Pukul lima sore. Aku duduk di halte bus sembari menatap gedung-gedung tinggi menjulang yang berada di kejauhan. Mentari siap tumbang di kaki langit bagian barat. Burung-burung camar terbang beriringan melintasi langit. Embusan angin sore menerbangkan rambut hitamku yang dikucir kuda.
Aku mengedarkan pandangan. Mencari seseorang yang seharusnya sudah datang dan menyapaku dengan senyum hangat. Rambut merah berantakannya akan melambai diantara kilau cahaya kemerahan. Magenta.
Aku menyandarkan punggung. Pemuda menyebalkan itu belum terlihat sejauh mata memandang. Kendaraan yang berlalu lalang mulai berkurang. Beberapa pekerja bangunan berjalan di trotoar dengan wajah lelah. Gerobak-gerobak yang seharian berkeliling berhenti di bawah sebuah pohon rimbun.
Lima belas menit berlalu. Perlahan dan dalam gerakan lambat bola matahari bundar bersiap tenggelam dipeluk oleh ufuk barat. Menghasilkan warna kemerahan yang kontras dengan langit abu-abu. Gurat-gurat langit terlihat indah.
Aku mengembuskan napas pelan. Seseorang yang membawa langkah kakiku lebih cepat menuju halte bus ini tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Sebuah perasaan yang tidak pernah datang tiba-tiba bertandang dalam waktu yang lama.
“Genta kemana, sih?” Aku menatap dompet berwarna cokelat muda milik pemuda itu.
Mataku beralih menatap senja yang indah. Namun baru satu menit menatapnya. Hatiku kembali memerintah untuk mencari keberadaan Magenta. Berkali-kali aku menolak perintahnya, namun ternyata aku kalah juga.
Sungguh aku tidak bisa mengenang Langit dalam keadaan seperti ini. Jangankan membayangkan wajah tampan dan senyum indahnya. Bahkan untuk merasakan kehadirannya seperti biasa saja aku tidak mampu.
Genta membuat fokusku terbagi ke berbagai penjuru yang sebelumnya tidak aku kenali. Ketidakhadiran pemuda berambut merah berantakan itu mengusik ketenangan yang selama ini selalu datang di halte bus ini.
Genta pergi kemana? Kenapa beberapa hari terakhir dia tidak datang? Apakah kehadirannya sudah usai?
Tiga puluh menit berlalu Genta tidak juga datang. Aku memutuskan pulang setelah mentari sempurna hilang. Suasana mulai gelap dan keramaian digantikan oleh sunyi. Aku pulang dengan kecewa yang menggantung di pelupuk mata. Dengan rasa gelisah yang bergelayutan di dalam benak.
***
Aku berbaring di atas tempat tidur yang selalu rapi. Aku melirik jam dinding berwarna putih yang menjuntai di tembok putih bersih. Pukul sembilan malam. Seharusnya aku masih duduk santai di ruang tamu bersama Ayah untuk menonton televisi atau hanya sekadar mendengarkan nasihatnya.
Namun malam kelabu yang sudah lama tak menjumpaiku kembali singgah. Tidak ada makan malam yang hangat malam ini. Tidak ada canda tawa untuk membuat suasana rumah menjadi lebih baik dari gubuk belaka. Seolah rumahku sedang diliputi awan hitam yang membendung milyaran rintik hujan. Siap luruh kapan saja.
Keluargaku yang tenang seperti tidak memiliki masalah serius. Namun jauh di dalam akarnya yang tersembunyi. Bergemuruh persoalan-persoalan yang tidak juga memiliki titik tuntas. Permasalahan yang sejak dulu tidak berubah. Judulnya tetap sama, hanya jalan ceritanya saja yang dibuat lebih rumit.
Aku masih bisa mendengar dengan samar kegaduhan dari kamar sebelah. Suara ayah dan ibu yang berlomba-lomba untuk mempertahankan argumen masing-masing. Adu mulut untuk memenangkan keegoisan diri. Tidak ada tanda-tanda akan menyelesaikan hingar-bingar yang menulikan telinga.
Problematikanya hanya satu. Tentang uang. Tentang ekonomi keluargaku yang semakin memburuk. Pendapatan dari coffee shop milik Ayah sedang turun drastis. Begitu juga dengan angkringan Ibu. Ayah curiga jika Ibu bermain api di belakangnya. Ayah berprasangka jika habisnya uang karena Ibu yang menyeleweng.
Sementara Ibu mati-matian mempertahankan diri dan mengelak dengan berbagai macam sumpah. Aku tidak tahu harus memercayai siapa. Setiap mereka mengadu padaku, hatiku selalu dilanda bimbang yang menyesakkan dada.
Aku tidak bisa membantu banyak kecuali dengan untaian doa. Bibirku memang hanya diam membisu seolah ragaku tidak mendapat stimulus apapun. Mereka tidak tahu jika semestaku gaduh oleh milyaran pikiran yang mengusik diriku. Mereka tidak mengerti jika dalam semestaku yang kelabu, pertengkaran mereka mampu memantik api yang memprovokasi pikiran buruk untuk datang.
Aku berusaha menahan air mata yang menggumpal di kelopak mata. Rasanya sakit sekali. Lima detik aku menang. Berhasil membuat rintik kesedihan itu bersembunyi. Namun detik berikutnya air mataku tak terbendung lagi saat pintu kamar sebelah dibanting dengan keras. Tetes-tetes berikutnya berlomba-lomba untuk membanjiri wajah.
Aku menutup seluruh tubuh dengan selimut tebal. Terisak dalam. Sendiri dalam kegamangan yang menyita tenaga. Dalam hening kelam yang selalu menyiksa. Ara sedang bertandang ke rumah temannya. Menginap untuk mengerjakan tugas prakarya. Tersisa aku sendiri dalam malam yang dirundung nestapa.
“Ya Tuhan, tolong utuhkan kembali keluargaku. Beri mereka solusi agar masalah mereka bisa segera tuntas. Aku rela menukar apapun yang sekarang aku miliki untuk membeli ketenangan dalam rumahku.”
Dalam senyap dan isak tangis yang semakin memilukan, aku hanya mampu merapal doa. Aku tahu Tuhan tidak pernah tidur. Aku tahu dia akan selalu mendengar.
“Kak, Jingga!” panggil Aldava yang sudah masuk ke kamar.
Aku buru-buru menghapus air mata yang membuat wajahku sembab. Aku bangkit dan menyambut kedatangan adikku dengan kedua tangan. Aldava langsung menghambur ke dalam pelukanku. Aku mendekapnya erat.
“Ayah dan Ibu kenapa, Kak?” tanya Aldava polos.
“Nggak papa. Aldava tidur sama Kakak, ya.” Aku berusaha menenangkan adikku.
Napas Aldava tidak teratur. Derap langkah kakinya ketika menuju ke kamarku tergesa-gesa. Aku tahu dia sedang ketakutan saat suara Ayah dan Ibu semakin membahana.
“Ayah dan Ibu akan terus bersama, kan, Kak?”