganku pelan. Mengajak bergabung dengan Arum dan beberapa teman yang lain. Mereka semua terlihat cantik dan tampan. Mereka menyapaku dan Selly ketika kami tiba dan bergabung. Aku membalas seadanya. Seperti biasa. 

“Kamu cantik banget, Jingga,” puji Syla—teman sekelas ketika SMA sembari menatapku antusias. Matanya berbinar indah. Dari raut wajahnya, dia benar-benar tulus memuji. 

“Kamu juga cantik, Syla,” balasku sembari tersenyum. 

Aku mengenakan dress berwarna hitam selutut. Rambut panjangku dibiarkan tergerai dengan pita berwarna abu-abu yang menghiasinya. Kakiku hanya dialasi dengan flat shoes berwarna hitam juga. Tidak seperti tamu undangan perempuan yang rata-rata memakai high heels.

Acara puncaknya masih satu jam lagi. Menunggu seluruh tamu undangan datang. Aku memutuskan untuk duduk di salah satu kursi. Meminum jus jeruk yang tadi Selly berikan. Dia sudah asyik mengobrol dengan Arum. Dalam hingar bingar yang meriah. Aku terpaku pada semestaku sendiri yang hening. Hanya aku yang mampu memahaminya. 

Semuanya terlihat bahagia. Di belakang sebuah meja panjang dengan alas meja yang elegent, sudah ramai orang-orang yang menghampiri Bara—sang pemilik acara untuk mengucapkan selamat. Hampir berdesakan. Aku tidak akan nimbrung disana. Lebih baik aku menunggu. Setidaknya aku masih punya waktu setengah jam ke depan. 

Bara terlihat tampan. Tubuh tingginya dikerumuni banyak orang. Sepertinya Bara mulai kualahan menerima jabat tangan dan tersenyum. Aku menahan tawa. Meja besar di depannya juga sudah dipenuhi oleh bucket dan beberapa kotak hadiah.

Lihat selengkapnya