Aku berjalan cepat melewati meja-meja bundar di coffee shop. Kedua tanganku membawa nampan berisi latte pesanan pelanggan. Aku meletakkannya di atas meja dan tersenyum ramah. “Selamat menikmati.”
Aku kembali menuju meja barista yang ada di depan. Menghampiri Ayah yang masih sibuk meracik pesanan latte selanjutnya. Satu pekan belakangan coffee shop Ayah sedang ramai-ramainya. Meski ikut lelah karena membantu, tetapi aku senang. Ayah bisa menabung untuk keperluan keluarga.
Pukul empat sore. Satu jam lagi Ayah akan menutup coffee shop lantas pulang ke rumah. “Ayah, Jingga boleh duluan nggak pulangnya? Jingga mau mengembalikan dompet teman yang tertinggal,” tanyaku.
“Iya, nggak papa. Hat-hati, ya, Nak. Cari bus yang ramai, jangan yang sepi. Nanti kamu diculik. Repot Ayah,” seloroh Ayah. Aku hanya menanggapi dengan tawa ringan.
Aku melepas apron berwarna cokelat dan melipatnya dengan rapi. Setelah itu aku membalut tubuh ringkihku dengan trucker jacket berwarna army. Peninggalan Langit dua tahun lalu. Jaket yang selalu membuat aku merasakan kehadiran pemuda baik itu.
“Jingga pulang, Yah. Ayah hati-hati juga pulangnya.” Aku mengulurkan tangan. Ayah menyambutnya cepat. Aku mencium punggung tangan Ayah dan mengecupnya lembut.
“Setelah itu langsung pulang. Jangan kelayapan kemana-mana lagi.” Ayah mengingatkan. Aku mengangguk mengerti.
Aku meninggalkan coffee shop yang mulai lengang. Kakiku berjalan pelan melintasi trotoar yang dipenuhi oleh manusia yang berlalu lalang. Aku mendongak menatap langit. Langit cerah. Pertanda aku bisa menyaksikan langit kemerahan dari halte bus.
Lima belas menit berlalu. Aku turun dari bus terakhir yang beroperasi sore ini. Entah sejak kapan. Mataku selalu tertuju pada halte. Padahal tujuan utamaku menatap senja. Halte itu kosong. Tidak ada pemuda aneh yang datang tiba-tiba dalam hidupku. Magenta Cakrawala. Aku memutuskan untuk duduk.
Embusan angin sore menelisik kulitku yang berlindung di balik jaket. Rambut panjangku yang dikucir kuda beterbangan pelan. Aku menyelipkan anak rambut yang menutupi mata. Setengah jam berlalu. Tidak ada tanda-tanda ada kehadiran Genta.
Aku mengedarkan pandangan. Kendaraan yang berlalu lalang mulai berkurang. Pohon besar yang berdiri di seberang jalan terlihat kokoh meski dedaunannya tampak melambai. Aku menyandarkan punggung. Mengalihkan pandangan menuju dompet berwarna cokelat muda milik Genta.
Aku tidak sadar jika fokusku mulai pecah. Mataku tidak bisa menikmati warna kemerahan yang berada di ujung sana. Pikiranku tertuju pada kehadiran Genta. Kemana pemuda berambut merah berantakan itu? Aku mengembuskan napas perlahan. Mencoba untuk menunggu sebentar lagi.
Lima belas menit berlalu lagi. Aku melirik arloji perak yang melingkar di pergelangan tanganku. Pukul setengah enam sore. Jika aku tidak segera pulang, maka ayah dan ibuku akan khawatir. Aku mulai gelisah. Entah datang darimana perasaan aneh ini. Ketidakhadiran Genta memunculkan perasaan asing.
Ada sebuah rasa baru yang menyelinap lewat rongga kesendirianku. Tidak ingin aku sadari. Terlalu gengsi aku akui. Enggan aku perjelas dengan memberinya nama. Aku melirik cahaya kemerahan yang seketika tidak menarik detik itu juga. Semesta dalam imajiku memberontak mencari jalan keluar untuk menjelaskan. Pada detik berikutnya aku mengeluh tertahan.
Perasaan perdana yang menyerangku secara berkala dan dalam tempo yang berirama. Hari ini aku menyadari. Lambat laun. Kedatangan Genta dalam langkah yang samar. Senyum manis di gurat wajahnya yang keras. Kalimat-kalimat tentang kehidupan yang selalu menyentuh dasar hati. Rambut merah berantakan dan jaket tebal yang membalut tubuhnya.
Aku membutuhkannya.
Aku mengembuskan napas kasar dan beranjak pergi dari halte bus. Sore ini perasaanku gelisah bercampur penolakan. Aku memasukkan kembali dompet milik Genta ke dalam ransel. Mempercepat langkah.
“Jingga! Kamu masih punya waktu besok!” batinku berusaha untuk menutupi segala resah. Bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Padahal dadaku bergemuruh dilanda bencana tak bernama.
“Aduh, Jingga! Berhenti memikirkan Genta! Kamu tidak boleh menaruh harapan apapun pada pemuda itu!” batinku berusaha menyangkal semua perasaan yang ada. Entah sampai kapan aku bisa meredam perasaan yang kian buncah.
“Genta! Kenapa kamu tidak datang, sih!” Aku mengumpat kesal. Sebentar lagi aku tiba di rumah. “Dasar menyebalkan! Asal kamu tau, aku malas sekali menyimpan dompetmu ini!” Aku meracau.
***
Aku berjalan cepat menyusuri trotoar yang tidak terlalu ramai. Mentari bersinar dengan terik. Aku menyipitkan mata, cahaya terangnya membuat mataku silau. Suara ramai kendaraan yang berlalu lalang menyatu dengan riuhnya suara manusia. Aku menunduk. Menghindari kontak mata dengan siapapun.
Salah satu tanganku menenteng plastik berisi keperluan dapur. Seharusnya Ara yang melakukan semua ini, tetapi adikku sedang mengerjakan tugas di rumah temannya. Akhirnya aku terpaksa pergi ke minimarket untuk membeli beberapa keperluan. Sekarang pukul dua siang.
“Jingga!”
Suara teriakan itu membuat langkahku terhenti tiba-tiba. Aku mengedarkan pandangan. Mencari sosok yang menciptakan sumber suara. Mataku menangkap sosok pemuda tinggi dengan wajah putih bersihnya. Bara.
Pemuda itu menatapku lamat-lamat dari kejauhan. Aku menunggunya. Dia berlari kecil menghampiri posisi berdiriku yang melawan sinar mentari. Aku menyeka keringat yang membasahi pelipis. Mengembuskan napas pelan.
“Hai, Jingga!” sapa Bara dengan senyum lebar. Tubuh tingginya menghalangi cahaya mentari yang menimpaku. Rambut hitamnya berkilau.
“Hai, Bara,” balasku dengan senyum tanggung.
Sejak kejadian malam itu—perayaan ulang tahun Bara yang meriah. Sejak aku menolaknya dengan cara sehalus yang aku mampu. Hubunganku dengan Bara sedikit renggang. Sungguh, bukan karena Bara marah dan memberi jarak padaku. Namun karena aku sendiri yang membangun tembok besar antara aku dan pemuda itu.