Semestanya Arutala

Denting Piano
Chapter #20

Perdebatan

Gatra duduk di taman itu. Walau sudah malam tempat ini masih saja ramai. Dulu sering sekali dia melintas melewati taman ini dan tidak terbersit niat untuk sekadar mampir. Malam ini Gatra duduk di sini menanti seseorang yang meneleponnya. Sambil menunggu Gatra membuka kalender di ponselnya.

“Hari ke 20. Besok hari terakhir ya Tal…” gumamnya dalam hati.

“Udah lama?”

Gatra menoleh ke sumber suara. Banu berdiri di sana. Masih menggunakan baju yang sama dengan yang tadi dikenakannya saat mereka bertemu di kantor.

“Baru aja kok.”

Banu duduk di sebelah Gatra. Ikut menikmati pemadangan atas kesibukan orang-orang di taman.

“Taman ini gak pernah sepi. Apalagi weekend.”

“Iya sih gue dulu sering lewat, soalnya deket mau ke rumah gue yang dulu.”

“Di tempat ini saya pertama kali jumpa sama cewek cantik, yang lagi nangis sesenggukan, bawa kotak coklat, Sembagi Arutala.” Pandangan Banu menerawang, mengingat masa lalu. Gatra diam dan mendengarkan.

“Sebenernya saya paling gak suka liat cewek nangis. Berisik. Seumur hidup liat 4 orang kakak cewek nangis itu buat saya pusing. Tapi sore itu, langit lagi cerah banget, dia malah ada di sini, meluk lututnya, saya tahu dia menangis dari gestur bahu yang naik turun. Entah kenapa saya memilih duduk di samping dia. Waktu dia angkat mukanya, saya lagi-lagi mengerti, dia sedang patah hati. Matanya memancarkan luka yang terlalu. Cara bicaranya menahan sesak dalam hatinya. Yang dirasakan dia sore itu sangat tidak tertahankan sampai dia harus menangis di sini. Di tempat seramai ini.” Banu menggosokkan tangannya, angin malam mulai bertiup membuat dirinya kedinginan.

“Saya kira itu pertemuan kami yang pertama dan terakhir. Tapi sejak dia mengucapkan namanya, saya tidak pernah lupa. Sembagi Arutala. Namanya secantik orangnya. Siapa sangka, takdir selucu itu. Saya melihatnya lagi saat orientasi kampus. Dan sejak hari itu, dia mengisi hari-hari saya sampai hari ini. Kemudian hari saya tahu alasan dia menangis. Karena kamu Gat. Cinta pertama dia.” Banu menatap cowok yang duduk di sampingnya.

“Buat apa lo cerita ini semua ke gue?”

“Saya cinta Arutala sejak saya memutuskan duduk di sebelah dia yang sedang menangis. Saya cinta Arutala walau dia mencintai kamu, Gatra, dalam lukanya. Saya cinta Arutala walau selama ini yang mampu saya tatap hanya punggungnya. Saya bahkan tetap cinta dia saat kamu kembali mengisi hari-harinya. Saya hanya tidak mampu mengucapkannya karena tidak ingin kehilangan dia. Saya cinta dia sebagai seorang sahabat dan perempuan.”

“Gue juga cinta sama dia. Lo kira gue memutuskan pergi ke luar negeri karena gue gak cinta dia? Engga! Gue cinta Arutala dan gue harus pantas untuk mencintai dia sebagai seorang laki-laki. Gue berjuang mati-matian di sana menahan rindu. Gue berusaha habis-habisan menahan diri untuk tidak mendatangi dia. Gue juga cinta dia, asal lo tahu!” Suara Gatra mulai meninggi karena emosi.

“Saya tahu. Kamu gak perlu berteriak keras untuk mengucapkan itu Gat. Saya sangat amat tahu. Yang saya tidak tahu adalah hati Arutala sekarang sedang menuju ke mana.”

“Maksud lo apa?”

“Apa kamu pernah jadi orang yang selalu dibutuhkannya saat dia sedang susah?”

Gatra terdiam.

“Dia selalu mencari saya Gat. Saya adalah orang pertama yang akan terlintas dalam kepalanya jika sesuatu terjadi tidak sesuai apa yang dia mau. Kamu mungkin cinta pertamanya. Tapi saya adalah orang yang selalu ada untuk dia.”

“Lo gak bisa memutuskan.”

“Saya tahu. Dan memang bukan saya yang akan memutuskan.”

Lihat selengkapnya