Arutala berkali-kali mematut dirinya di depan cermin. Berapa pose pun yang dicoba dilatihnya di depan kaca tetap saja tidak mengurangi kegugupan yang tampak dari matanya.
Semoga ini keputusan yang benar. Semoga. Semoga. Semoga.
Terdengar suara mobil terparkir di depan rumahnya. Setelah mengatur napas berkali-kali, Arutala keluar dari kamar. Gatra sedang mengobrol santai dengan Amanya. Cowok itu menggunakan kemeja hitam polos dipadukan dengan celana berwarna khaki. Postur tubuhnya yang tinggi membuat baju dan celana itu pantas sekali menempel di sana. Arutala menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Pertemuan ini adalah negosiasi atau perang sekalian, bukan ngedate. Gak perlu kebawa suasana.
Gatra melihat cewek itu muncul dari belakang Amanya. Walau seolah seperti sedang ngobrol dan tertawa bersama Ama, Gatra dengan jeli dapat melihat Arutala terlihat bersinar di balik dress abu-abu selutut yang dikenakannya. Selama ini dia hanya melihat Arutala memakai celana jeans dipadukan kaus atau kemeja kotak-kotak saja. Jadi melihat Arutala dewasa menggunakan baju seperti ini membuat dada Gatra juga ikut berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya. Arutala tidak pernah berhenti memukau dirinya, walau bertahun-tahun berlalu.
“Ama, udah jangan lama-lama ngobrolnya ntar dia betah minta tinggal di sini lagi.”
Ama tertawa.
“Kamu ini lho, udah cantik kok tetep aja galak. Gatra, Arutala, gak boleh pulang malam ya. Yah walau Arutala udah sering sih pulang malam, tapi karena kali ini perginya ama Gatra, Ama gak kasih izin pulang larut pokoknya.” Ultimatum Ama.
“Kalau gak dipulangin kira-kira bakal langsung dinikahin gak Ma? Aw! Buset Tal dari injek kaki sekarang kebiasaan lo udah ganti jadi nyubit gitu.” Gatra meringis.
Arutala mencium tangan Amanya dan langsung berjalan ke arah mobil. Gatra melakukan hal yang sama dan menyusul cewek itu setengah berlari. Gatra berhasil menyusul Arutala dan lebih dulu ada di depan pintu penumpang.
“Ngapain lo? Mau nyuruh gue yang nyupir? Ogah!”
Gatra tersenyum dan membukakan pintu mobil.