Banu mondar-mandir di kamarnya. Diliriknya martabak keju jagung yang tergeletak di meja. Harusnya martabak itu untuk Arutala. Namun menurut informasi Ama cewek itu sedang keluar. Jika tidak bekerja atau keluar bersama dirinya, jarang sekali Arutala akan keluar rumah. Banu tahu betul itu. Pikirannya mengarah pada satu orang. Gatra. Apa mungkin Arutala pergi bersama Gatra? Bukankah itu sesuatu yang mustahil? Apa yang membuat Arutala mau? Ribuan pertanyaan berkecamuk dalam kepala Banu. Resah dan gelisah. Berkali-kali Banu ingin menghubungi Arutala untuk mendengar kebenaran atau pembenaran atas spekulasinya. Tapi punya hak apa dirinya untuk ingin tahu. Banu membaringkan badannya malas, ranjang kayu itu berderak.
Arutala merengut. Sudah sekitar 15 menit Gatra meninggalkan dirinya bersama makanan yang telah tersaji. Lima menit lagi cowok itu tidak datang, dia akan pulang. Apa-apaan pergi tanpa alasan gitu. Ya kenapa juga Arutala harus kaget, cowok itu melakukan hal yang sama 10 tahun yang lalu. Lima menit berlalu, batang hidung Gatra gak juga kelihatan. Cukup sudah. Arutala beranjak pergi dan saat membalikkan badan Gatra berdiri di sana memegang satu buket besar bunga matahari. Arutala tertegun.
“Gue sih pengennya bawa matahari yang asli ke depan lo. Tapi kenapa juga harus repot-repot kalau lo yang di bumi udah bersinar lebih terang dari dia.” Gatra tersenyum. Diserahkannya bunga itu pada Arutala dan diterima dengan kikuk.
“Lo mau kita bersikap layaknya orang dewasa kan Tal. Sure. Kita rewind. Hay salam kenal, aku Gatra Supraba. Kamu siapa?” Gatra mengulurkan tangannya.
“Sembagi Arutala.” Balas Arutala sambil menjabat tangan laki-laki di hadapannya.
Malam itu Gatra melontarkan satu permintaan pada Arutala. Terlepas dari apa-apa yang mereka lalui di masa lalu, sejenak saja lupakan. Gatra meminta waktu 21 hari agar mereka saling mengenal diri mereka yang sudah dewasa. Mencoba memahami pribadi baru dibandingkan terus dibayangi masa-masa remaja mereka. Arutala meremas dressnya. Sejujurnya hatinya bimbang apa tawaran Gatra ini layak diterima. Namun melihat sorot mata cowok itu yang meminta dengan sepenuh hati, Arutala mengangguk setuju. Dalam 21 hari Arutala mengizinkan Gatra kembali masuk ke semestanya sebagai Gatra Supraba yang baru. Buat Arutala ini adalah 21 hari menuju penjelasan atas alasan-alasan kehilangan dan kesakitannya. Untuk Gatra ini adalah satu-satunya jalan dia bisa memenangkan kembali hati Arutala. Mereka sepakat berjudi pada hati sendiri.
Arutala menutup pintu kamarnya dan merenung. Memutar kembali seluruh kejadian malam ini. Setelah makan malam mereka bercerita tentang banyak hal. Bukan tentang masa lalu. Bukan tentang kenangan-kenangan yang terlewatkan. Mereka menjelma menjadi dua pribadi yang memang baru saling mengenal pada malam ini. Bercerita tentang kesibukan, mimpi-mimpi di masa depan dan saling menggoda satu dengan yang lainnya. Lamunannya buyar saat hape dalam tasnya bergetar.
“Iya Nu?”
“Kamu dari mana Tal?”
“Ngg gue? Ada tadi itu emm keluar emm kenapa Nu?” Arutala kelabakan menjawab pertanyaan Banu.
“Hah? Kamu ngomong apa?”
“Duh gue ngantuk nih. Besok ada liputan pagi, besok aja kalau mau ngobrol yah? Yayaya bye Banuuuuuuu gutnaiiiiiikkk” Arutala menutup telepon dan menghela nafas. Bagaimana caranya bercerita kepada sahabat laki-lakinya ini bahwa Gatra yang dibencinya mati-matian sekarang mendapat kesempatan untuk kembali berada di sekitar Arutala. Sementara di seberang sana, Banu masih memegang telepon genggam itu. Untuk pertama kalinya cowok berkacamata dengan emosi paling stabil yang pernah dikenal Arutala itu, merasakan gejolak amarah.
***
“Kamu seminggu belakangan ngapain aja sih Tal? Susah dihubungin, aku dateng ke kantor juga kamu larang. Sibuk banget emangnya?” Banu membukakan tutup botol minum Arutala disaat cewek itu sedang sibuk mengunyah baksonya.
“Ga ngapa-ngapain gue. Yah cuma lagi ribet ajalah.” Arutala menjawab tanpa melihat Banu. Entah kenapa dirinya berbohong. Sudah 7 hari sejak kesepakatan yang dibuatnya bersama Gatra pada malam itu dan Arutala selalu saja mencari alasan yang diajukannya pada diri sendiri bahwa Banu tidak perlu tahu akan hal ini karena menurutnya ini bukan sesuatu yang penting. Spekulasi memang cenderung menghancurkan diri sendiri.
Banu menghela napas. Diusapnya dahi cewek itu yang berkeringat kepedasan.
“Kalau ada apa-apa cerita sama saya ya Tal. Kamu selalu bisa ngandelin saya.”