Semestamu

Dickry Fajarudien
Chapter #2

Jejaring fiksi

Aku usahakan untuk terus mengirim surat padamu, walaupun sampai saat ini tak kunjung kudapat balasan darimu. Kau mungkin tertawa saat membaca ini, seolah terdengar bahwa aku seperti bayi yang merengek meminta sebotol susu pada ibunya. Kau tahu sendiri kan?, kau merupakan manusia yang sama sekali berbeda dari manusia lainnya. Kita hidup di zaman modern, dimana segala hal konvensional bertransformasi menjadi digital. Berkomunikasi dengan surat menyurat seperti ini merupakan hal yang sangat kuno sekali. Bagaimana manusia era modern seperti kita bisa jarang sekali menggunakan ponsel pintar?. Jujur saja, aku kerapkali tertawa ketika membicarakan hal ini. Kau menggunakan ponsel hanya sebatas untuk berkomunikasi hal yang penting-penting saja, kau tidak punya media sosial, kau tidak pernah bermain mobile game, tidak pernah berkecimpung didunia maya. Kau seolah terlepas dari ikatan sistem dimana orang lain sulit sekali untuk keluar, sistem globalisasi. Kau hidup di dunia imajiner yang bahkan tidak pernah terbayangkan oleh orang lain.

Kau pernah berkata, "Kita semua merupakan produk fiksi. Segala hal yang kita lakukan, yang kita perbuat, entah itu sikap; sifat; dan tindakan kita, semua nya terhegemoni oleh fiksi."

Saat terlontar sebuah pernyataan atau pertanyaan dari mulutmu, itu merupakan awal saat kau memulai sebuah rangkaian jaring narasi dimana dari sanalah aku akan di diikat dan diajak masuk ke dalam dunia imajiner yang bahkan aku bingung harus menjelaskannya bagaimana. Keteraturan dan kekacauan menyatu didalam duniamu itu, terakumulasi dalam otak seorang pria berusia 25 tahun, dengan rambut ikal berantakan dimana menunjukan bahwa kau acuh terhadap penampilanmu, mata bulat seperti buah plum selalu terlihat sayu dengan kantung mata hitam sebagai pelengkap bahwa kau memang sering begadang membaca buku semalam suntuk. Tapi harus ku akui bahwa isi kepalamu itu penuh dengan hal brilian, ditambah visual wajahmu juga yang begitu rupawan.

"Fiksi?. Bagaimana bisa kau mengatakan bahwa kita adalah prodik fiksi?". Aku melontarkan sebuah pertanyaan karena heran dengan pernyataanmu yang begitu abstrak tentang konsep "fiksi"

Kau mengeluarkan seringai pertanda bahwa semuanya akan dimulai. Aku akan mulai dijejali konsep abstrak yang pada akhirnya akan membuatku terkejut juga. Kau mulai membuat gestur dengan menunjuk kepalamu menggunakan telunjuk dan berkata, "Pernahkah kau berpikir bahwa kita adalah makhluk naratif yang dibentuk dari cerita, digerakkan oleh cerita, dan hidup untuk cerita?."

"Aku tidak paham dengan konteks dari pertanyaanmu itu. Cerita?, tak terbesit sedikitpun dalam pikiranku."

"Oke, pernah membaca novel El ingenioso hidalgo Don Quixote de la Mancha karya Miguel de Cervantes?."

"Iya pernah. Novel itu sangat menarik bagiku, mengisahkan tentang Alonso Quixano; seorang lelaki hidalgo 50 tahun yang punya banyak uang dan menghabiskan waktu luang dengan membaca begitu banyak buku dongeng tentang pengorbanan para kesatria, saban hari sedari senja hingga fajar dan hari-hari menjelang fajar hingga malam. Akibat kurang tidur dan kebanyakan membaca membuat otaknya mengering hingga mengira dirinya sedang hidup di zaman dahulu kala—zaman ketika para jagoan bertempur memperjuangkan hal-hal yang luhur semisal kebenaran dan keadilan.Dan, sang tokoh protagonis ini tiba-tiba memutuskan meninggalkan rumah, berkeliling naik kuda lengkap dengan baju zirah untuk memenuhi panggilan ke-kesatria-annya: meluruskan segala hal yang salah di masyarakat serta membawa keadilan bagi dunia. Petualangan si Alonso ini pun menjadi seru sebab ia menganggap segala hal di dunia nyata seturut fantasi dari bacaannya. Ia menamai kudanya Rocinante, lalu merekrut seorang pengawal bernama Sancho Panza yang sebenarnya hanyalah seorang petani sederhana. Ia juga menunjuk sesosok gadis-yang-entah sebagai cinta imajinernya yang ia beri nama Dulcinea del Toboso, yang darinya ia memperoleh nilai-nilai kebenaran dan keindahan. Lalu ada pula kincir angin yang dikiranya raksasa yang harus dikalahkan; sekawanan domba yang dianggapnya pasukan musuh; hingga sosok penyihir 'virtual' (enchanters, encantador) yang dijadikan kambing hitam yang selalu mengecoh pikirannya."

Kau pun tertawa saat mendengarkan resensi singkat ku terhadap Novel itu. "Sungguh Alonso Quixano telah hilang-tenggelam dalam cerita dongeng. Dan di dunia fiksinya itu, dia telah mendaulat dirinya sebagai kesatria bernama: Don Quixote de la Mancha . Ngomong-ngomong, resensi mu sangat emosional."

Tanpa menghiraukan diriku yang merasa di ejek, kau pun melanjutkan, "Membaca novel Cervantes itu bisa membuat kita mengernyitkan kening iya kan?, sambil terpingkal-pingkal, barangkali. Sebab selain kehebatan Cervantes meramu fiksi berlapis fiksi, juga dikarenakan oleh kekonyolan sang tokoh yang, jika didiagnosa dari ilmu psikoanalisis atau psikiatri, memberi gambaran seorang pengidap sakit jiwa yang lucu dengan spektrum kegilaan dari megalomania hingga skizofrenia paranoid. Namun jika kita membacanya lebih jauh, kita juga bisa menemukan hal yang lain bahwa, racikan cerita itu, seperti dakwaan Fyodor Dostoevsky, berisi tentang "kebohongan yang diselamatkan oleh kebohongan". Don Quixote, dengan demikian, seyogianya tidak sekadar terbaca sebagai cerita tragis nan getir. Tapi kisah itu juga bisa mengilustrasikan persoalan krusial tentang hidup manusia yang disindirnya sekadar berkisar pada cerita-cerita fiksi dan dusta belaka."

"Lantas, menurutmu, apakah serta-merta Don Quixote adalah kita—apakah kita adalah Homo quixotienses?". Aku bertanya sambil menyilangkan tanganku di dada.

"Barangkali kita akan kesal lalu menyangkal. Dan barangkali spesies manusia-manusia modern yang mendaku punya akal sehat akan balik mendikte, "Don Quixote itu gila! Wajar saja jika ia hidup dalam fantasinya." Tapi barangkali Don Quixote akan terdengar akrab ketika suatu pagi kita terbangun dari lelahnya membaca teks kitab suci, semisal Das Kapital, dan berdiskusi tentang Marxisme berhari-hari lalu tiba-tiba kita keluar rumah dan membagi struktur di masyarakat menjadi kelas-kelas kemudian mengusung sebuah perjuangan atas nama kelas; atau sebagian kita ada yang kembali tidur setelah mendengar dongeng tentang Khilafah, padahal belum cuci kaki atau gosok gigi, dan mendaku sebagai orang-orang terpilih yang berkumpul di organisasi alam mimpi untuk menyatukan dunia dalam sebuah pemerintahan tunggal."

Sejenak kau menyeruput kopi espresso dalam gelas kaca kecil, lalu menyenderkan punggungmu pada kursi kayu yang memiliki sandaran berbusa. Sambil memegang gelas kopi dan memejamkan mata sebentar, kau melanjutkan, "Fenomena-fenomena ke-barangkali-an ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa ketika kita berperilaku, bahkan, ketika kita mengukuhkan sebuah identitas, selalu saja ada 'jejaring cerita' dan 'perintah naratif' yang beroperasi di balik pikiran kita, yang seolah 'memaksa' menyihir dan menghegemoni agar kita turut serta mengambil karakter juga berbagai peran di dalamnya. Terdengar klise? Mungkin saja. Tapi persoalannya kemudian, sejauh mana kita percaya bahwa cerita-cerita yang mendikte itu bukanlah cerita-cerita fiksi belaka; sejauh mana otak kita bisa membedakan antara yang fiksi dan yang fakta; sejauh apa kita menyadari bahwa, secara teknis, kita hanyalah 'korban' fiksi, atau 'agen' yang digerakkan oleh dongeng, mitos, legenda, gosip, ilusi, fantasi, simulasi, konspirasi?."

Lihat selengkapnya