Liu Gui Feng, aku rasa aku tak akan pernah melupakan nama kau itu. Bukan hanya nama kau, kupikir rupa kau, suara kau, cara kau berpakaian juga tak akan kulupakan. Mungkin ingatanku hanya sependek ingatan paus, tetapi jika tentang sahabatku, aku tak akan pernah bisa melupakannya.
Gui, kau itu sahabatku, tetapi aku tak tahu keberadaan kau saat ini. Biarlah siapa pun yang membaca ini mengira aku patah hati terhadap gadis, walau nyatanya aku patah hati karena kehilangan sahabat terbaikku saat ini. Gui, macam mana kabar kau? Apakah kau masih hidup? Apakah kau berhasil masuk ke sekolah seni seperti janji kita? Apakah kau mendapatkan kekasih yang kau suka? Hei, Gui, jika kita terhubung apakah kita bisa saling berbicara satu sama lain? Atau apakah kau bisa mengabariku keberadaanmu?
Tanganku berhenti menulis di buku dengan kertas kuning dengan sampul kulit kecoklatan. Pikiranku rasanya kosong sekali saat menulis surat yang entah untuk ke berapa kalinya ini, hatiku apa lagi. Rasanya seperti ingin berhenti saja menuliskan surat-surat ini, tetapi nyatanya aku belum sampai ke akhir episode untuk keberadaan Gui. Aku kini mungkin seperti mayat hidup. Namun, jika boleh jujur aku ingin terus hidup. Tidak peduli sekosong apa hatiku ini, tetapi setidaknya sampai aku mengetahui bagaimana kabar pemuda bernama He Gui Feng itu sebenarnya. Tak peduli apakah ia masih hidup atau sudah menemui ajalnya, setidaknya aku ingin mengetahui kabar yang sebenarnya.
Wahai sahabatku, apakah kita bisa bertemu lagi?