Aku duduk di kursi yang menghadap jendela kamarku. Pukul sepuluh malam. Tirai jendela berwarna abu-abu kubiarkan terbuka. Sehingga pemandangan langit malam dapat terlihat jelas. Aku menatapnya lekat-lekat. Perjalanan hidupku layaknya rekaman yang diputar berulang-ulang. Membosankan.
Langkah kakiku yang rapuh seperti kehilangan arah. Aku seperti terpenjara oleh semesta yang remang-remang. Aku ingin keluar dan membebaskan diri. Namun aku tidak tahu bagaimana cara memulainya. Aku menginginkan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang membuat aku merasa berharga.
“Langit, aku merindukanmu.”
Kalimat itu adalah pengulangan yang tidak akan mendapat jawaban. Sebanyak apapun aku mengucapkannya, Langit tidak akan kembali. Aku tahu dan aku mengerti. Tetapi sulit untuk aku terima dengan seikhlas hati.
Aku melirik dompet kulit berwarna cokelat muda yang berada di atas meja belajarku. Dompet milik Genta. Aku meraihnya pelan. Aku belum membukanya sama sekali. Besok aku akan mengembalikannya di halte bus. Dia pasti akan datang.
“Dasar ceroboh!”
Aku tersenyum tipis dan meletakkan kembali dompet itu. Aku menyandarkan punggung dan mengusap rambut panjangku yang diikat asal.
Tindakamu adalah refleksi dari apa yang kamu pikirkan. Semakin banyak kamu merangkai kebahagiaan dalam pikiran, maka hal-hal baik akan segera muncul ke permukaan. Tidak ada orang lain yang akan mengubah hidupmu, kecuali diri kamu sendiri.
Kalimat Genta tadi sore itu masih menggelayuti kepalaku. Tidak juga lenyap meski berkali-kali aku menghempaskannya. Genta benar. Meskipun rambutnya berantakan, tetapi kualitas kalimatnya terdengar menjanjikan dan meyakinkan. Semua yang keluar dari mulutnya memiliki landasan.
Aku memejamkan mata perlahan. Menarik napas pelan. Aku mulai fokus. Hening. Semestaku seperti berhenti. Aku berada di sebuah dimensi tak terlihat. Hanya aku yang mampu merasakannya.
Embusan angin malam membelai rambutku. Menelisik kulit. Kehidupanku yang hampa dan menyedihkan seolah lenyap dan digantikan harapan-harapan baru. Harapan yang membuat aku lebih bernyawa sekaligus memiliki makna.
Aku tidak pernah memberinya nama. Tetapi inilah semestaku. Semesta yang menjadi tempat aku untuk menumpahkan segala resah. Semesta tempat aku membangun mimpi-mimpi indah. Semesta tempat aku bermonolog dengan sesuatu yang tidak nyata.
Dalam semestaku yang tak terhingga, aku bisa mengajak langit malam berkelana menuju masa depan yang menjanjikan. Aku bisa menjadikan kehidupanku meriah dan super megah. Namun sialnya, aku tidak berdaya membawanya ke kehidupan nyata.
Magenta Cakrawala. Aku mencoba menghadirkan dia dalam semestaku. Menginput pemuda berwajah tampan dengan rambut merah yang berantakan. Aku ingin menjadikan dia suatu objek yang bisa aku imajinasikan. Lima menit. Aku terkesiap.
Aku membuka mataku cepat. Menatap sekeliling kamar. Ara yang menggeliat di atas ranjang. Jam dinding yang berdetak. Tidak ada yang berubah. Aku menghela napas lega.
Semestaku seketika berubah ketika aku menginput data tentang Magenta. Aku tidak bisa menemukan dia di dalam duniaku yang abstrak. Seketika semestaku menolak. Apa yang terjadi? Aku menggeleng pelan. Meskipun semestaku ini hanya sebatas imaji di ruang hampa. Tetapi, saat mengetahui Genta tidak memiliki tempat disana. Membuat aku gelisah.
Sepuluh menit berlalu. Aku beranjak dari kursi. Menutup tirai jendela dan mematikan lampu kamar. Aku berbaring di atas ranjang. Menutupi seluruh tubuh dengan selimut tebal. Aku harus segera tidur. Mengistirahatkan kepalaku dari hiruk pikuk dunia.
***
“Hai, Jingga!” sapa Amar yang sekarang berdiri di sebelahku. Aku balas menyapa dan tersenyum tipis.