Semu

Shea
Chapter #3

Serangan Pertama

Resha menatap tajam guru yang sedang mengajar. Mengamati gerak-gerik sang guru kalau-kalau dia akan segera menutup pertemuan kali ini. Sesuai dengan dugaannya, beberapa menit kemudian sang guru menutup diskusi pada hari ini saat dilihat sudah tidak ada yang menanggapi lagi.

Ketika seluruh siswa di ruangan itu masih sibuk berkutat dengan catatan masing-masing, bangku Resha justru sudah bersih dan mengkilap. Dendi menatapnya heran, tapi urung bertanya. Ia justru memeriksa kembali kelengkapan dari catatannya. Resha masih betah mengawasi gerak-gerik guru sejarahnya. Begitu sang guru keluar ruangan, ia segera mengejarnya meskipun sempat tertahan oleh Dendi.

“Lo mau kemana?”

Resha diam sebentar. Ia pun tak tahu tujuannya kemana. “Pokoknya lo ga boleh tau. Kalo ada yang nanyain, bilang ga tau.” Tuntutnya seolah-olah ada rentenir yang mengejarnya. Ia langsung melesat dan menghilang dari pandangan Dendi.

Tepat sepuluh meter jaraknya dari kelas, bel istirahat berbunyi. Langkahnya semakin cepat beriringan dengan murid-murid lain yang berhamburan keluar. Ia harus bergegas sembari memikirkan tempat yang aman.

Jika ia memilih UKS, ia pasti langsung diusir karena tubuhnya sehat wal afiat. Toilet akan menjadi tempat menyeramkan untuk bersembunyi. Kantin akan menjadi pilihan terakhirnya ketika tidak ada tempat lain karena tempat itu terlalu rawan untuk bersembunyi. Memilih kelas, tandanya ia sedang mengantarkan nyawa. Tak ada pilihan lain, ia menetapkan tujuannya ketika melihat seorang gadis dengan rambut terurai berhiaskan bandana melintas di hadapannya. Di tangannya terdapat beberapa lembar kertas dan peralatan menulis. Ia yakin betul tempat tujuan gadis itu bisa menjadi tempat yang aman baginya. Tanpa menunda-nunda lagi, kakinya melangkah mengikuti gadis itu.

Ini merupakan kesekian kalinya Resha melarikan diri dari Ocha, senior yang hingga kini masih rutin mengunjunginya sertiap jam istirahat sejak ia semester dua. Ia sebenarnya sudah mencium bau tidak beres ketika melihat gadis itu ikutan jongkok untuk memunguti sampah bersamanya dan bersikap akrab padanya saat masa orientasi.

Sudah berkali-kali ia menegaskan supaya mereka tidak terlalu dekat, tapi gadis itu masih saja keras kepala. Ditambah kekasihnya memiliki banyak pasang mata di setiap penjuru sekolah. Membuat dirinya harus mengulang penjelasan setiap kali ditanya kenapa masih dekat dengan Ocha. Jadi, selama ini yang ia lakukan adalah mencoba menghindari gadis itu dengan beberapa cara. Salah satunya adalah dekat dengan siswi lain. Cara ini cukup berpengaruh terhadap usaha gadis itu, karena ia jadi jarang mengunjunginya. Namun begitu mendengar kabar kalau gadis yang dekat dengan Resha sudah memiliki kekasih, dan orang itu bukan Resha, Ocha akan hadir kembali ke kehidupannya. Menantinya di depan kelas kemudian merengek minta ditemani ke kantin.

Baru-baru ini gadis yang menjadi tamengnya sudah menjalin hubungan dengan orang lain. Mau tak mau, ia harus menghadapi teror ini lagi.

Sebenarnya Ocha tidak terlalu buruk. Dia justru nyaris sempurna. Setidaknya, dia termasuk ke dalam kategori standar tinggi menurut kebanyakan orang. Banyak perempuan ingin bertukar posisi dengannya, minimal bertukar wajah. Cukup akrab dengan dunia hiburan, wajahnya beberapa kali muncul di iklan-iklan televisi. Mungkin itu yang menyebabkan kekasihnya tidak bisa berbuat apa-apa karena jarang mendapatkan gadis seperti Ocha. Sehingga, hal yang bisa dilakukannya adalah mendatangi sumber masalah di antara hubungan mereka. Siapa lagi kalau bukan Resha?

Kepercayaan diri Ocha yang terlalu tinggi membuat Resha berusaha menghindar dan menghapus namanya dari daftar gadis idaman. Kini yang harus ia lakukan adalah mencari perempuan di sekolahnya yang bisa melunturkan semangat gadis itu. Karena itulah, ia langsung menerima tawaran Tio di taman ini. Naya mungkin bisa membantunya.

Ragu-ragu ia mendekati meja tempat gadis itu berada. Jika tadi ia melihat gadis itu mengurai rambutnya dan menghiasnya dengan bandana, kini rambut itu sudah terikat sempurna. Benda itu menahan anak rambut yang nakal dan terus memaksa turun menghalangi pandangan gadis itu.

“Gue boleh duduk sini?”

Nampaknya gadis itu agak keberatan dari responnya setelah mendengar pertanyaan itu. Ia mengedarkan pandangannya untuk memastikan masih ada bangku yang kosong. Namun nihil, dari dua bangku yang tersedia, hanya tempatnya yang memiliki ruang cukup luas dan masih kosong.

Sambil menghela napas agak malas ia berkata, “Duduk aja.”

Tentu saja Resha tidak tahu bahwa yang dimaksud dengan ‘duduk aja’ adalah mempersilakan dirinya duduk saja. Benar-benar hanya duduk dan tidak diajak mengobrol sama sekali. Gadis itu justru sibuk dengan kertas dan pensilnya. Jangan lupakan earphone yang menyumbat kedua telinganya. Akhirnya ia hanya bisa memainkan jemarinya dan sesekali menyobek dedaunan yang tak sengaja jatuh di pundaknya. Ia bahkan melupakan smartphone-nya karena tadi terburu-buru.

Terlalu lama menunduk membuat leher Naya terasa pegal. Ia kemudian melepas earphone dan merentangkan kedua tangannya, lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi. Memejamkan mata sebentar, lalu melanjutkan gambarnya.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh pemuda yang sedari tadi mengamatinya. Ia segera mengeluarkan suara sebelum kedua tangan gadis itu meraih earphone-nya. “Lagi bikin apaan?”

Kegiatan Naya terusik sejenak. Ia memasangkan sebelah earphone-nya lalu menunjukkan kertas dengan gambar yang menyerupai siluet seseorang. “Bikin sketsa wajah.”

“Boleh liat?”

“Tapi jelek.” Jawab Naya ragu.

“Kan belum liat. Siapa tau menurut gue bagus.”

Ragu-ragu, Naya memberikan kertas-kertas itu pada Resha. Pemuda itu langsung mengamatinya perlahan. Ia melirik sebuah foto berukuran 3R dan membandingkan keduanya. “Bentuknya udah bagus, kok.”

Naya menunggu kelanjutan ucapan Resha karena kata terakhir yang terucap ia yakini merupakan bentuk dari ketidakpuasan. “Terus?”

Seakan mengerti dengan pertanyaan Naya, Resha segera melanjutkan ucapannya yang telah dinantikan oleh sang audience. “Tekanan di bagian ini terlalu kuat.” Ia menunjukkan garis yang membentuk bagian pipi. Ia meraih pensil yang masih digenggam gadis itu. Naya terkejut dengan tindakan Resha yang tak terduga.

Seakan tak menghiraukan keterkejutan Naya, Resha segera menggoreskan pensil itu di atas garis yang telah diciptakan gadis itu.

Naya mencondongkan tubuhnya untuk melihat gambarnya yang mungkin sedang dirusak oleh Resha. Ngomong-ngomong, darimana datangnya makhluk yang tiba-tiba memberinya petuah ini?

Tetapi ia tak bisa menumpahkan kekesalannya ketika melihat goresannya yang tak karuan lama-kelamaan menjadi rapi. Ia bahkan bisa melihat Refi tersenyum dari gambar yang baru selesai pada bagian pipinya.

“Lo jago gambar, ya?” tanya Naya penasaran.

Resha terkejut karena ia sedari tadi asyik dengan pensil milik gadis itu. “Oh, sorry. Gue ngambil alih gambar lo.” Perlahan, kertas itu ia sodorkan pada gadis itu.

“Gapapa. Santai aja.” Ujar Naya menyadari ketidaknyamanan lawan bicaranya. “Gue emang lagi mentok. Tapi yang lo buat bagus.” Lanjutnya sambil memiringkan kertas itu. Ia ingin memastikan untuk melihat dari arah mana, karena gambar itu tampak nyata. “Kok bisa gini? Gimana caranya?”

Belum sempat Resha membuka mulutnya, suara peringatan berakhirnya jam istirahat menggema di seluruh lorong kelas. Keduanya menyesali suara yang datang di saat yang tidak tepat.

Melihat raut wajah kecewa gadis itu membuat Resha mau tak mau buka suara. “Besok kita lanjutin bareng. Di sini, gimana?”

Wajah Naya langsung berubah cerah. “Boleh.” Kedua matanya berbinar. Resha jadi ragu bahwa sekarang adalah siang hari. Karena ia bisa melihat bintang-bintang bertaburan pada kedua mata gadis itu.

Tak menunggu waktu lama, keduanya segera meninggalkan taman sebelum para guru memasuki kelas. Setelah berpisah dengan Naya di depan lapangan, Resha langsung berlari ke kelasnya saat melihat guru yang akan mengajar di kelasnya telah mencapai pintu kelas.

Saat memasuki ruang kelas sambil ngos-ngosan, ia langsung ditodong pertanyaan oleh Dendi. “Abis darimana, sih?”

“Gue nggak bakal ngasih tau.” Jawab Resha sambil mengeluarkan buku pelajarannya. “Kayanya dalam seminggu ini gue bakal ngilang. Jadi, jangan nanyain hal yang sama.”

Dendi jengah dengan jawaban Resha yang justru tidak memberinya jawaban sama sekali. “Ocha lagi?” dan ketika ia tak mendapat respon apapun dari Resha, ia sudah yakin jawabnnya apa. “Emang ga bisa diomongin baik-baik, ya?”

“Kalo urusannya udah sama Ocha, ga ada yang bisa diomongin dengan baik-baik.” Jawabnya sambil berpura-pura memperhatikan kelompok yang baru memulai presentasi. “Ga usah banyak tanya, atau lo nanti disuruh nanya ke kelompok itu.” Ancamnya dan sukses membuat Dendi diam.

 

===

 

“Lo kok jadi jarang ke kantin, sih?”

Suara Refi menyadarkan Naya dari lamunannya. Ia sejak tadi memikirkan skenario untuk menyelesaikan sketsa wajah Refi yang belum juga selesai. Ia bahkan tidak sadar bahwa pelajaran telah berganti.

“Lo ada hutang, sama orang di kantin?” tanya Refi lagi. Ia jengah dengan sikap Naya yang tak memberinya respon apapun.

“Gapapa.” Jawabnya santai. “Gue lagi diet.”

Refi sangsi dengan jawaban Naya yang tidak memuaskan. Ia mengamati sahabatnya dari atas sampai bawah. Hasil apa yang diharapkan orang ini? “Padahal lo udah kurus.”

“Gue punya standar sendiri, ok?”

Sahabatnya benar-benar sudah berubah. Buku apa yang dibacanya selama ini? Apakah majalah fashion dengan penampilan sempurna? Mungkin Refi juga harus menyalahkan tontonan gadis itu juga.

“Bahaya loh, Nay.” Kali ini Refi benar-benar lelah karena tidak juga berhasil membujuk sahabatnya. “Gara-gara Tio, y/.”

“Gue tetep makan, kok. Lo tenang aja, oke?”

Refi menyerah. Dia segera mengeluarkan buku untuk pelajaran berikutnya.

Naya sendiri tidak tahu apa yang salah dengan dirinya. Ia hanya makan secukupnya saja dan orang-orang di sekitarnya selalu heboh. Setelah dipikir-pikir, apakah semua ini ada hubungannya dengan Tio?

Tetapi, setahu dia, tidak ada yang berubah darinya setelah mengenal pemuda itu. Ia tetap menjalankan programnya seperti biasa. Meskipun, ia pernah merasa menyesal pada penampilannya dulu saat bertemu mantan kekasih Tio.

Gadis itu cantik dengan tubuh ramping dan kulit putih terawat. Naya yakin, pakaian apapun akan cocok dipakai gadis itu. Perempuan dengan bentuk tubuh yang bagus memang pantas mengenakan apapun. Naya bahkan saat itu sudah berusaha mencari pakaian yang cocok, tetapi tetap saja tidak bisa melampaui kecantikan gadis itu. Ia sampai merasa tidak pantas menggantikan posisi gadis itu di hati Tio.

“Resha tadi nyamperin gue.” Naya berbisik pada Refi bersamaan dengan datangnya guru. Posisi duduk mereka yang berada di barisan kedua.

“Terus?”

“Kayaknya besok gue ketemu dia lagi.”

Sesuai ucapannya, Resha benar-benar datang keesokan harinya. Kali ini dia tidak datang dengan tangan kosong. Setidaknya, ada smartphone di tangannya sebagai antisipasi jikalau gadis itu tidak menghiraukannya. Ia langsung duduk tanpa meminta persetujuan Naya lagi.

Seperti dugaannya, Naya tidak menyapanya sama sekali. Gadis ini memang tak bisa ia tebak. Padahal kemarin ia baru saja melihat kedua matanya yang berbinar. Tapi sekarang, mata itu malah fokus pada kertas dan tidak meliriknya sama sekali.

Karena bosan, Resha mengambil pensil yang tergeletak dan menggambar daun yang tak sengaja jatuh di kepalanya. Setidaknya mendapat tempat untuk menghindar sementara dari Ocha sudah cukup baik baginya. Ia tidak bisa meminta lebih lagi. Tak ingin kediaman ini berlangsung lama, Resha segera membuka topik pembicaraan.

“Lo nggak ke kantin?”

“Gue ke sini, berarti gue nggak ke kantin.” Jawabnya simpel sambil terus fokus pada gambarnya. Detail bagian ini menyita banyak waktunya.

Resha mengakui jawaban itu benar. Tapi bukan itu yang ia inginkan. “Iya, kenapa?”

“Gapapa. Gue emang nggak makan siang.” Lama-lama Naya jengah dengan pertanyaan beruntun dari Resha. Selanjutnya apalagi?

Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut, Resha tahu apa yang dimaksud Naya. “Oh, lagi diet? Apalagi yang mau dikurusin?”

Resha melihat Naya dengan seksama. Tidak ada yang salah dengan tubuhnya. Apa yang perlu diubah?

“Emang lagi ngetren ya, di kalangan perempuan?” Tanya Resha yang heran dengan pemikiran remaja zaman sekarang.

Lihat selengkapnya