Aku duduk di kursi kayu yang berada di kamarku. Sekarang pukul delapan malam. Seharusnya satu jam yang lalu aku pergi untuk bertemu teman-teman SMA-ku untuk acara reuni. Tetapi langkah kakiku tidak tergerak untuk bergabung kesana. Berkali-kali aku membujuk hati untuk hadir walau hanya menunjukkan wajah, namun berkali-kali juga kepalaku menolak dengan kalimat tidak usah.
Sore ini aku tidak menatap senja di halte bus seperti biasanya. Tidak ada acara mengenang Langit di antara cahaya kemerahan yang ranum. Aku pulang dengan pikiran yang bercangka dan perasaan yang buncah. Bahkan yang lebih melankolis, aku menjatuhkan air mata saat semuanya kupikir biasa saja.
Kalimat Genta tadi sore membuat aku mulai berpikir ulang, merangkai penjelasan dari kisah yang sudah terlewatkan. Aku menopang kepalaku dengan kedua tangan. Tiba-tiba kepalaku pusing. Kenapa sepotong kisah yang tidak aku yakini itu harus datang saat hatiku ingin membangun sebuah juang?
Aku tidak tahu Genta hanya mengarang kisah atau bicara yang sebenarnya. Tetapi satu hal yang bisa aku simpulkan. Bagaimana mungkin sepotong kisah itu dikarang dalam alur yang runut dan menampilkan tokoh yang nyata? Fakta perihal Genta dan Langit itu bersaudara sudah tidak bisa aku sangkal. Lantas fakta tentang Genta mencintaiku—
Narasi dan semua pikiranku terpecah saat dering ponsel yang berbunyi dalam irama bising memenuhi seluruh penjuru kamar. Aku berdiri dan mengambil ponselku yang berada di atas tempat tidur yang masih berantakan. Aku belum sempat merapikannya dan sepertinya Ara juga tidak peduli.
Aku menatap layar ponsel. Bara. Untuk kepentingan apa pemuda itu menghubungiku malam-malam seperti ini? Aku memutuskan untuk mengangkatnya.
“Halo, Bara.”
“Halo, Jingga! Kamu dimana?”
Suara yang barusan masuk ke ponselku bukan suara Bara, melainkan suara seorang gadis yang aku yakini adalah Selly.
“Selly?” Aku mengernyitkan dahi tidak mengerti.
“Iya, Jingga. Aku pinjem ponsel Bara. Kamu dimana? Kenapa belum datang?” tanya Selly. Suara gadis itu sedikit berbaur dengan suara riuh di tempatnya. Selly harus sedikit berteriak agar suaranya terdengar olehku. Sepertinya disana sudah ramai sekali.
“Maaf, ya aku nggak bisa datang,” ucapku pelan. Aku duduk di tepi ranjang. Menatap cahaya bulan yang bersinar terang. Jendela kamar kubiarkan terbuka.
“Kenapa, Jingga? Padahal kita nungguin kamu, loh.” Suara Selly terdengar kecewa.
“Maaf, Sel. Bilangin ke teman-teman yang lain, maaf karena aku nggak bisa ikut gabung sama kalian,” jelasku.
“Iya, Jingga nanti aku sampaikan sama mereka. Aku matiin, ya. Bye, Jingga.”
“Bye, Selly,” balasku dengan senyum kecil. Sambungan telepon telah diputus. Aku meletakkan ponsel di atas meja kecil yang berada di dekat tempat tidurku. Kenapa malam ini aku merasa sangat lelah?
Aku kembali duduk di kursi kayu yang menghadap meja belajar minimalisku. Aku menarik kotak berwarna hitam dan meletakkannya di atas meja. Membukanya perlahan dan mengeluarkan benda berbentuk hati berbahan dasar beludru berwarna merah. Benda yang membuat hatiku bergetar setiap menatapnya.
Kotak cincin yang diberikan oleh Langit beberapa tahun lalu. Jika kehadiran Langit adalah skenario dari Genta, itu artinya bukan sebuah ikhlas yang melandasi semua perbuatan manis Langit padaku. Semua kalimat semangatnya juga bukan kehendak hatinya. Semua yang Langit lakukan atas perintah orang lain. Apakah benar begitu? Dan apakah cincin ini juga bagian dari skenario Magenta?
Aku membuka benda keramat itu. Menampilkan sebuah cincin perak dengan tiga mata berlian. Aku menatapnya lamat-lamat. Aku kembali mengingat kalimat Langit beberapa tahun lalu saat memberikan cincin ini.
“Aku sangat bersyukur dipertemukan denganmu, Jingga, meski dengan cara dan skenario yang diciptakan sebelumnya. Aku percaya suatu saat nanti kamu akan mengerti dengan cara terbaik.”
Sempurna! Kalimat itu adalah kuncinya. Kalimat itu adalah sesuatu yang terlupakan dalam apungan ingatanku yang payah. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Kenapa kalimat sesederhana itu memiliki penjelasan yang amat rumit?
Aku menutup cepat benda itu dan meletakkannya kembali ke dalam kotak berwarna hitam. Aku menggeleng pelan. Jika semua penjelasan Genta tadi sore adalah fakta, maka kesimpulannya adalah tidak pernah ada cinta. Langit tidak mencintaiku.
Sama seperti dia yang tidak pernah mengungkapkan rasa, maka seperti itulah hatinya untukku. Tidak pernah ada cinta walau hanya setitik semesta. Hanya aku yang jatuh cinta.
Aku mengembuskan napas dengan kasar. Air mata yang sejak tadi kubendung dengan susah payah akhirnya luruh juga. Membendungnya membuat mataku panas, maka jatuhnya membuat semua rasa sedih menjadi jelas. Kegamangan yang selama ini menyelinap lewat sepi yang kian menggelap akhirnya tuntas dalam satu kali hela napas.
Aku benar-benar tidak menyangka. Ternyata diamnya Langit atas semua rasa adalah jawaban dari segalanya. Dia datang hanya untuk menyampaikan perasaan Genta. Warna indah yang dia goreskan ternyata hanya bayangan dari objek yang lainnya, yaitu Magenta. Kalimat Genta beberapa waktu lalu ternyata bukan sebuah prosa yang aku anggap tipu daya saja.
"Kamu bukan orang asing, Jingga. Kamu adalah bagian terpenting dari masa lalu, masa sekarang dan masa depanku.”