Aku berjalan pelan menyusuri komplek elite yang berada sangat jauh dari rumahku. Untuk sampai kesini saja aku harus memesan ojek online dan merogoh kocek cukup dalam. Aku bahkan tidak yakin jika nanti aku bisa pulang dengan menggunakan ojek online lagi.
Aku tidak tahu detail rumah Magenta. Di dalam kartu identitasnya tidak tertera jelas dimana rumahnya. Aku menyeka keringat yang membasahi pelipis. Rumah-rumah bertingkat dengan halaman yang asri membasuh mataku. Sekarang pukul empat sore.
Aku mengembuskan napas perlahan. Langkahku terhenti saat menatap sebuah motor berwarna merah yang tidak asing terparkir di depan sebuah rumah berwarna abu-abu dan putih. Sepertinya aku mengenal motor itu.
Aku berjalan pelan menuju rumah bertingkat dua itu. Berharap jika itulah tempat Magenta pulang setelah lelah bertualang. Aku menekan bel rumah dan menunggu sejenak. Mataku jelalatan melirik bunga-bunga aster yang mekar indah. Menatap dua batang bongsai yang sepertinya baru dipangkas.
Dua menit menunggu, akhirnya pintu besar berwarna abu-abu itu terbuka perlahan. Aku menghentikan kegiatanku menatap bunga-bunga yang ditanam di dalam pot-pot berwarna putih bersih. Aku siap menyambut seseorang yang berada di balik pintu.
Seorang perempuan dengan rambut sebahu berwarna merah tembaga terang muncul dari balik pintu. Wajahnya putih bersih dengan bintik-bintik merah di sekitar bagian hidung dan bawah mata. Aku tersenyum kaku menatapnya.
Sepertinya aku tidak salah mengetuk pintu rumah. Perempuan itu memiliki warna rambut yang sama dengan milik Genta. Aku baru pertama kali melihat warna rambut yang sangat langka ini. Bola mata perempuan itu berwarna abu-abu terang. Aku terkesima menatapnya. Perpaduan yang luar biasa.
Perempuan itu menatap sedikit kaget. Dia tersenyum hangat menatapku. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya perempuan itu ramah.
“Maaf, Bu saya mengganggu waktunya. Apakah benar ini rumah Genta?” tanyaku sopan.
“Magenta Cakrawala?” Perempuan itu mengangkat alisnya. Aku mengangguk mantap.
Perempuan itu tersenyum hangat. Wajahnya yang teduh sangat menenangkan. Aku berusaha tersenyum semanis mungkin untuk membalas senyum hangatnya.
“Kamu pacar Magenta, ya?” Perempuan itu tersenyum penuh makna.
Aku kaget bukan main. Bibirku terbuka beberapa senti. Kalimat itu spontan membuat aku menggeleng cepat dan mengibaskan tangan. “Bukan, Tante!” sanggahku cepat. Aku memasang wajah paling meyakinkan agar perempuan itu percaya.
Namun satu yang harus aku syukuri. Rumah ini sudah pasti benar adalah rumah Magenta. Dan perempuan yang sekarang sedang meladeniku kemungkinan besar adalah ibu Magenta. Itu artinya, aku tidak perlu mengetuk setiap pintu yang berada di komplek ini satu persatu.
“Maaf. Kamu teman kuliah Magenta?”
Aku kembali menggeleng. Perempuan itu menyipitkan mata tidak mengerti. Aku yang berada di hadapannya semakin bingung dan salah tingkah. Aku harus menjawab apa? Aku ini termasuk kategori apa dalam kehidupan Magenta?
Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. “Perkenalkan, Tante. Nama saya Jinggani.” Aku mengulurkan tangan.
Perempuan itu menyambut uluran tanganku dengan senang hati. Bahkan sebelum aku mencium punggung tangannya, dia tersenyum manis sekali. Aku terpesona melihatnya. Jika dipandang dengan teliti, wajah perempuan di hadapanku ini adalah separuh dari gurat wajah Magenta yang tak terlihat.
“Masuk dulu, ya kita bicara di dalam. Kamu pasti mau bertemu dengan Magenta, kan?” Perempuan itu meraih pundakku dengan lembut dan menuntunku untuk masuk ke rumahnya. Sungguh aku tidak bisa menolak walau hanya dengan sebuah kalimat. Aku hanya menurut seperti orang yang sedang dipukau.
Aku duduk di sebuah sofa berwarna abu-abu yang berada di ruang tamu. Ruangan itu besar sekali. Jika aku taksir, kira-kira bisa menampung sekitar tiga puluh orang lebih. Perabotan mewah tertata rapi dan proporsional. Lukisan-lukisan abstrak menggantung indah di dinding yang sempurna bersih. Lantainya juga berbahan marmer yang berkilau. Aku tidak pernah menginjakkan kaki di rumah sebesar dan semewah ini.
“Kamu tunggu sebentar, ya. Saya buatkan minum untuk kamu,” ucap perempuan itu hangat.
“Nggak perlu Tante, saya cuma sebentar disini. Mau mengembalikan—
Belum sempat aku melanjutkan bicara dan memperlihatkan dompet berwarna cokelat muda milik Genta, perempuan itu sudah meletakkan jari telunjuknya di depan bibir sembari menggeleng pelan.
Perempuan itu menatapku dengan senyum lebar. “Pertama, jangan panggil saya Tante. Saya tidak terlihat seperti tante-tante, bukan?” Perempuan itu terkekeh pelan.
“Saya juga kurang senang jika dipanggil ibu.”
“Magenta biasa memanggil saya dengan sebutan Bunda. Kamu juga boleh memanggil saya dengan sebutan Bunda,” jelas perempuan itu dengan intonasi yang sangat ramah.
Aku sampai bingung harus merespon dengan cara apa. Dia sangat humble. Bahkan padaku yang baru dikenalnya beberapa menit lalu. Apakah dia tidak menaruh rasa curiga sedikit pun padaku? Bagaimana jika yang datang adalah orang jahat?
“Kedua. Jangan buru-buru. Saya buatkan kamu minum dulu, Jinggani. Lagian Magenta juga belum ada,” sambung perempuan itu.