Arutala baru saja akan membuka pagar ketika lagi-lagi Banu berdiri di belakangnya.
“Tal…”
Arutala terkejut dan hampir melompat karena ini sudah menjelang tengah malam dan dirinya tidak mendengar suara motor Banu.
“Banuuuu, buset dah! Jantung gue mau lepas ini. Kaget gue” Arutala mengelus dada meredakan debarannya.
“Saya nungguin kamu dari abis magrib.”
Arutala terdiam. Dirinya terlalu menikmati waktu bermain di taman bermain bersama Gatra dan melupakan janji untuk bertemu dengan Banu. Shit! Maki Arutala dalam hati. Arutala bukan tipe ingkar janji. Tapi dia benar-benar lupa janjinya dengan Banu malam ini.
“Lo nunggu di mana Nu? Kenapa gak di dalam rumah aja? Terus motor lo ke mana?” Arutala berusaha untuk tidak terlihat gagap menutupi kesalahannya. Banu hanya menatap muka Arutala dengan wajah lelah tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
“Nu? Lo marah ya?”
“Saya bawa mobil. Gak enak kalau ngobrol di depan rumah gini. Bertamu ke dalam juga gak enak karena ini udah terlalu larut. Kita ngobrol di dalam mobil aja ya. Boleh?”
Arutala mengangguk. Mobil Banu ternyata terpakir di bawah pohon sekitar 100 meter dari rumah Arutala. Lampu jalanan yang tidak menyala ditambah pohon yang rimbun menyembunyikan kehadiran mobil itu di sana. Pantas saja Arutala tidak melihatnya ketika pulang tadi. Tapi kalau Banu sejak tadi ada di sana berarti dia melihat Gatra yang membukakan pintu mobil untuknya. Tapi Banu kan tidak tahu muka Gatra. Jadi seharusnya Banu tidak tahu kalau itu Gatra. Terlalu banyak tapi yang muncul di kepala Arutala.
Keheningan menguap di mobil itu. Hanya alunan lagu Bon Jovi yang mengalun pelan dari pemutar radio.
“Nu, lo marah sama gue yah?” Arutala membuka obrolan dengan mengajukan pertanyaan sama yang sebelumnya sudah dia ajukan.
“Marah kayanya bukan kata yang tepat buat saya Tal. Saya bingung. Kamu kenapa belakangan ini? Bahkan untuk bercerita aja kamu enggan. Apa yang sedang kamu sembunyikan dari saya Tal?” Banu memutar duduknya menghadap Arutala.
Arutala menggigit bibir. Rasa bersalah memenuhi hati dan kepalanya. Dia benci menjadi orang jahat untuk Banu. Padahal Banu selama ini yang selalu menjaga dan menemaninya. Melihat Arutala yang lagi-lagi diam, Banu melanjutkan pembicaraan.
“Tadi yang nganter kamu itu Gatra kan Tal? Sejak kapan? Itu yang buat kamu gak mau cerita sama saya? Kenapa Tal? Kamu bukannya sakit hati banget sama Gatra? Terus sekarang kamu udah maafin dia? Kenapa kamu gak cerita sama saya Tal?” Banu bertubi-tubi melontarkan pertanyaan pada Arutala. Arutala semakin keras menggigit bibirnya. Sungguh merasa terpojok. Seharusnya dia bercerita sejak awal pada Banu. Banu susah payah mengobati luka dan mengembalikan dirinya pada kehidupannya kini saat Gatra pergi. Tidak adil buat Banu jika Arutala terus menerus menyembunyikan hubungannya dengan Gatra yang entah dinamakan apa ini.
“Tal…” Banu menyentuh lengan cewek itu karena Arutala tidak juga buka suara.
“Jangan gigit bibit kamu kaya gitu. Nanti berdarah.” Sambung Banu. Jari-jari Banu menuju ke bibir cewek itu. Diusapnya lembut. Entah karena keadaan atau merasa bersalah melihat Arutala yang sekarang entah memikirkan apa, Banu memajukan badannya. Tangan yang sedang mengusap bibir Arutala tadi sudah pindah ke belakang kepala cewek itu, menarik cewek itu juga mendekat. Kejadian itu cepat sekali, bahkan sebelum Arutala sadar, bibir Banu sudah mengecupnya. Cepat. Arutala terkejut. Tubuhnya membeku. Aroma oceanic menguar dari badan cowok itu. Segar seperti lautan. Setelah kecupan singkat itu, Banu membaringkan dahinya di bahu Arutala. Melepaskan seluruh resahnya ke tempat seharusnya.