Arutala membuka mata. Sekelilingnya gelap. Dari gorden jendela menyembul malu-malu bias cahaya matahari. Berarti di luar sudah terik. Pukul berapa ini sekarang, Arutala mencari cari tasnya. Sakit kepalanya sudah hilang. Badannya saja yang masih terasa lemas. Memang yang dibutuhkan tubuhnya adalah beristirahat. Di samping tempat tidur terdapat wadah berisi air dan kain kompres. Arutala memutar memorinya. Dia sedang di kamar Banu. Pintu kamar terbuka.
“Udah bangun Tal?” Banu menyibakkan gorden dan cahaya matahari meliar masuk ke dalam kamar, menyilaukan mata Arutala.
“Nu? Kok gue bisa ada di sini?”
Banu duduk di tepi ranjang. Ingin sekali direngkuhnya cewek ini dalam pelukan. Namun kemarahan Arutala yang terakhir membuat Banu sekarang harus sangat hati-hati.
“Kepala kamu masih sakit? Masih demam gak?”
“Gue pingsan ya Nu?"
Banu mengangguk. Arutala berusaha keras mengingat alasan dia bisa pingsan. Lalu memori terakhir membanjiri ingatannya. Air mata cewek itu mulai mengalir. Arutala terisak. Banu tercengang melihat cewek itu tiba-tiba menangis. Tangan Banu terangkat ragu. Dulu memeluk Arutala bukan sesuatu yang tabu. Tapi ini berbeda setelah dirinya menyatakan cinta. Arutala menangis semakin keras. Banu tidak tahan lagi. Persetan kalau dirinya harus dipukul Arutala. Yang penting cewek ini tidak bersedih lagi. Banu benci mendengar tangis dari wanita paling dicintainya. Ditariknya Arutala ke dalam pelukannya.
Lama sekali Arutala menangis dalam pelukan Banu. Kehebatan Banu adalah tidak perlu pertanyaan “kenapa” setiap kali Arutala menangis. Dia hanya akan menyediakan bahu dan dadanya sebagai penopang hati Arutala yang sedang susah. Sampai Arutala bisa lega dan bercerita sendiri perihal apa yang membuat dirinya sangat sedih.
Dari bibir Arutala mengalir cerita pertemuan tidak sengaja dengan ayah kandung yang disapa –Apa–. Banu juga tahu cerita itu. Apa meninggalkan keluarga mereka atas rasa bersalah. Dan sejak itu tidak pernah menampakkan diri. Arutala yang terluka berjanji mati-matian tidak akan memaafkan laki-laki pecundang yang malah pergi di saat mereka semua sedang berduka. Arutala tidak menyangka Ama diam-diam masih bertemu laki-laki yang tidak lagi sudi dipanggilnya Apa. Arutala sangat yakin ini bukan pertemuan pertama mereka karena gerak gerik mereka menunjukkan mereka sudah sering bertemu. Tapi sejak kapan? Arutala geram.
Arutala sudah mandi saat Banu selesai memasak sarapan. Dilihatnya cowok itu riuh bergerak di dapur. Sejak dulu Banu memang telaten melakukan segala pekerjaan rumah. Arutala tersenyum tanpa sadar. Banu meletakkan dua piring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi untuk Arutala dan telur dadar untuk dirinya.
“Kamu tidur udah hampir semalaman, pasti laper. Makan Tal”
Arutala mengangguk dan menyendok makanan itu ke mulutnya. Masakan Banu tidak pernah gagal. Enak dan membangkitkan selera makan. Banu menatap cewek itu makan dengan lahapnya. Hatinya lega. Setidaknya Arutala tidak menangis lagi.
“Enak Tal?”
“Kapan masakan lo ga enak coba?”