Aku pernah mengenal seorang perempuan yang tidak meminta dunia untuk lembut, tapi diam-diam selalu menambal hatinya setiap kali dunia terlalu keras padanya. Ia berjalan tanpa banyak kata, namun langkahnya selalu menyimpan gema yang lama mengendap di dadaku. Kadang aku merasa, ada sesuatu di balik sorot matanya yang membuat waktu berhenti sebentar. Aku tidak tahu sejak kapan matanya menampung langit yang berat, tapi sejak itu, aku tak lagi berani beranjak dari hujan. Seolah di sana, di antara butir air dan dingin sore, aku menemukan tempat paling sunyi tempatnya berdiam.
Ia bukan perempuan yang suka bicara tentang lelah, tapi tubuhnya sering kali bercerita lebih jujur dari lisannya. Ada garis-garis halus di wajahnya yang bukan tanda usia, melainkan peta dari hari-hari yang terlalu panjang. Setiap senyumnya menyembunyikan sesuatu yang rapuh. Aku melihatnya menegakkan kepala ketika banyak hal ingin menjatuhkan. Aku mendengar suaranya yang tenang, padahal aku tahu ada badai di belakangnya. Dan entah kenapa, justru di situlah kekagumanku tumbuh—bukan pada caranya kuat, tapi pada keberaniannya untuk tetap lembut di tengah kerasnya dunia.
Perempuan itu tidak pernah meminta simpati. Ia hanya berjalan, sesekali berhenti, menatap langit yang sama denganku, mungkin tanpa sadar kita sedang saling mencari dari dua ujung yang berbeda. Aku mengenalnya bukan dalam pertemuan yang indah, melainkan dalam ketidaksengajaan yang pelan-pelan menjadi kebiasaan. Sebuah nama yang dulu asing, kini terasa seperti doa yang tidak selesai aku ucapkan. Aku mengenalnya di balik layar, melalui pesan-pesan kecil yang kadang sepele, tapi selalu meninggalkan sesuatu di dada. Ia datang seperti cahaya redup—tidak menyilaukan, tapi membuatku betah menatap lama-lama.
Waktu pertama kali aku menyadari keberadaannya, aku tidak mengira apa-apa. Hanya rasa ingin tahu yang sederhana. Tapi ada hal yang berbeda dari dirinya. Ada keangkuhan kecil yang justru membuatnya tampak jujur. Ia seperti karang di tepi laut—keras, teguh, namun diam-diam menanggung ombak tanpa berkeluh. Aku melihatnya begitu. Keras kepala, tapi tulus. Tegas, tapi penuh rasa. Aku tidak tahu harus menyebutnya apa, tapi setiap kali ia bercerita, aku merasa sedang membaca seseorang yang menulis dirinya sendiri tanpa tahu sedang diawasi oleh kagumku.
Hari-hari berlalu, dan perlahan, jarak antara kami tak lagi sesempit layar. Cerita-cerita kecil mulai ia senandungkan. Tentang lelah di kantor, tentang kereta yang padat, tentang kopi yang tak sempat dihabiskan. Semua hal sederhana itu seperti benang-benang kecil yang menjahit keberadaannya dalam pikiranku. Aku, yang dulu hanya pengamat, kini mulai takut kehilangan kabarnya. Ia tidak tahu betapa sering aku membaca ulang percakapan kami, hanya untuk mengingat intonasi senyumnya yang tak pernah aku dengar. Ia tidak tahu betapa setiap pesannya menjadi semacam pengingat bahwa di dunia yang sibuk ini, masih ada seseorang yang mampu membuatku diam.