SEMUA TENTANG LUNAR

M Teguh Gumilar
Chapter #1

SESI #1 - BERANI MEMULAI

Pagi begitu cerah, awan-awan mengepul berkumpul dalam ragam raga nan senantiasa menghiasi cakrawala. Bak menjadi tempat selundupan angan bagi setiap manusia. Semua cita itu bermula dari nama seorang gadis berumur 18 tahun yang telah menjadi primadona siswa laki-laki disalah satu sekolah ternama pusat kota. Baik teman sejawat, adik kelas, ataupun kakak kelasnya sekalipun yang telah menjadi alumni, sangat terkesima pada sosok wanita yang kerap mengenakan hijabnya kemanapun pergi. Wanita itu memiliki nama lengkap Lunar Anggun Setya.

Perawakkan nan tak terlalu tinggi, tidak berarti pula pendek. Menurut teman-teman di sekolahnya, terutama laki-laki. Tinggi badan ideal sudah jatuh ditangan wanita tersebut. Namun, bukan hanya itu sahaja yang menjadi alasan bagi mereka mengagumi sosok Lunar. Melainkan sikap kesederhanaan dirinyalah yang membuat semua laki-laki kadangkala sukar untuk fokus saat berpapasan dengannya. Bagaimana tidak? Dalam ruang lingkup sekolah yang begitu terlihat saling mengedepankan berbagai macam gengsi. Lunar sangat berani menampilkan sisi kesederhanaannya dengan tidak mengenakan riasan wajah yang berlebihan seperti siswi lainnya yang seolah saling berlomba dalam memamerkan merek-merek kosmetik ternama dikelasnya.

Kenaturalan dari paras Lunar nan membuat esensi dari kata cantik akhirnya tercipta. Tak heran, hampir seluruh laki-laki ingin menjadi kekasih hatinya dengan mayoritas adalah siswa yang terkenal akan kepandaian dalam perihal akademiknya. Akan tetapi, bukan Lunar lah orangnya bila dengan mudah sekali dapat terjerat oleh ribuan rayuan dari mulut lelaki. Entah kriteria seperti apa yang ia cari yang jelas, Lunar selalu berkata:

“Aku pergi sekolah karena mencari ilmu. Bukan mencari pilu”

“PILU?” Tanya Irma. Salah seorang sahabat dekatnya yang merasa heran karena kalimat itu yang seringkali Lunar katakan padanya dikala membicarakan tipe laki-laki seperti apa yang sebenarnya ia cari.       

Perawakkan Irma hampir sama dengan Lunar. Hanya sahaja yang paling jelas membedakan di antara mereka adalah dengan kerudung yang dipakai. Rambut Irma terlihat polos tanpa ditutupi sehelai kainpun, terurai panjang ke bawah dengan warnanya hitam pekat. Wajahnya tak kalah cantik, mungkin jua karena Irma sudah pintar dalam urusan berdandan. Mereka cukup lama saling mengenal, dari pertama masuk mengikuti orientasi sekolah, sampai sekarang mereka menginjak kelas XII pun tetap bersama-sama. Hubungan mereka begitu erat, bahkan banyak orang yang mengira Irma dan Lunar seperti layaknya seorang adik-kakak. Sebab kemanapun langkahnya pergi mereka selalu saja terlihat bersamaan. Entah kebetulan atau memang sengaja berkomitmen seperti itu, yang jelas tidak ada celah bagi mereka untuk bepergian seorang diri.

Keluarga Lunar terbilang keluarga yang kental dengan nuansa keagaamaan, meskipun ayah atau ibunya bukanlah seorang tokoh keagamaan. Melainkan hanya pegawai kantoran biasa, akan tetapi segala sesuatu yang ia tanamkan pada putrinya itu tak lepas dari wawasan nan religius. Maka dari itu, sedari dini Lunar memilih mengenakan hijab atas dasar kemauannya sendiri. Pun sikap kesederhanaannya ternyata bermuasal dari petuah kedua orang tuanya yang berhasil melekat dalam pikiran, nan kemudian menjadi kebiasaan pada kesehariannya.

Ayah dan Ibunya tak pernah melarang sama sekali untuk Lunar berpacaran, selagi ia bisa menjaga hakikat kehormatan seorang wanita beserta nama baik keluarga. Namun, sering kali dia mengelak akan pembahasan hal semacam itu, jikalau jua orang tuanya sesekali menggoda dengan menanyakan laki-laki mana yang bakal terpilih oleh bidadari kecil mereka itu, respon Lunar hanya diam tersipu malu. Bahkan, mungkin jua setiap anak di luar sana akan merasakan hal yang sama dengannya jikalau perbincangan bersama orang tua seperti itu isinya.

Lunar tak memiliki saudara kandung, alias ia adalah anak satu-satunya. Perhatian dan kasih sayang nan berlimpah diberikan sepenuhnya oleh kedua orang tuanya untuk Lunar tanpa adanya perbedaan. Sebab memang tidak ada juga acuan pertimbangan lainnya, jika kenyataan berkata ia adalah anak tunggal. Maka dari itu, segala yang menurut orang tuanya baik bagi Lunar tak pernah terganggu gugat. Salah satu contohnya dalam urusan pendidikan. Sekolah yang sekarang Lunar jadikan tempat menimba ilmu, merupakan tempat yang cukup fantastis di kelasnya. Pula memang mudah untuk ditebak siswa-siswi yang bersekolah di sana adalah anak daripada orang yang bukan sembarangan tentunya.

Hidup Lunar sejatinya tak pernah neko-neko. Bagi wanita tersebut dimanapun sekolahnya, hakikatnya akan sama saja. Bahkan, ia juga sempat menolak dengan pilihan sekolah itu, karena pikir Lunar semua ini terlalu berlebihan. Tetapi, apa boleh dibuat? Orang tuanya tetap bersikeras atas prinsip pendidikan adalah nomor satu bagi seorang anak. Dan jika sudah begitu, sulit sekali bagi Lunar untuk mendebatkan, maka dari itu kini Lunar bersekolah di antara siswa-siswa nan memiliki nilai gengsi nan teramat tinggi.

#Kringgggg... Kringgggg...

*Bunyi alarm terdengar

Jam menunjukkan pukul 05.00 dini hari. Hembusan angin perlahan merasuk di antara celah-celah tirai besar berwarna putih, kemudian ia terus berjalan mendekat ke arah selimut tebal nan dibaliknya menyembunyikan tubuh Lunar yang masih terbaring walau matanya perlahan mulai terbuka. Nikmat sekali tiupan angin dalam suasana pagi itu. Bilamana bukan Lunar orangnya, tentu saja mimpi indah masih bisa beralur panjang hingga waktu terbitnya sang mentari tiba.

Beberapa menit berlalu, Lunar beranjak dari tempat tidurnya. Merapikan sprei beserta selimut tebalnya. Kemudian, ia masuk ke kamar mandi hingga beberapa saat terlewati, wajahnya basah dan tampak bersinar sesaat kembali. Ia kemudian mengambil sajadah yang tersusun rapi dengan telekungnya di sebuah meja kecil di dekat ranjang kasurnya.

Ia terlihat bersimpuh cukup lama selepas menunaikan sholat. Air mata yang menetes dalam setiap lekukan parasnya, tak lain karena kekhusyuan dari seorang insan untuk doa nan terpanjatkan meminta perlindungan dan kesehatan bagi kedua orang tuanya kepada Sang Maha Pencipta.

Pukul 06.00, Lunar tampak duduk sembari membenahi hijabnya. Lalu mulai menyantapi satu persatu makanan yang telah dibuat oleh ibunya.

“Lunarrrrr... Lunnnnnn...” Terdengar dengan jelas suara seseorang memanggil namanya, berbarengan dengan ketukan pintu yang cukup kencang. Lunar yang seolah sudah mengenali suara tersebut, tak lama menghampirinya. Membukakan pintu dengan raut wajah terlihat sedikit jengkel.

“Kok mukanya masih pagi kayak gitu sih? Aku kepagian yah jemput kamunya? Heeee...” Tutur Irma sembari menggaruk asal bagian rambutnya.

“Bukan itu... Kamu tuh udah berapa kali aku kasih tau yah, masak lupa lagi?” Tanya balik Lunar dengan nada kesal.

“Oh... Eh... Iyaa lupa aduh hehehe...” Irma mengacung-acungkan jemarinya seolah sedang mengingat-ingat kembali. Dan tak lama kemudian, ia berkata:

Assalammualaikum Lunarrrr...” 

“Iya, Walaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” Jawab Lunar nan mulai tersenyum melihat tingkah menggemaskan dari sahabatnya itu.

“Ayok, jadi mau berangkat sekarang kan?” Tanya Irma dengan nadaan penuh menggoda. Kedua alisnya terlihat naik turun. Lunar pun mengangguk sembari tersenyum lebar. Ia kemudian, mengajak sahabatnya itu untuk berpamitan kepada kedua orang tuanya, sekaligus mengambil tas miliknya yang tergeletak di dekat meja makan.

Setiap pagi dan hampir setiap hari. Irma selalu menyempatkan datang menjemput Lunar untuk pergi bersama ke sekolah dengan mengenakan sepeda motor Vespa matik andalannya. Dia memang benar-benar sahabat terbaik yang saat ini Lunar miliki. Kedua orang tua mereka pun saling mengenali satu sama lain, bahkan di antara mereka pula selalu mengingatkan pada keduanya untuk tetap menjaga persahabatannya dari segala perpecahan, termasuk yang paling mendominan adalah urusan laki-laki.

“Kita berangkat yah Bu-Pak, Assalamualaikum.” Ujar Lunar sembari berlalu pergi dengan sahabatnya itu.

#Tenggg...Tenggg...Tenggg...

*Lonceng sekolah berbunyi berulang kali

Suara langkah kaki dari seluruh siswa serentak terdengar dan memuncak ketika mereka mulai terlihat berbondong-bondong menuju lapangan hingga berakhir menjadi satu kesatuan utuh dalam sebuah barisan.

“UPACARA BENDERA AKAN SEGERA DIMULAI. DIHARAPKAN SELURUH PESERTA TIDAK RIBUT.”

Pesan singkat itu tak bosan-bosannya selalu disampaikan oleh setiap guru pada umumnya sebelum upacara bendera berlangsung. Mungkin bagi sebagian siswa kalimat itu sangatlah mudah untuk didengarkan baik-baik serta dipatuhi. Namun, tidaklah bagi segerombolan siswa yang selalu nyaman dalam menempatkan diri diposisi nan paling belakang. Dicelah-celah tertentu pasti saja mereka saling bergurau satu sama lain. Mulai dari iseng melemparkan topi hingga meniup-niup kecil pundak teman terdekatnya. Tentu sahaja akibatnya mengundang canda tawa dan tanpa sadar merusak suasana keberlangsungan pengibaran bendera pusaka.

“DIAMMMMMMMMM...!!!” Teriak salah seorang guru dengan wajah nan dipenuhi kekesalan. Nafasnya terdengar tak beraturan. Matanya menjojol seolah ingin ikut serta mendukung memaki siswanya yang terus saja bergurau. 

Upacara bendera seketika terhenti sejenak. Jarang sekali momen seperti ini terjadi. Seluruh siswa terpaku dan saling menundukkan kepala, begitupun segerombolan siswa yang berada paling belakang. Mereka silih menyikut kecil satu sama lain saling menyalahkan. Suasana menegangkan itu berangsur lumayan lama, hingga keheningan mulai melebar mematahkan suara-suara, sampai-sampai semilir anginpun seolah menjauh dari tempat itu.

15 menit berlalu, sang bendera pusaka telah berkibar dengan gagahnya. Terlihat berani dan penuh kesucian dalam setiap kobarannya. Seluruh siswa kemudian dipersilahkan masuk ke kelas masing-masing, kecuali siswa paling sulung di sekolah itu, mereka dipisahkan di posisi sebelah kanan lapangan oleh Pak Suryono. Guru yang terkenal dengan tegasnya. Saking tegasnya dan juga ditakuti oleh seluruh siswa. Ia merupakan salah seorang yang tadi mampu membuat kesunyian tiba dalam sekejap mata.

Pak Suryono sepertinya salah seorang yang tampak sulit untuk bergurau. Bahkan semua orang jarang melihat dirinya tersenyum. Wajahnya memang sudah terlihat sedikit mengeriput, tapi disanalah tersirat bahwa ia telah berhasil mengajarkan pada siswanya untuk tetap menghormati profesinya sebagai pendidik. Nada bicaranya kokoh, siswa-siswa yang tadi dikumpulkannya pun mulai terlihat berkeringat karena cemas. Padahal, Pak Suryono hanya ingin berkata:

“Sampai jam istirahat tiba, kalian belajar di perpustakaan. Kelas kalian mau dipakai rapat. Karena ruang rapat sedang dalam perbaikan. Baca buku di sana. Jangan saling membaca satu sama lain nanti berakhir ribut dan mengganggu adik kelas kalian. PAHAM!”

Mendengar Pak Suryono berbicara seperti itu. Seluruh siswa kelas XII tak terlihat senang sedikitpun walau diberikan jam kosong, namun kepanikanlah yang justru masing-masing rasakan. Bagaimana tidak? Pak Suryono mana mungkin membiarkan siswanya memiliki waktu luang hanya dengan semata-mata. Pasti ujung-ujungnya ada pengumpulan tugas atau bahkan akan ada test dari setiap buku-buku yang telah dibacanya. Maka dari itu, seluruh siswa sepertinya harus benar-benar memahami akan buku bacaannya, untuk membekali kalau-kalau nantinya Pak Suryono memang meminta pertanggung jawaban dari masing-masing mereka.

Pak Suryono akhirnya meninggalkan lapangan untuk mempersiapkan rapat dengan guru-guru. Diikuti seluruh siswa kelas XII nan silih bubar berhamburan menuju ke arah perpustakaan. Terkecuali Lunar dan Irma yang tampak berjalan santai sekali.

“Lun kamu jalan duluan yah ke perpusnya. Aku mau ke toilet dulu, entar aku nyusul” Tutur Irma sembari berlari kecil meninggalkannya.

Alhasil Lunar berjalan seorang diri. Langkahnya terlihat amat hati-hati, tak seperti teman-teman lainnya. Sebab, ia sebetulnya hampir setiap hari rutin membaca buku-buku di perpustakaan. Lantas, dengan begitu mengapa harus takut. Lagipula, belum ada yang baru koleksi buku di sana.

“Sut...sutt...suttt...” Terdengar suara pelan laki-laki di balik gerbang pintu sekolah ke arah dimana Lunar sedang berjalan seorang diri.

Lunar menolehkan pandangannya ke arah samping, belakang dan hampir ke setiap sudut sekolahnya. Kemudian ia memastikan apakah laki-laki itu sedang memanggil dirinya dengan lebih mendekat ke arah gerbang tersebut.

#BRAKKKKK

*Suara tas dilemparkan melewati gerbang sekolah dan terjatuh tepat di dekat Lunar berdiri.

Laki-laki itu kemudian berkata:

“Aku titip tas dikamu yah, please banget. Aku mau loncat lewat pintu belakang sekolah biar gak ketauan.” Nada bicaranya tampak tergesa-gesa. Nafasnya tak beraturan.

“Taaa...T-A-P-I...” Jawab Lunar kebingungan. Wajahnya terlihat memendam ketakutan. Namun, sebelum banyak berkata-kata lagi laki-laki itu seketika menghilang dari pandangannya.

Laki-laki tersebut berlari cepat sekali dan dalam sekejap saja batang hidungnya tak terlihat sedikitpun dibalik gerbang itu. Lunar yang tidak ingin terbawa-bawa karena membantu laki-laki yang entah dari kelas mana dan entah jua kelas berapa. Seketika mempercepat langkahnya menuju ke arah perpustakaan dan sialnya dengan spontan tangannya tanpa sadar mengambil ransel yang tergeletak di bawah sana.

“Aduhhhh...kok malah aku bawa sih tasnya, gimana dong ini?” Gerutu Lunar setibanya di perpustakaan. Berhadapan dengan tumpukkan buku-buku di atas meja.

“Lah, tas siapa itu Lun?” Tanya Irma yang cukup mengagetkan Lunar saat itu.

“NGESELIN!” Jawab Lunar sambil meraih tangan Irma untuk mengambil alih ransel di dekatnya.

Seluruh siswa menoleh. Merasa terganggu karena kenyamanannya terusik oleh obrolan mereka. Beberapa menit setelahnya, seorang laki-laki bercirikan rambut dengan jambul kecil nan Lunar temui di gerbang tadi akhirnya tiba juga, ia tampak berdiri tegak di dekat pintu masuk perpustakaan tersebut.

Bibirnya tersenyum lebar sembari menatap sosok Lunar dan mendekat. Wajah laki-laki itu cukup tampan, warna kulitnya tak seperti siswa laki-laki lazim di sekolah itu. Bersih sekali dan mampu setanding dengan warna kulit Lunar. Baru kali ini, Lunar bahkan Irma sekalipun melihat sosoknya.

“Hay, makasih yah... Ohiyah kenalin namaku Ali, XII IPS-1” Tutur siswa berjambul itu. Ia mengasongkan tangannya tepat di depan wajah Lunar yang kebetulan posisinya sedang duduk. Sebelah tangan lainnya kemudian meraih tas ransel yang dipegang Irma.

Lunar tersenyum dan mengangguk pelan. Mungkin dalam hatinya kini tak penasaran lagi dengan pemilik tas hitam yang sedari tadi ia bawa-bawa. Selebihnya justru yang bertingkah agresif adalah Irma. Sesaat jabatan tangan dari Ali tak digubris oleh Lunar. Ia langsung saja meraih sambil wajahnya memperlihatkan ketidaksangkaan bahwa disekolahnya ternyata ada laki-laki setampan Ali. Namun, malang sekali nasib Irma. Walau tangannya saling berjabatan. Tetap saja sorot mata laki-laki dihadapannya itu tak lepas dari mata Lunar.

“Iya deh iyah...” Irma menghempaskan tangan cukup kencang.

           Ali dan Lunar menahan tawa dan berlanjut saling berjabat tangan dengan erat. Sorot mata keduanya tak henti-hentinya saling menatap. Bibir mereka saling tersenyum satu sama lain.

“Lunar...” Ungkap Lunar dengan suara nan bergetar.

“Aku udah tau kok nama kamu. Nama kamu banyak diomongin di sekolah” Pungkas Ali.

           “Astagfirullah...” Ujar Lunar sambil menghentikan jabat tangannya beserta memalingkan wajahnya dari sorot mata Ali.

Lunar pun seketika itu juga, langsung menarik tangan Irma untuk menemaninya pergi meninggalkan perpustakaan tersebut. Dan lagi-lagi sahabatnya itu senang sekali menggoda Lunar, badannya seolah tak ingin cepat beranjak. Malah Irma mencoba memindahkan posisi Lunar untuk lebih mendekat dengan posisi Ali yang duduk sembarang di atas meja.

           Lunar menggigit bibir merahnya. Sekujur tubuhnya pun sontak membeku dalam beberapa menit.

MASA BODO DEH.

Lihat selengkapnya