Lama sekali Banu duduk di sebelah cewek yang sedang menangis tersedu-sedu ini. Bahkan matahari sudah hampir tenggelam di ufuk sana menyisakan semburat langit yang memerah. Langit secantik ini tapi tetap saja cewek ini masih merasakan mendung di hatinya.
“Udah sore loh, kamu gak capek ya nangis terus?”
Cewek itu mengangkat mukanya.
“Lah lo masih di sini aja?” Tanyanya bingung.
Banu tersenyum. Geli melihat mata coklat muda yang disandingkan dengan mata bengkaknya ditambah lagi bekas ingus yang menempel di sana sini.
“Pulang gih sana. Nanti kamu dicariin ama ortu.”
“Hiks iyaa ini gue mau pulang. Bye Danu.” Arutala beranjak pergi. Tiba-tiba lengan bajunya ditarik dari belakang.
“Ini kotak kamu ketinggalan. Dan nama saya itu Banu. Pakai B. Bebek. Bohlam. Batu. B-A-N-U. Diinget.” Banu menyodorkan kotak coklat yang tadi tergeletak tidak berdaya di kaki cewek itu dan nyaris ditinggalkannya begitu saja. Arulata mengambil kotak itu dengan setengah hati. Berharap lupa alasannya dirinya menangis dan terluka hari ini. Namun begitu dilihatnya kembali kotak coklat ini. Air matanya kembali mengalir. Mengapa saat jatuh cinta tidak diberikan peringatan bahwa kehadirannya sepaket dengan patah hati yang menyiksa diri.
Arutala tidak memperhitungkan dunianya akan kalang kabut karena seorang laki-laki bernama Gatra. Gatra datang menawarkan banyak sekali cerita bahagia dan pengalaman yang memiliki rasa rupa-rupa. Namun Gatra juga menghantam keras hatinya dengan kesesakan tak terlupakan. Hidup Arutala tidak sama lagi. Cinta pertamanya adalah yang pertama kali pula mematahkan hatinya. Pernah sesekali Arutala bertanya kepada dirinya apa yang salah. Mengapa keadaan tidak berjalan dengan baik-baik saja. Dan seluruh pertanyaan itu bermuara pada satu kesimpulan: mempercayakan hati pada orang lain adalah perjudian. Tidak pernah tahu apa kita akan kalah dan menang dalam prosesnya. Dan ketidakpastian adalah musuh utama Sembagi Aruatala. Prinsip baru yang ditancapkannya sedalam mungkin di hatinya.
Bumi tetap berputar. Waktu terus berjalan. Tidak pernah menunggu manusia yang ada di dalamnya seberantakan apapun hatinya. Arutala terus melanjutkan hidupnya. Menguatkan hati dan langkah kaki. Siapa sangka perjumpaan yang tidak sengaja dialaminya tempo hari terulang kembali. Mahasiswa baru tahun ini lumayan ramai. Ralat! Sangat ramai. Arutala sampai mengedipkan matanya berkali-kali melihat sekumpulan manusia yang berkumpul di bawah spanduk besar bertuliskan “OSPEK MAHASISWA BARU ANGKATAN 2009”.
“Hay!” Suara ringan dan hangat bergema di sebelahnya. Arutala menoleh. Tak lama kepalanya melihat ke kanan dan ke kiri.
“Iya? Lo ngomong sama gue?” Tanyanya bingung.
Cowok itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Sembagi Arutala? Bener?” Diucapkannya 2 kata dari nama yang tidak bisa dilupakannya. Bagaimana juga bisa melupakan nama secantik itu.
“Iya bener. Lo baca papan nama gue ya?” Lagi-lagi Arutala bertanya dengan muka polos.
Banu tertawa. Renyah sekali. Yang membuat Arutala semakin mengerutkan keningnya.