Seminggu 7 Hari

Fahmi Poetra
Chapter #2

Jalan Keluar#2

Kamar 102 Rumah Sakit Kasih Bunda.

Seorang suster sedang berjalan keluar dari ruangan setelah memeriksa pasiennya dengan diikuti 3 orang laki-laki berbadan tegap di belakangnya. Ruangan itu menjadi senyap. Dingin. Hanya terdengar suara jam dinding dan helaan nafas dari seorang gadis muda yang tengah tertidur nyenyak sekali.

Genap 10 jam sudah gadis itu terlelap, mimpi seperti apa yang telah membuatnya lupa pada dunia nyata? Ia begitu terbuai oleh mimpi atau malah sedang berjuang menembus batas kesadarannya? Sampai detik ini, gadis berambut pirang itu tak juga sadarkan diri.

Hawa dingin mulai mengigit kulit, aroma obat-obatan terus menyebar. Mungkin dengan ini, tidurnya akan terusik. Yah, seiring dengan detakan jarum jam. Perlahan tubuh gadis itu bergetar, tangannya, matanya lalu ujung kakinya. Semua mulai bisa dikendalikan. Tinggal menunggu beberapa menit lagi, gadis itu sepertinya akan terbangun dari mimpi panjangnya.

Buram.

Sekelebat cahaya memaksa masuk pada kedua bola matanya. Silau dan masih buram.

Ada apa dengan pengelihatannya?

Akhirnya ia terbangun. Dengan semampunya, gadis itu mencoba keluar dari masa-masa kritisnya. Ia tampak begitu lemah dan kelelahan. Gadis itu berusaha mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya. Berjuang mengejar kesadarannya. Beberapa kali ia mengambil napas panjang dan dalam hitungan detik berikutnya, pengelihatannya berhasil terselematkan. Gadis itu mulai lancar menggerakkan bola matanya, memandangi isi ruangan itu dengan jelas dan sempurna. Perlahan tangannya mulai ia gerakkan, naik-turun. Melepas selang yang menyumbat lubang hidungnya kemudian merasakan udara di ruangan itu dengan bebas.

Hmm ... Dimana aku?

Kalimat pertama di hari yang penuh tanda tanya. Gadis itu berusaha bangkit melawan rasa sakit dan kecemasan. Tangannya mulai bebas menyentuh apapun, ada perban yang membalut sebagian kepalanya. Aduh! Kenapa aku?

Gadis itu dengan berani mencabut infus yang menusuk lengannya, Auw! Lalu kakinya turun menyentuh lantai, sambil tertatih-tatih ia melangkah.

Utia Nadira, 22 tahun.

Gadis itu terpaku, membaca papan nama yang terletak di ujung tempat tidur itu. Ia mengerjapkan matanya berulang kali. Nama itu? Kenapa begitu asing baginya? Tapi di sisi lain, gadis itu merasa ada yang hilang dari dirinya. Tapi apa? Kenapa ia begitu susah untuk berpikir? Bahkan untuk mengingat namanya saja memakan waktu.

Gadis itu tersungkur, mendadak rasa sakit dan nyeri menyerang tempurung otaknya. Aduh! Sakit! Gadis itu tak dapat menahan desakan air matanya. Terus mengadu dan mengeluh, mengapa tak ada seorang pun yang menolongnya? Dimana orang tuanya? Mengapa mereka tak berada di sampingnya? Orang tua? Astaga... jangankan namanya, mengingat wajahnya saja ia kesulitan.

Kenapa aku ini?

Gadis itu kembali bangkit, tak pantang menyerah. Walau rasa sakit masih mencengkram kepalanya, ia bertekad untuk keluar mencari bantuan. Tak akan ia biarkan rumput liar mengambil alih untuk menjawab pertanyaan ini sebab masih ada manusia berseliuran di bangunan yang sejak tadi menebar aroma obat-obatan.

Klek!

Handle pintu bergerak sebelum tangan gadis itu menyentuhnya. Terdengar suara berisik dari luar. Gadis itu mencoba mendekat dan suara itu semakin terdengar jelas.

“Gimana nih kalau bos sampai tahu? Sampai sekarang ia belum sadar juga.” Ucap laki-laki bermuka seram itu.

“Kita tunggu aja 1 atau 2 hari lagi. Kita paksa bawa pulang ke Medan. Kita serahkan sama bos dan setelah itu kita tuntut hadiah yang dijanjikannya.” Jawab yang lainnya.

Lihat selengkapnya