Dua manusia dewasa itu duduk berhadapan. Saling bertatapan. Bedanya tatapan cowok penuh kerinduan, sedang yang cewek menatap dingin. Enggan.
“Lo apa kabar Tal?”
…
“Denger-denger lo udah jadi Wapimred yah, wah emang hebat sih yah mantan Ketosnya SMA Kencana haha.”
…
“Tal…”
“Kenapa menurut lo kita bisa saling bertukar kabar seakan gak pernah ada apa-apa?”
“Lo masih aja gak suka basa-basi yah.” Gatra menghela nafas.
“Gue duduk di sini sekarang semata karena lo, Gatra Supraba, putra tunggal Agung Supraba, adalah narasumber untuk liputan gue. Tidak lebih dari itu.” Tandas Arutala. Lelaki di hadapannya lagi-lagi menghela nafas. Betapa waktu yang berlalu mengubah segala yang dikenalnya. Kota ini, hidupnya, bahkan wanita di depannya ini. Dirinya pun sadar, semua memang salahnya. Namun sungguh, Gatra tidak tahu harus memulai dari mana untuk bercerita. Lagipula percuma bicara saat Arutala sedang keras kepala, sia-sia. Saat pertama kali dirinya melihat Arutala berdiri di kerumunan media tadi, kerinduan membanjiri hatinya. Betapa dia ingin memeluk cinta pertamanya. Namun dia menahan diri hingga kini. Yang tidak Gatra perhitungkan adalah Arutala sudah tidak remaja. Arutala di hadapannya adalah wanita paling realistis di dunia. Dan Gatra adalah mantan penghuni yang sudah didepaknya jauh-jauh ke luar angkasa.
Arutala meninggalkan restoran tadi dengan langkah terburu. Pertemuan pertamanya dengan Gatra tidak disangka menguras hampir seluruh energinya. Di depan Gatra, Arutala bisa saja bersikap tegar bak karang tak tergoyahkan namun hatinya tetaplah hati seorang perempuan. Satu-satunya ruang menumpahkan segala sesak yang dirasa, Arutala menelpon seseorang yang tidak akan jemu mendengar ceritanya.
“Hal..”
“Banuuuuuuu! Lo di mana? Sekarang ini di mana? Alamat lengkap!” Belum sempat Banu mengucapkan “halo”, Arutala sudah menyerbunya dengan kalimat mendesak. Banu tahu, sesuatu telah terjadi. Hati Arutala sedang tidak baik-baik saja.
“Saya sekarang di rumah, baru aja kelarin deadline. Kamu mau ketemu di mana Tal?”
“Tempat biasa ayok! GE PE EL”
Di ujung sana Banu menghela nafas. Hanya ada satu nama yang bisa membuat Arutala tidak karuan selama 10 tahun sejak pertemuan pertama mereka. Iya, nama yang selalu memenuhi semesta Arutala. Gatra Supraba.
Arutala menatap kosong ujung sepatunya. Taman ini letaknya di tengah kota. Menjelang sore banyak sekali masyarakat yang beraktifitas di sini. Sekadar olahraga sore, mengajak anak bermain atau mahasiswa yang bercengkerama dengan teman-teman seangkatan. Di taman inilah Arutala pertama kali bertemu dengan Banu.