Hasil kondensasi kembali menjatuhkan airnya di awal semester itu. Tidak peduli berapa banyak dia jatuh, dia tetap mengorbankan dirinya untuk hidup orang lain, orang yang bahkan tidak memedulikan eksistensinya dan ingin kehadiran dirinya cepat-cepat berakhir.
Jika hari itu, teman baikku, Marco, tidak teriak-teriak seperti orang gila di depan rumah, aku tidak akan sudi menurunkan kaki dari kasur untuk pergi ke neraka jahanam versi beta di bumi ini, sekolah.
Untuk sebagian siswa, mungkin sekolah adalah tempat paling baik untuk mencari pengalaman baru, teman baru, pasangan baru, bahkan musuh baru yang akan mendongkrak popularitas. Namun bagiku ini benar-benar seperti neraka. Bayangkan betapa menyebalkannya orang-orang yang mendekatiku ketika ada PR matematika dan chat room-ku ramai hanya ketika akan menghadapi ujian akhir. Apa mereka pikir aku adalah sebuah situs belajar yang hanya mereka cari ketika kesulitan belajar?
Sebenarnya aku tidak masalah dengan itu karena aku bisa menyimpan energi untuk nanti dipakai menonton film Thailand di rumah. Tapi aku benci ketika sautu saat aku bertanya sesuatu, tidak ada satupun dari mereka yang menjawab pesanku, seolah-olah mereka berpikir “Ah, dia pasti akan menemukan jawabannya sendiri”. Oh mungkin mereka bukan lagi menganggapku situs belajar, melainkan Google, dewanya bumi yang mengetahui segalanya.
Selagi aku siap-siap sekolah, Marco terus-terusan memanggilku di depan rumah seperti anak anjing yang ingin meminta makan. Aku tidak mengerti kenapa ibu tidak mengusirnya saat itu. Aku yakin waktu itu tetanggaku sedang memegang ulekan batu yang bisa dia lemparkan kapan saja dari jendela rumahnya jika Marco tidak berhenti bicara dalam lima menit.
“Hei kau, berhenti berteriak atau aku akan menyuruh Brodo untuk mengigit bokongmu!” teriakku dari jendela kamar lantai dua.
Butuh sekitar empat puluh lima menit untukku mandi hingga sarapan. Mungkin Marco merasakan kakinya ingin lepas karena berdiri selama itu, pikirku.
“Rere, kenapa kamu berteriak seperti itu di atas?” tanya ibuku.
“Ah itu, Marco sangat berisik, jadi aku menyuruhnya diam.”
“Marco? Re—“
Tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya, aku segera meninggalkan ibu karena aku takut terlambat ke sekolah, hukuman di sekolah jika terlambat benar-benar menyebalkan. Aku pun menghampiri Marco yang sudah ingin mati karena lelah berdiri.
“Kau tahu tidak, tetanggaku itu mantan napi, jika kau berteriak lagi seperti tadi, aku ragu dia tidak akan membunuhmu.”