“Sip!” Tio mengacungkan ibu jarinya di hadapan Resha. Ia langsung membayangkan apa yang akan terjadi pada gadis songong itu yang telah menyia-nyiakan perhatiannya selama dua bulan. Begitu pula dengan Resha. Ia merasa bersemangat karena perjuangannya mendekati Adel akan membuahkan hasil. Karena satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk saat ini adalah restu dari kakak sang pujaan hati.
“Jadi, siapa?” Robi yang baru menyelesaikan urusannya di toilet langsung duduk di antara Resha dan Tio.
“Dari mana aja sih, lo? Ngerokok?” todong Resha karena Robi telah melewatkan rapat berharga mereka.
“Enak aja! Toiletnya penuh. Antri.” Robi tidak terima dituduh seperti itu. Perjuangannya untuk mencapai toilet cukup panjang ditambah antrean yang semakin menjengkelkan. Sebenarnya bukan antrean yang membuatnya jengkel. Melainkan karena toiletnya dikunci dari dalam. Sehingga ia tidak bisa masuk dan menyelesaikan keperluannya.
“Penuh? Emang ada acara kencing masal?”
“Bukan begitu. Tadi anak kelas sebelah lagi mau ganti baju. Kan abis olahraga.”
“Kelas sebelah? Lo ke kelas kita, dulu?” Resha menatap Robi dengan tatapan takjub. Sang lawan bicara hanya menganggukkan kepala. “Di sana ada toilet, loh.” Resha menunjuk sebuah bangunan yang menurutnya memang ada toilet.
Robi hanya bisa bergaya sekeren yang ia bisa. “Sorry, nih. Kalo untuk urusan itu gue nggak bisa sembarang pilih tempat.”
“Serah, deh!” Dendi yang sejak tadi hanya menyimak langsung memutus perdebatan mereka. Ketiganya langsung diam tetapi masih saling melotot satu sama lain.
“Jadi siapa, nih?”
Robi akhirnya memutuskan untuk menghentikan kegiatan adu mata itu. Matanya sudah cukup perih. Ia tidak ingin menangis di depan umum begini.
“Naya.” Dendi mewakili.
“Yang itu?” Robi menunjuk seorang gadis dengan seragam olahraga sedang duduk sendirian beberapa meter dari tempat mereka. Hal itu langsung membuat ketiganya membeku. Mereka bertiga tidak berani menoleh ke sana dan segera mengintip melalui layar smartphone milik Resha. Ternyata benar. Gadis yang sedari tadi mereka bicarakan ada di sana.
“Kita tadi terlalu keras nggak, ngomongnya?” Dendi segera berbisik.
“Gimana, nih? Ganti target, nggak?” Tanya Resha agak panik.
“Nggak usah. Lanjutin aja. Lagian kalopun dia denger, pasti udah nyamber kita bertiga dari tadi.” Tio menanggapinya dengan tenang. Dia tidak mau rencananya gagal.
“Oke, deh. Demi adek lo.”
===
Naya berjalan di lorong kelas agak cepat. Ia ingat petugas perpustakaan dua minggu lalu berkata, bahwa hari ini buku-buku yang baru diterima sekolah sudah bisa dipinjam. Ia memang cukup dekat dengan petugas perpustakaan dan melihat salah satu buku yang cukup menarik di antara tumpukan buku baru saat itu. Tetapi, petugas perpustakaan belum memperbolehkannya meminjam karena belum di data. Akhirnya penantiannya selama dua minggu itu membuahkan hasil.
Naya segera berdiri di depan meja petugas sambil memasang senyum seramah mungkin. “Siang, Bu Fatma.”
Bu Fatma menoleh sekilas. Kemudian melanjutkan kegiatannya. “Kenapa, Naya? Mau nyari buku yang kemarin, ya?”
“Iya, Bu. Masih ada, kan?”
“Kayaknya belum ada yang pinjem, sih. Ada sekitar 3 eksemplar. Tapi saya lupa misahin bukunya. Kamu cari sendiri aja, ya.” Bu Fatma cukup sibuk dengan data-data di komputernya.
“Oke, Bu. Gapapa.” Gadis itu segera melesat dan menghilang di antara rak buku.
Sekilas Naya melihat salah satu dari ketiga siswa yang sedang berbicara di taman kemarin. Namun ia tak menghiraukannya. Bagaimanapun juga, ia harus menemukan buku yang telah lama didambakannya. Benar, buku lama. Karena cukup tebal dan sangat bagus review-nya, ia jadi penasaran pada isi bukunya. Namun, buku itu tergolong mahal untuk uang sakunya. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu waktu yang tepat sampai anggaran untuk belanja bukunya cukup. Namun kabar gembira datang ketika ia melihat tumpukan buku yang baru datang dan salah satu buku incarannya ada di antara mereka.
Akhirnya ia menemukan buku itu. Masih ada 3 eksemplar. Berarti belum ada yang meminjamnya. Mungkin karena cukup tebal, tidak terlalu banyak yang berminat pada buku itu. Naya segera memeluk buku itu. Ia buka lembar demi lembar sambil mendekatkannya ke hidung. Aroma buku yang menyengat langsung menyapa indra penciumannya.
“Oke, kayaknya gue mulai lebay.” Naya berbisik sambil memandangi buku temuannya itu. Seolah-olah buku itu adalah harta karun yang sedang diincar oleh para musuh dari berbagai sudut. Ia segera mendekati meja konter.
“Ketemu, Naya?” Bu Fatma langsung mengenali gerak-geriknya. Mungkin karena hanya dialah orang yang mau berlarian di dalam perpustakaan. Berbeda dengan yang lainnya, yang berjalan dengan santai.
“Ketemu, Bu. Masih ada 3, ternyata.” Naya segera memberikan buku itu untuk didata oleh Bu Fatma.
“Berarti ada dua buku yang belum kamu kembalikan, ya.” Bu Fatma melihat data di komputernya.
“Iya, Bu. Mau dibawa hari ini, tapi malah ketinggalan.”
“WOY!!! Kebetulan, lo ada di sini.”
Tiba-tiba Bayu menepuk bahunya. Bayu merupakan ketua dari kelas sebelah dan sudah cukup akrab dengannya. Mereka juga berasal dari SMP yang sama.
“Nih, ada tugas kimia. Pak Seno nggak masuk hari ini.” Rupanya Bayu membawa kabar baik untuknya. “Dikerjain, loh! Langsung dikumpulkan.”
“Wah! Bay! Lo emang pembawa berita baik.” Sepertinya hari ini Naya sedang dihujani berbagai macam kejutan. Ia langsung sumringah. Jika pelajaran kimia hari ini kosong, sepertinya ia bisa menyelesaikan buku pinjamannya beberapa lembar. “Makasih, ya!” Ia segera mengambil catatan tugas dari tangan Bayu dan buku pinjamannya di atas meja yang cukup lama ia abaikan. Ia segera melesat ke kelas. Ia harus segera memberi pengumuman itu, kemudian menyelesaikan tugasnya dan langsung bersantai dengan harta karunnya.
“Guys! Ada tugas!” Naya segera memasang wajah sumringah di depan teman-teman sekelasnya.
“Seneng banget lo, ada tugas.” Ikbal menggerutu sambil sibuk dengan ponselnya.
“Seneng, dong. Kan nggak ada guru. Iya nggak, Re?” Naya meminta pendapat teman sebangkunya yang disusul oleh acungan ibu jari gadis itu. “Nih, gue tulis, ya. Abis itu dikerjain, terus dikumpulkan.” Naya segera menuliskan tugas itu dengan semangat. Setelah selesai, ia segera kembali ke tempat duduknya.
“Nemu, bukunya?” tanya Refi yang sudah mulai membuka buku tugasnya.
Naya segera mengangguk senang dan segera menunjukkan bukunya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Refi, lo inget Tio?”
Refi nampak mengingat-ingat deretan nama yang pernah singgah di otaknya. Tio. “Oh! Cowok yang waktu itu deketin lo, kan? Kenapa, dia?”
Naya membenarkan posisi duduknya supaya apa yang hendak ia sampaikan jelas dan langsung tepat sasaran. “Dia kayanya masih sakit hati gara-gara gue tolak, deh. Terus kemarin, gue kan bikin sketsa, tuh di taman. Gue nggak sengaja denger mereka mau jadiin gue taruhan gitu.”
“Masa, sih? Masih jaman, gitu, main taruh-bertaruh?” Refi cukup tertarik pada topik itu. Karena pada masa pendekatan Tio, dialah yang menjadi kurir untuk menyampaikan berbagai macam amanat sang paduka kepada Naya. Ia cukup senang dan kecewa saat melihat Naya secara terang-terangan menolak Tio di hadapannya. Senang, karena ia tidak perlu menjadi kurir lagi. Kecewa karena perjuangannya menjadi kurir selama ini ternyata sia-sia.
“Serius. Tapi dia nyuruh siapa, itu yang dipanggil Res. Lo tau?”
“Dipanggil apa?”
“Res. Gue nggak tau, sih lengkapnya apa. Makannya gue nanya ke elo. Siapa tau kenal.”
“Res, ya?” Refi berpikir sejenak. “Resha, kali. Yang gue tau cuma dia yang deket.” Jelas Refi.
“Kayanya emang dia, sih. Kemarin gue liat mereka bertiga, terus dateng satu lagi agak telat.” Naya mengingat-ingat kejadian kemarin. “Gimana, dong?”
“Gimana apanya? Emangnya lo mau ngapain?”
“Ya ngegagalin rencana mereka, lah. Enak aja mau main-main sama gue.” Naya menggerutu.
“Tapi kalo Resha yang deketin lo mah, jalanin aja. Cakep, tuh. Pernah ditaksir senior waktu MOS.”
“Yeee! Lo mah! Bukannya bantuin.” Ia langsung sebal. Apalagi mengingat nama adik Tio. “Lagian dia juga pengennya sama adiknya Tio. Gue cuma buat batu loncatan aja.”
“Lagian, lo ngapain sibuk ngurusin begituan, sih? Kaya emang bener aja, mereka mau mainin lo.”
Ucapan Refi cukup benar juga. Apa alasan yang membuat ia yakin kalau Tio dan teman-temannya akan melakukan itu?
“Mana, muka gue?”
Naya hanya memandangi telapak tangan Refi yang menengadah di hadapannya. “Apaan? Baru juga kemarin. Belum selesai, lah. Seminggu udah paling cepet. Lagian kan gratis.”
“Gratis kan karena lo masih amatiran. Lo juga harusnya bersyukur soalnya gue mau jadi bahan percobaan lo.” Refi tidak terima dikatai gratisan seperti itu. Seharusnya Naya memang bersyukur akan kehadirannya yang mau dijadikan kelinci percobaan.
“Kalo percobaan mah, gue juga bisa nyoba pake foto artis.” Naya segera membuat buku tugas dan mengerjakannya sambil sesekali melirik Refi. “Nih, ya. Kalo dalam satu minggu ini gue mulai ketemu sama Resha Resha itu, berarti omongan gue bener.”
“Iya.”
===
Resha melangkahkan kakinya menuju parkiran. Cahaya matahari mendadak lebih tajam dari sebelumnya, membuat ia mau tak mau menyipitkan matanya sambil mewanti-wanti bila ada kendaraan melaju ke arahnya. Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti tepat di hadapannya.
“Lo jadi ke rumah gue, kan?”
Kepala Tio menyembul ke bagian depan begitu kaca mobil diturunkan.
“Jadi, dong. Tapi gue nebeng, ya.”
Begitu dapat persetujuan dari pemiliknya, Resha segera membuka pintu di samping kemudi. Namun ia baru sadar, ternyata kursi tersebut telah diisi oleh seseorang.
“Udah ada orangnya. Belakang, sana.”
Resha segera mendelik pada temannya. Kenapa nggak bilang dari tadi?
Akhirnya ia menuruti juga apa yang diinginkan sang empu. Begitu ia menutup pintu, mobil segera melaju meninggalkan parkiran.
Sepanjang perjalanan, Resha hanya diam. Yang terdengar hanyalah ocehan dua sejoli yang duduk di hadapannya entah membicarakan apa. Karena tidak mau mati gaya, ia segera mencari smartphone-nya. Seingatnya, ia melemparnya ke dalam tas bersama beberapa buku setelah tadi bel pulang sekolah berbunyi.
“Nyari apa, Lo?”
Tio ternyata cukup terusik dengan tindakan Resha yang mengeluarkan hampir seluruh isi tasnya.
“Nyari smartphone. Kayanya tadi ditaruh di dalem tas.” Resha masih fokus pada tasnya. Beberapa saat kemudian, ia bernapas lega. Smartphone-nya berhasil ia temukan.
“Ketemu?”
Nampaknya pertanyaan itu hanya semacam basa-basi saja. Sebab, Tio sudah melihat sendiri smartphone yang kini sudah berada di genggaman pemiliknya.
“Buku apaan, tuh? Suram banget, keliatannya?”