Ama sudah keluar dari rumah sakit. Beban yang terangkat. Rindu yang tersampaikan. Penerimaan. Maaf yang terucapkan. Keseluruhannya menenangkan kondisi fisiknya. Arutala sudah mengurus seluruh proses kepulangannya di rumah. Sepanjang jalan Ama bercanda kalau Arutala ini sudah siap menjadi istri. Inisiatif yang tinggi dan cekatan membuat Arutala akan sangat disayang suami. Keluarga yang baru berkumpul lagi akhirnya setelah bertahun-tahun lamanya ini benar-benar bahagia. Merasa lengkap. Banu yang menyetir mobil tersenyum melihat keluarga ini.
Sebelum pulang ke rumah, mereka bertiga memutuskan mampir ke sebuah pemakaman umum. Ini bukan yang pertama kali Banu ke sini. Dirinya sering menemani Arutala datang ke makam ini.
Dresta Grahita
Begitu nama yang tertulis di nisan itu. Banu sengaja tidak ikut mendekat karena memberi ruang untuk keluarga itu mengenang anggota keluarga mereka yang sudah di surga. Arutala tertunduk. Ini pertama kalinya datang ke sini dengan formasi lengkap. Ada Apa dan Amanya. Tanpa sadar air matanya mengalir. Sudah lama sekali Arutala tidak menangis di depan makam abang semata wayangnya. Hari ini dia kembali menangis. Menangis haru. Tangisan lega.
“Bang, kami datang. Apa dan Ama juga datang. Abang di sana baik-baik aja kan?” Arutala mengucapnya dalam hati. Satu beban lagi terangkat dari hati Arutala. Memaafkan benar-benar melegakan.
***
Setelah menurunkan semua barang-barang, Arutala membantu Ama masuk ke dalam kamar. Di teras hanya ada Banu dan Arya, Apa Arutala. Banu belum pernah ngobrol dengan lelaki ini. Pertemuan pertama mereka justru ada di depan pintu rumah sakit. Berkat anggukan dari kepala Banu, Arya berani melangkahkan kakinya ke dalam ruangan tempat istrinya dirawat.
“Makasih ya nak Banu buat bantuannya.”
“Sama-sama Pak.”
“Banu temennya Arutala?”
“Iya Pak, bener.”
“Temen aja atau temen spesial?” Goda Apa.
Banu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Sejauh ini masih teman sih Pak. Ke depan pengennya sih iya jadi temen spesial.” Banu merasa mukanya memanas. Malu sekali terang-terangan di ayah Arutala. Begini rasanya berhadapan dengan orang tua orang yang dicintai.
“Kenal sama Gatra juga?”
“Iya Pak kenal.”
“Wah Arutala ternyata sedang diperebutkan dua lelaki ganteng yah. Kalau gak dipilih jangan sakit hati ya.” Sambil tersenyum ditepuknya bahu cowok ini. Arya sudah pernah berbicara dengan Gatra. Mau Banu atau Gatra, mereka berdua memiliki perasaan tulus untuk anaknya. Keputusan ada di tangan Sembagi Arutala.
“Ama gak apa-apa aku tinggalin? Aku bisa loh ngobrol sama Gatra di sini aja gak mesti keluar.”
Ama tersenyum, “Ama kan sekarang gak sendirian lagi. Udah ada temennya loh.”
“Ya kan tetep gitu akunya khawatir.”
“Kamu khawatir sama keadaan Ama atau khawatir sama keadaan hati kamu sendiri?”
Arutala terdiam.
“Memilih itu bukan perkara mudah Tala. Tapi kamu harus. Karena urusan hati adalah masalah serius. Jangan sampai karena ketidaktegasan, kamu menyakiti dua orang yang mencintai kamu.”
“Gimana aku tahu kalau pilihanku benar Ma?”