Pukul sembilan malam. Aku berjalan pelan menyusuri jalanan lengang yang temaram. Aku memutuskan untuk pulang sebelum acara selesai. Itu adalah perayaan ulang tahun yang menyebalkan. Hampir saja membuat aku kehabisan napas dan mati di tempat.
Udara malam ini dingin sekali. Aku mengembuskan napas berkali-kali. Rambut panjangku beterbangan diterpa angin. Ponselku tertinggal di kamar, bagaimana bisa aku menelepon Ara untuk menjemput? Malam-malam begini juga tidak ada bus yang beroperasi. Keputusan pulang sendiri bukan pilihan yang baik. Tetap tinggal disana juga bukan ide yang bagus.
Aku mulai bingung, bagaimana caranya aku pulang? Jarak rumah Bara dan rumahku membutuhkan dua puluh menit perjalanan menggunakan kendaraan. Haruskah aku berjalan kaki? Belum lagi bahaya yang akan mengancamku selama perjalanan. Aku mengumpat kesal. Seharusnya aku meminjam ponsel Selly untuk memberitahu Ara. Tetapi kondisi sudah tidak memungkinkan untuk berlama-lama di rumah Bara.
Aku menatap sekitar. Rumah-rumah yang lengang. Sepuluh menit berlalu akhirnya aku tiba di gerbang perumahan. Aku melepaskan flat shoes yang menempel di kakiku. Sol sepatunya terlepas. Sial sekali nasibku malam ini. Aku memutuskan untuk menentengnya saja, daripada mengganggu langkah kakiku.
Aku menyeberangi jalanan yang lengang. Hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Beberapa toko juga sudah menutup separuh roling door. Udara semakin dingin. Aku menyelipkan anak rambut. Sebenarnya aku mulai takut. Bagaimana jika ada orang yang berniat jahat. Astaga. Aku ini perempuan. Bela diri tidak bisa. Paling hanya bisa berlari.
“Jingga!”
Suara itu membuat aku menghentikan langkah. Jantungku berdetak kencang. Tiba-tiba di sebelahku muncul seorang pemuda yang bertengger di atas motor Honda CRF150L berwarna merah. Aku mengernyitkan dahi. Aku mengenali pemuda itu. Genta.
Genta membuka helm yang menutupi kepalanya. Aku mundur satu langkah, menjaga jarak. Entah aku harus merasa lega atau sebaliknya. Wajah Genta membuat aku sedikit tenang.
“Kamu ngapain malam-malam disini? Sendiri lagi.” Genta memicingkan mata. Pemuda itu mengedarkan pandangan.
“Aku baru pulang dari acara ulang tahun teman,” jawabku jujur.
“Enggak dijemput?” tanya Genta cepat. Aku menggeleng pelan.
“Naik!” perintah Genta cepat. Dia memakai kembali helm-nya.
Aku mulai bingung. Apakah saat aku menolak Genta akan membujuk? Sejujurnya aku ingin pulang secepatnya, tetapi malu jika diantar oleh pemuda berambut merah berantakan ini. Selama ini aku tidak pernah bersikap ramah padanya. Bagaimana jika dia sakit hati dan berniat untuk balas dendam padaku? Lantas sekarang menemukan waktu yang tepat untuk menculikku.
“Atau kamu mau jalan kaki saja?” Pertanyaan Genta membuat aku tersadar.
“Kamu ikhlas enggak, sih?” tanyaku ketus.
“Kalau enggak mau, ya udah. Bye, aku pulang.”
“Tunggu!” Aku mencegahnya dengan cepat. Aku tidak akan pulang jalan kaki.
“Naik! Jangan lama, aku banyak urusan.” Genta memakai helm-nya.
Aku menatap lamat-lamat motor yang dinaiki oleh Genta. Tinggi sekali. Aku meringis dalam hati. Bagaimana aku menaikinya? Rasanya aku ingin berteriak. Aku juga menggunakan dress.
“Nunggu apa? Bus?” Genta bertanya ketus. Aku menelan ludah dengan susah payah.
“Aku … aku bingung gimana cara naiknya.” Aku menunjuk motor milik Genta yang super tinggi untuk tubuh ringkihku.
“Astaga. Bilang dari tadi!”
Genta memiringkan motornya ke kiri. Aku menatap sekali lagi. Sepertinya aku sudah bisa naik sekarang. Aku maju satu langkah. Kakiku menaiki pijakan motor. Salah satu tanganku mencengkeram bahu Genta. Aku sudah duduk di boncengan Genta.
“Sudah?” tanya Genta.
“Sudah,” jawabku pelan.
“Turun kalau sudah.” Genta tertawa. Aku mencubit lengannya. Menyebalkan.
Sedetik kemudian motornya melaju membelah jalanan yang lengang. Rambut panjangku beterbangan. Tubuh tinggi Genta dibalut jaket tebal berwarna hitam. Dalam jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma musk dari tubuh Genta. Menenangkan sekali.
“Genta, aku minta maaf.” Aku bergumam pelan. Niatku hanya mencoba sebelum mengucap maaf yang sebenarnya. Aku pikir suaraku akan kalah oleh deru angin dan suara mesin motor. Tetapi aku keliru.
“Akhirnya kamu sadar atas dosa-dosa yang sudah kamu lakukan!” Genta berteriak mengalahkan suara deru angin. Aku terperanjat. Mencoba menatap Genta dari balik kaca spion.