Radio terus memutarkan berita yang sama setiap harinya selama tiga hari belakangan ini. Entah frekuensi atau saluran mana pun, segmen apa pun, mereka tetap mengumumkan berita akan salah satu gadis etnis Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan oleh rakyat tanah air yang bahkan tidak ditemukan siapa pelaku sebenarnya. Para gadis sedang sibuk memikirkan ketakutan untuk menyelamatkan diri mereka, tak peduli dari etnis mana, mereka tetap berusaha mencari sara untuk melindungi tubuh mereka sendiri. Lagi pula, pemerkosaan itu memang mengerikan.
"Mereka menyiarkannya lagi," ujar pemuda bermata sipit yang masih terus mendengarkan berita dari salah satu saluran radio yang biasanya sering menyiarkan tentang musik.
Satu pemuda berambut lebat mendekat dan duduk di sebelah pemuda itu. Kursi kayu yang ia duduki itu berbunyi, menjelaskan seberapa tua kursi itu sebenarnya. Angin yang perlahan masuk dari jendela kelas yang terbuka menyapu wajah mereka sembari mata mereka tertuju pada lapangan berpasir di halaman sekolah.
"Memangnya mereka itu binatang?" Pemuda berambut lebat itu akhirnya mengeluarkan suara. Merasa masih miris dengan berita yang sama selama tiga hari itu dan responnya tetap sama saat sahabatnya yang bermata sipit itu memberikan informasi.
"Aku juga mikir macam itu. Gumilar, kamu tak bakal begitu pada gadis-gadis, kan?"
Pemuda yang berambut lebat itu, Gumilar, menatap sahabatnya dengan wajah yang bingung dan kaget. "Aku emang sering bercanda mau punya kekasih, tapi bukan binatangnya aku, Gui."
Pemuda bernama Gui itu menghela napas lega. "Aku harap juga kamu tak akan begitu. Aku heran sekali kenapa mereka begitu pada etnis kami. Tapi aku juga tak membenarkan jika mereka melakukannya pada etnis lain."
Gumilar mendengkus dan mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, susah juga nebak pikiran orang yang otak selengkangan." Gumilar diam sejenak, ia masih menatap murid-murid yang berjalan di lapangan sekolah, kemudian pandangannya tertuju pada sahabatnya yang bermata sipit itu. "Kita lulus, kan, bentar lagi, kek mana perguruan tingginya? Kau bakal masuk mana?"
Gui tersenyum simpul. "Tentu saja institut seni, kan? Kamu akan ke sana juga, kan? Jika kau memikirkan uang, keluargaku bisa membantumu."
Gumilar tertawa kecil, ia menegakkan kepalanya dan menggeleng. "Aku bakal kerja, lah, jadi tak usah kau pikirkan aku. Aku tak mau terus berhutang budi ke keluarga kau itu. Ditambah ongkos dari Medan ke Jogjakarta itu dah tinggi kali, lah."
"Padahal tak perlu kau pikirkan begitu, kami sudah menganggap keluargamu seperti keluarga kami sendiri sejak kalian sangat baik kepada kami. Untuk ongkos biar aku saja, kau tak perlu pusing."
Gumilar tertawa lagi. "Kita ini manusia, Gui, wajar jika saling membantu."
Gui tersenyum kecil. "Oh, benar. Aku akan membantumu jika begitu. Kamu akan ke rumah sehabis sekolah? Kita bisa melukis lagi, aku puny cat minyak kali ini."
Gumilar mengangguk. "Baiklah, aku akan datang. Aku harus bertemu mantan ketua OSIS dahulu, sampai jumpa nanti." Gumilar perlahan berjalan keluar dari kelasnya.
Pemuda itu memasukkan tangannya ke dalam saku celana yang kecil. Tatapannya tertuju pada koridor sekolah menatap para murid-murid lain yang berlalu-lalang melewati dirinya dengan berbagai macam percakapan. Lagi pula murid kelas 3 sudah tidak memiliki aktivitas penting di sekolah.