Semiotika Cinta

N. HIDAYAH
Chapter #1

KELEBAT KELOPAK-KELOPAK BUNGA


Bandung, Oktober 2024

Langit malam terlihat gelap berselimut alam yang kelabu, tidak ada hiasan apa pun di langit, yang ada hanya gelap, hitam dan kelam seperti gambaran suasana hati Raihan. Ia meracau tentang kesedihan yang dipikulnya, dunianya kacau tak karuan, hatinya dicabik-cabik kenyataan yang menyedihkan. Sosok yang selama ini selalu ia ikuti segala tutur katanya, nasihat dan segala hal yang dianggapnya baik akan selalu Raihan ikuti, semua ia pelajari dari kepribadian kakeknya.

“Adakah malam yang terasa panjang dalam hidupmu? Malam yang kau rasa ada bagian dari terangnya rembulan yang tiba-tiba hilang tenggelam dalam gumpalan awan yang gelap, padahal malam ini bulan masih bertengger mesra dengan bentuk gompal. Awan masih berarak pelan seperti berburu malam. Suara jangkrik di sawah yang tidak pernah berhenti sejak petang datang mengiringi kesepianku dengan hati yang tidak cukup kuat sejak kehilangan sosok terbaik dalam hidupku dengan perasaan seberat ini. Malam-malam yang kulalui kini terasa lebih panjang dari biasanya sejak kepergianmu. Selama ini kakek telah menjadi sosok penuntun jalan kebenaran menuju jalan spiritual yang terang benderang, jalan yang justru tidak kulalui dan kini aku ingin melaluinya ketika penerang itu telah hilang. Kini, malam gelap selalu terasa sangat dingin, semakin gelap, sangat panjang, menyiksaku dengan sesaknya dada ini setiap mengingat kakek. Semua kenangan tentang kakek berkelebat di mataku, saat aku terlelap maupun terjaga.

“Ah, rasanya baru saja kemarin aku membantu kakek memotong kuku yang keras dan tua di setiap pagi di hari Jumat, atau mencabuti uban kepalanya yang—selalu membuat beliau mengeluh—gatal dengan keberadaan rambut putih di kepalanya. Memiliki penglihatan yang tajam meskipun pupil mataku tampak kecil membuat kakek selalu mencariku untuk meminta bantuan dari gatalnya uban, atau memintaku untuk membantunya merawat kriminil kuning di halaman beliau. Aku bahkan masih bisa mencium aroma minyak kayu putih yang kucium terakhir kali dari punggung tangannya yang penuh guratan jejak kerja keras di masa mudanya. Aku masih bisa mengingat tatapan matanya yang penuh keteduhan pancaran cahaya dari bacaan Al-Qur’an yang dibacanya setiap malam. Matanya yang kecil namun tajam, berkantung berat, beralis tebal dengan kening yang memancarkan ketakwaan dari segala sudut kepribadian, aku merindukannya.

 “Betapa bahagianya kakek bisa meninggalkan dunia yang kejam ini, dunia yang membuatku jatuh ke dalam lubang penderitaan tak terperikan. Kepergian kakek yang membawaku berusaha menyusuri kembali jalan jauh yang pernah ditunjukkan, aku kembali ke jalan yang membuatku meninggalkan cintaku di atas selembar kertas usang di dalam amplop pada tengah malam yang kejam kala itu.”

Raihan masih belum percaya, hari itu Allah menghendaki kakeknya untuk tinggal di sisi-Nya atau lebih tepatnya mengambil kakek kembali pada asalnya. Kenangan Raihan tentang rumah bukan lagi menghadirkan tumis kangkung di atas nasi yang masih mengepul, bukan lagi tentang tempe goreng yang dicocol dengan sambal merah, bukan juga tentang rencana menjahili Tidar melainkan wajah tampan dan ramah kakeknya yang selalu membuatnya hangat jika berada di dekatnya.

Emosinya tak tertahankan saat mengetahui bahwa kakeknya sudah berada di sisi-Nya. Hawa dingin seakan tiba-tiba menerpa punggung, hidung tiba-tiba tersumbat dan matanya mengalirkan sungai kecil yang mulai deras di ujung ekor mata. Tubuh Raihan memberikan sinyal bahwa ia tidak akan baik-baik saja untuk beberapa saat. Badannya terjatuh dan tersandar di dinding tembok yang terasa sangat dingin ketika kabar kematian kakeknya sampai di telinganya melalui Tidar.

Ada batu besar yang terasa jatuh di bahunya, sangat berat sampai ia tidak mampu menopang tubuh, bibirnya terlalu kelu untuk mengatakan sesuatu tentang luapan emosi ini, seakan hanya dapat membuka dan menutup tak beraturan dan entah hendak mengatakan apa hingga tenggorokannya hanya mengizinkan suara tangis keluar dan membuncah seisi dunia setelah sempat dipaksa untuk tertahan di ujung tenggorokan. 

“Sayangku, kebanggaanku, dan teladanku telah dengan bahagia meninggalkanku bahkan saat aku tidak ada di sampingnya, tidak bisakah Allah menungguku untuk berada di sampingnya? Bayanganku tentang wajah kakek yang senantiasa tersenyum dan memperlihatkan jajaran giginya yang rapi membuatku semakin terisak-isak. Semua bayangan tentangnya berdatangan di dalam kepalaku—tidak karuan—memaksaku mengingat wajah bangga beliau ketika melihatku untuk pertama kali aku naik ke atas panggung ketika Sekolah Dasar, dan kusadari bahwa kemarin adalah salam terakhir antara aku dan beliau,” ucap Raihan dengan isak tangis yang membuat iba siapa pun yang melihatnya kacau dengan wajah berderai air mata duka.

Ada rasa menyesal dalam hati Raihan karena telah pergi meninggalkan kakeknya untuk dua tahun lamanya dan hanya kembali untuk beberapa saat, itu pun untuk sekadar memastikan sang kakek baik-baik saja, setelahnya Raihan menghilang lagi, kembali pada masalah dunianya. 

Sesak masih memenuhi dada Raihan yang kini berisi begitu banyak kenangan yang meluap melalui dadanya yang mulai dipenuhi kenangan tentang kakek dan aroma bunga marigold di halamannya yang baunya seperti kotoran ayam, dari embun-embun yang menyentuh ujung-ujung kriminil dan marigoldnya, dan sekarang kakeknya menghilang dari pandangan Raihan seperti embun yang jatuh dari ujung daun marigold dan hilang saat jatuh ke tanah.

Kelebat tentang bagaimana dulu kakek memperlakukannya mengundang tangis yang lebih buncah, bagai sebuah tanggul yang sudah menahan air terlalu banyak dan arus yang besar, akhirnya tanggul itu kalah oleh semakin banyaknya air dan derasnya arus yang datang, tanggul tersebut akhirnya jebol dan tumpah. Ketika bibir bahkan tidak mengetahui apa yang harus dikatakan, hati hanya mencerna apa yang dirasakan dan pikiran menyembunyikan apa yang diketahui, saat itulah Raihan merasa ingin menghilang.

Setelah mendengar berita duka yang Tidar sampaikan dengan isak, Raihan mengambil ponsel dan langsung masuk ke dalam kamar. Ada begitu banyak pesan bermunculan di layar pop up ponselnya, semua tentang pesan duka. Ada banyak panggilan yang tidak terjawab dari paman dan ibunya, mereka pasti sangat mengkhawatirkan Raihan. Lagi-lagi air matanya tumpah melihat pesan-pesan yang bermunculan bahkan sebelum dibuka, buru-buru ia mengirim pesan suara untuk beberapa orang yang dianggap perlu untuk dihubungi dan dianggap peduli terhadapnya. Dengan suara sumbang Raihan mengirim pesan suara pada beberapa orang untuk mengatakan kepadanya bahwa “semua akan baik-baik saja”. 

Spontan air matanya tumpah membasahi pipi seakan ingin mengeluarkan semua duka dan menghabiskan air mata supaya di kemudian hari tidak ada lagi duka dan air mata yang tumpah untuk orang lain.

“Nang.”[1] Suara Bulek Surti membuyarkan tangis Raihan, ia tidak memberikan jawaban sepatah kata pun. 

Bulek Surti tampak khawatir dan prihatin dengan kondisi Raihan. Miris jika diingat bagaimana Raihan baru saja tiba di Magelang tiga hari lalu setelah pulang ke Ciamis untuk menjenguk kakeknya pekan lalu, dan harus kembali lagi ke Ciamis dengan membawa sekantong duka. Bulek Surti mengelap air mata Raihan yang terus mengalir dan menepuk bahunya yang terus naik turun mengikuti isak tangis dan sesenggukan yang mengiringi setiap jeda tangis.

Tangis Raihan kian buncah mengingat bagaimana jalannya selama ini. Kemarahannya pada bapak dan ibu yang memaksanya untuk pergi meninggalkan banyak kenangan, meninggalkan anak-anak—buku dan kembang—dan meninggalkan kakek. 

Demi Allah yang jiwaku berada di genggaman-Nya

Aku menyesal, sangat menyesal.

Setelah Bulek keluar Raihan merebahkan kembali tubuh lemahnya sembari mengingat kenangan tentang kakek—dengan melihat gambar-gambar kakek—di ponsel. Tanpa terasa matanya mulai lelah karena menahan bengkak atas kesedihan itu, dan mulai mengantuk. Satu hal yang ia pikirkan saat itu hanya tentang ingin segera pulang dan melihat kakek untuk terakhir kalinya, ia ingin menciumi matanya yang selalu teduh dan tegas secara bersamaan. Lalu mencium tangannya yang penuh aroma minyak kayu putih yang hangat sehangat kasih sayangnya kepada semua orang. Dan mencium keningnya yang penuh cahaya ketakwaan. 

Mata Raihan mulai lelah dan memaksa untuk terpejam, namun selalu ditemukannya bayangan wajah pucat kakek di balik pelupuk matanya, sedangkan jika ia tetap terjaga kepalanya pun masih terus mendatangkan kenangan tentang kakek. Kenangannya bersama kakek di kebun, memanen mentimun bersama Paman Ahmad, bersama Tidar, dan bersama senja sore yang bergerak lambat ke arah barat.

Lihat selengkapnya