Mobil Gatra terparkir tidak jauh dari rumah besar tapi sederhana itu. Khusus kali ini dirinya menyetir sendirian tanpa supir. 10 tahun sama sekali tidak memudarkan ingatannya tentang cerita yang dibuatnya di rumah ini. Dari jauh seorang perempuan berjalan santai. Gatra tersenyum melihatnya. Yang berubah dari perempuan itu hanya rambutnya yang semakin memutih. Selebihnya senyum dan mata itu masih bersahabat. Gatra bergegas turun dari mobilnya.
“Selamat siang menjelang sore…” Sapa Gatra hangat.
Perempuan setengah baya itu menoleh kepadanya. Disipitkannya matanya dengan kening berkerut. Muka kebingungan itu perlahan memudar seiring memperjelas siapa gerangan pria tampan di hadapannya.
“Gatra? Bener Gatra ini? Ya ampun nak! Makin ganteng Ama ampe pangling” Spontan digenggamnya tangan pria yang 10 tahun silam sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri.
“Ama sehat? Apa kabar? Makin cantik aja ih udah lama gak jumpa.”
Obrolan mereka berlanjut ke dalam rumah. Bagai ibu dan anak yang sudah lama tidak bertemu, mereka saling bertukar kabar hangat. Keduanya seolah paham hanya ada satu topik yang harus hati-hati dibahas. Namun sampai 2 jam lebih kunjungan Gatra ke rumah itu, tidak ada satu katapun yang mengarah pada satu nama. Hingga dirinya pamit. Ama hanya bisa menghela nafas panjang. Arutala tidak akan senang mendengar kedatangan Gatra ke rumah ini setelah sekian tahun berlalu.
Arutala pulang hampir jam 9 malam. Sejak bekerja memang Arutala selalu menumpahkan seluruh tubuh dan pikirannya ke sana. Sekaligus pelarian atas kesesakan yang jika diingat membuatnya ingin meninju kuat-kuat muka satu orang yang baru-baru ini kembali hadir di hadapannya.
“Ama, Tala pulang.”
“Sekali kali gitu lihat kamu pulang kaya orang normal gitu, sore sore udah duduk cantik di rumah diapelin pacar.”
“Pacar itu jenis makanan kaya apa yah Ma?” Arutala tertawa.
“Emm Ama mau cerita. Tapi kamu janji gak akan histeris atau ngamuk-ngamuk?”
“Apa dateng ke sini lagi? Gak gak. Arutala gak mau dengar apapun soal laki-laki gak bertanggung jawab itu. GAK!” Suara Arutala meninggi. Ama mengusap lengan anak perempuan yang seumur hidup dikenalnya ini. Siapa yang bisa menyaingi Arutala soal paling keras kepala.
“Apa itu ayah kandung kamu. Kamu marah-marah aja kaya lagi datang bulan. Tapi gak kok, bukan Apa yang tadi datang ke sini. Cowok yang lain. Ganteng lagi. Mau tahu gak siapa?”
“Supraba yang sok keren itu kan?” Arutala menatap televisi dengan tatapan malas.
“Loh? Kamu udah jumpa sama dia? Kok gak kaget sih?”
“Kenapa gitu harus peduli?”
“Arutala masih marah sama Gatra?”
“Marah aja gak cukup kayanya untuk diucapin ke dia. Benci mungkin lebih tepat. Laki-laki mana yang pergi gitu aja? Apa bedanya dia sama Apa. Gak bertanggung jawab atas perasaan orang lain. Kenapa juga aku harus berharap banyak dari orang yang sudah punya segalanya? Kehilangan satu kan gak membuat mereka seketika jadi gak punya.” Walau seluruh kata-kata yang diucapkan Arutala sinis dan penuh nada kebencian, ada getar yang juga tidak bisa dihindari. Kecewa, marah, sedih dan terluka. Semua melebur jadi satu. Ama tidak bicara apa-apa lagi. Bicara pada Arutala saat sedang keras kepala adalah sia-sia. Semua yang didekatnya selalu paham pada hal itu.
Di malam yang sama, di salah satu apartemen pencakar langit, Gatra memandangi lampu jalan yang terlihat kecil dari atas sana. Tangan kanannya memegang selembar foto. Ada dua remaja dengan balutan seragam SMA yang penuh coretan di sana sedang tertawa bahagia. Seakan dunia ikut berpesta pora bersama mereka. Gatra menghela nafasnya menatap perempuan di dalam foto, perempuan berlesung pipi yang memporak-porandakan hatinya, perempuan yang mengajarkannya cinta dan luka di saat bersamaan. Ternyata cinta pertama selalu menjadi yang paling berbekas, nyata adanya. Dirinya melakukan kesalahan 10 tahun silam. Dan kepulangannya kali ini bukan hanya untuk mengurus bisnis ayahnya. Dia ingin kembali mendapatkan hati cinta pertamanya.
***
Arutala baru saja tiba di kantor ketika resepsionis memanggil dirinya. Di dalam lift, di balik bouqet bunga besar yang ada ditangannya, Arutala merengut. Siapa pula yang mengirimnya bunga yang besarnya hampir setengah dari badannya. Kurang kerjaan! Rutuknya dalam hati. Satu lobi sudah sibuk mencie-ciekan dirinya saat resepsionis berkata ada bunga untuk dirinya yang membuat dirinya semakin kesal. Arutala selama ini menutup telinganya pada omongan sekantor. Udah umur segini belum punya pacar. Terlalu ambisius mengejar karir. Arutala galak jadi gak ada yang mau. Dan bermacam ragam gosip simpang siur lainnya. Dan kehadiran bunga ini di kantor menepis seluruh gosip murahan itu sekaligus menghadirkan gosip lainnya. Pintu lift terbuka. Banu berdiri di sana.
“Awas! Gue mau lewat!” Bentak Arutala tanpa melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
Banu mengambil bunga itu dari tangan Arutala.