Tuk… tuk… tuk…
Perempuan berkacamata itu terlihat sedang serius membaca sesuatu dari ponsel pintarnya. Tangannya mengetuk gelas di hadapannya seirama dengan bibir yang sesekali mengerucut pertanda ketidaksetujuan terhadap apapun yang dibacanya. Sudah cukup lama dirinya duduk di meja itu, sendirian. Namun hingar bingar di sekitarnya sama sekali tidak mengusik dirinya yang tenggelam dalam dunianya sendiri.
Hujan lebat yang mengguyur kota ini sudah berubah menjadi gerimis kecil. Lelaki yang menggunakan kemeja flannel berlari kecil dari parkiran sepeda motor menuju ke pintu kafe. Matanya yang setajam elang langsung saja dapat menemukan makhluk cantik yang sibuk mengetuk gelas di meja sana sembari serius membaca. Bahkan hingga dirinya duduk di depannya, perempuan ini masih saja tidak bergeming.
Tuk… Tuk… Tuk…
Lima menit duduk disana dan diabaikan, Banu tidak tahan lagi. Bukan dia tidak suka memandang perempuan ini, namun jika dibiarkan sedikit lebih lama lagi selamanya Banu hanya akan jadi makhluk tidak kasat mata. Maka dia ikut mengetuk gelas yang ada di hadapan perempuan itu. Berhasil. Sepasang mata coklat di balik kacamata bulat itu mengangkat wajahnya dari layar dan menatap Banu.
“Lah dateng gak bilang-bilang”
“Hanya karena baru terlihat, bukan berarti tidak ada.” Tandas Banu.
Arutala tergelak. Berbicara dengan pria di hadapannya ini selalu menyenangkan. Banu dapat melontarkan kata-kata yang membuat siapapun berpikir keras maknanya. Dirinya yakin, Banu pasti dapat nilai sempurna khusus untuk pelajaran bahasa Indonesia.
“Berat amat sih kata-kata lo, kenapa? Hujan buat baper yahhhh. Makanya lo cari pacar lah. Comot aja tuh salah satu model-model lo, pacarin, biar ada wadah tuh kata-kata lo.”
“Gimana kalau yang nyuruh cari pacar itu punya pacar duluan, jadi gak sibuk aja sama dunianya sendiri”
“Woooohh, Banu jadi galak deh ah kalau bawa bawa pacar. Huahahaha. Udah udah, gue ngajak lo ketemu itu mau bahas kerjaan. Job lo full ga bulan ini?”
Malam itu dihabiskan dengan bergelas-gelas minuman dan kertas bertebaran. Entah berapa lama mereka saling memutar otak membicarakan pekerjaan. Sudah hampir jam 12 malam, Banu menyudahi pertemuan ini. Tidak baik seorang perempuan pulang lewat tengah malam. Begitu yang diajarkan oleh ibunya.
“Kamu ke sini bawa kendaraan?”
Arutala menggeleng sambil sibuk membereskan dokumen dan laptopnya.
“Yaudah ayo saya antar”
“Yukkk…”
Aroma tanah basah sehabis hujan adalah aroma yang paling disukai Arutala. Dan kini ia duduk di sepeda motor, berboncengan dengan laki-laki, di jalanan yang semakin malam malah semakin ramai, keseluruhan malam ini melemparkan ingatan saat usianya beranjak 18 tahun.
2008
Lelaki yang sedang mengendari motor di depannya sibuk bersiul-siul. Berbanding terbalik dengan perempuan yang duduk di bangku penumpang yang menekuk mukanya sembari mengerucutkan bibirnya. Gatra melirik dari kaca spion dan tertawa.
“Yaelahhh Tal, muka lo ketat amat deh kaya kolor baru. Santailah. Kan bukan salah gue ban motornya bocor, bukan salah gue juga abis itu turun hujan. Sabar Tal, sabar, orang sabar makin disayang gue.”
“Diem lo!” Cerca Arutala.
Kenapa juga tadi mengiyakan saat akan diantar pulang sama cowok ini. Sekarang dia hampir pulang kemalaman. Dirinya sudah berjanji pada Ama untuk tidak pulang terlalu malam lagi mendekati ujian pertengahan semester. Tapi lihatlah dia sekarang ada di kursi penumpang motor yang selalu saja dijadikan incaran perempuan satu sekolahan. Bahu yang ada di hadapannya kini terlihat lebar untuk ukuran anak SMA. Wajar saja, empunya pemilik bahu adalah Kapten sepakbola kebanggaan sekolah mereka. Tubuhnya tinggi dan atletis. Seringnya terpapar matahari membuat kulitnya berubah menjadi sawo matang kecoklatan yang malah sangat cocok disandingkan dengan mukanya yang selalu saja seperti tertawa.
Sejak memulai masa putih abu-abu pada tahun 2006, perempuan bernama lengkap Sembagi Arutala sudah menentukan arah dan langkahnya. Target hidup dan keinginannya sejelas mentari pagi dan seterang bulan purnama di malam hari. Tidak ada hal apapun yang akan mengganggu jalannya. Sedari dulu dirinya dikenal ambisius pada mimpi dan pencapaiannya. Jadi untuk memudahkan langkahnya, Tala, begitu akhirnya dirinya dipanggil oleh satu sekolahan, memilih OSIS sebagai tempat berpijaknya saat di SMA. Tidak main-main targetnya adalah menjadi Ketua Osis. Dan orang pertama yang menjadi temannya saat hari pertama masa orientasi adalah lelaki tengil bernama Gatra Supraba.
Sekali lihat, Tala langsung tahu lelaki yang duduk di sebelahnya ini. Tipikal anak orang kaya yang punya segalanya dan bisa mendapatkan apa saja. Salah satu “calon” pangeran sekolah” yang akan membuat seluruh perempuan mulai dari yang seangkatan sampai kakak kelas mengejarnya. Tala tidak terlalu peduli, toh setelah masa orientasi dia tidak akan lagi berhubungan dengan anak ini.
Gatra terlihat bosan di hari pertama sekolah. Masa orientasi adalah kegiatan yang selalu dihindarinya. Embel-ember Supraba selalu membuat orang lain tidak bisa memalingkan muka melihat wajahnya. Ralat. Melihat harta ayahnya mungkin lebih tepatnya. Dirinya melirik teman sebangkunya selama masa orientasi. Gadis itu sibuk membaca buku. Kunciran rambut berjumlah sembilan ikatan berhiaskan tali rafia itu membuat dirinya tertawa kecil.