SEMUA AKU DIRAYAKAN

Ivara
Chapter #2

BAB 2 : KABUT JAUH

Ada masa-masa ketika aku hanya bisa menatap dari jauh, menyaksikan bagaimana dunia memperlakukannya dengan cara yang tidak selalu adil. Di saat-saat seperti itu, aku ingin sekali menuliskan kalimat yang bisa menenangkan, tapi setiap kata terasa terlalu kecil di hadapan kekuatan yang ia miliki. Ia tidak pernah benar-benar meminta tolong, tidak pernah mengabarkan bahwa ia sedang berjuang. Namun aku tahu, ada pertempuran sunyi yang sedang ia jalani—pertempuran antara bertahan dan menyerah, antara menangis dan tersenyum seolah baik-baik saja.

Aku masih ingat cerita-cerita kecilnya. Tentang pagi yang ia mulai dengan terburu-buru, menaiki kereta yang sesak, berdesakan dengan ratusan wajah lelah. Tentang sore yang dihabiskan di bawah tatapan sinis atasan, tentang malam yang berakhir dengan langkah pelan menuju rumah, ditemani lampu-lampu kota yang samar. Ia selalu menceritakannya dengan tawa, seolah semua itu hal sepele. Tapi aku tahu, di balik tawanya, ada raut yang sedang belajar kuat setiap hari. Ia adalah perempuan yang menutup lelah dengan candaan, menutup sedih dengan senyum, dan menutup luka dengan keberanian yang tidak semua orang bisa miliki.

Mungkin dunia sering menjatuhkannya, tapi aku tahu, ia tidak pernah benar-benar jatuh. Ia hanya belajar berdiri dengan cara yang baru, dengan versi dirinya yang sedikit lebih kuat dari kemarin. Setiap luka yang datang, ia sambut bukan dengan putus asa, tapi dengan penerimaan yang perlahan. Aku melihatnya tumbuh tanpa sadar, seperti bunga liar di tengah retakan aspal—tidak diminta, tapi tetap mekar. Ia menghadapi hidup dengan kepala tegak, bahkan ketika hatinya sudah remuk di dalam. Ada keanggunan yang lahir dari kesakitannya, ada keteguhan yang muncul dari rapuhnya. Dan setiap kali aku melihatnya seperti itu, aku merasa kecil di hadapan caranya bertahan.

Ada kalanya aku ingin menjadi tempat ia bersandar, tapi bagaimana mungkin aku bisa menampung seseorang yang bahkan mampu menopang dirinya sendiri? Kadang aku merasa tak perlu banyak bicara—cukup diam dan mengaguminya dari balik layar. Karena di setiap geraknya, aku belajar tentang ketabahan. Tentang bagaimana seseorang bisa tetap lembut tanpa kehilangan keteguhan, bisa tetap memberi tanpa memiliki apa pun untuk dirinya sendiri. Ia seperti cahaya yang tak pernah padam, meski lilinnya terus meleleh.

Kehidupan tidak pernah benar-benar ramah padanya. Ia kehilangan cinta pertama dengan cara yang membuat napas siapa pun akan tertahan. Aku tahu sedikit dari ceritanya, dan sisanya aku tebak dari nada suaranya. Ada nama yang tidak lagi ia sebut, tapi masih tinggal di matanya setiap kali ia bercerita. Ia mencoba menutup lembaran itu, tapi aku tahu, beberapa luka tidak diciptakan untuk sembuh—hanya untuk diterima. Aku tidak berani menyentuh bagian itu terlalu dalam, karena aku tahu, ada kesedihan yang hanya bisa dipeluk oleh waktu. Namun setiap kali ia berusaha tertawa di atas kehilangan itu, aku justru semakin kagum. Karena di antara semua hal yang bisa membuatnya menyerah, ia memilih untuk tetap percaya.

Lihat selengkapnya