Semestanya Arutala

Denting Piano
Chapter #9

Terserah

Banu mematikan motornya di depan kantor Arutala. Mereka akan makan siang bareng. Sudah dua minggu lebih dirinya tidak berjumpa dengan cewek itu setelah keluar dari ruangannya saat Arutala menerima bunga dari Gatra. Dan selama dua minggu ini pula Arutala mengirim banyak pesan yang isinya makian pada Gatra. Sudah menjadi “tempat sampah” cewek itu selama bertahun-tahun, cerita begini harusnya tidak akan mengganggu dirinya. Namun entahlah, sejak visual Gatra yang selama ini cuma nama muncul terang-terangan di depan matanya, membuat hati Banu merasa gerah. Banu harus mencari tahu ada apa sebenarnya. Dilihatnya Arutala datang dengan langkah gontai.

“Lemes amat. Udah selapar itu kamu?”

“Puyeng gue karena wangi bunga semerbak sekarang ruangan gue ama kuburan ga ada bedanya huaa”

Banu menahan tawa. Lucu sekali muka Arutala yang merengek begini. Tidak banyak yang tahu kalau muka Arutala bisa mengeluarkan berbagai macam ekspresi. Di depan orang lain Arutala selalu saja memasang muka ketat yang seolah mengatakan “GUE GAK MAU DIAJAK NGOBROL KECUALI GAK PERLU”. Dicubitnya hidung cewek itu.

“Liat di spion muka kamu gimana. Kaya anak kecil aja. Ayo makan biar kuat menghadapi wangi bunga di ruangan aw!” Cubitan Arutala mendarat di perut cowok itu.

“Kalau gak mau badan lo memar-memar yah, mending gausah banyak omong ya Nu. Kalo gak lo yang gue makan ni!”

Banu tergelak dan menyalakan motornya. Sudah bertahun-tahun diboncengnya cewek yang di belakangnya ini. Awalnya biasa saja. Tapi entah sejak kapan rasanya melihat Sembagi Arutala di bangku penumpang motornya adalah yang diinginkan Banu setiap harinya. Banu tidak sedang memendam apa, itu yang selalu diucapkannya dalam hati.

“Saya hanya sedang memastikan benar-benar perasaan ini”

Banu dan Arutala makan di sebuah warung nasi Padang di pinggir jalan. Kesamaaan mereka berdua adalah tidak pernah memilah makan di mana. Semuanya dijajal. Saat sedang asik menyuap makanan, seorang laki-laki berdiri di sampingnya.

“Lahap bener makannya. Capek ya nyari berita?”

Arutala hapal betul suara laki-laki itu. Ditengadahkan kepalanya menuju sumber suara. Gatra berdiri dengan muka tengilnya. Baru saja Arutala akan membuka mulut membalas omongan cowok itu, rambutnya diacak.

“Jangan ngomel kalau lagi makan. Gue cuma mau nyapa lo aja abisan kasian liat lo sendirian makan lahap gitu. Met mam Arutala. Makan yang banyak yah biar cepet gede.” Gatra beranjak pergi.

“Woi! Kapan lo berhenti kirimin gue bunga?”

Gatra yang hampir meraih handle pintu mobilnya berhenti. Dibalikkan badannya.

“Sampai lo datengin gue.” Suara Gatra pelan sekali. Hanya bisa didengarkan dirinya sendiri. Yang terlihat oleh Arutala hanya lambaian tangan cowok itu.

Lihat selengkapnya