SEMUA TENTANG LUNAR

M Teguh Gumilar
Chapter #2

SESI #2 - BERANI MENGUNGKAPKAN

Seisi kota tampak serentak memunculkan kemacetan disetiap penjuru jalanannya. Berbagai uap panas dibalik kap mesin dari setiap kendaraan bermunculan tak tertahankan. Petugas-petugas lalu-lintas pun terlihat satu-persatu sibuk meniupi peluitnya. Mengatur dan mencari sebab sebuah kemacetan terjadi. Dipenghujung penglihatan sana ternyata yang menjadi penyebabnya. Ada satu sosok tergeletak tak berdaya di tengah-tengah jalanan kota.

Seorang pemuda yang masih lengkap dengan atribut sekolahnya sedang meringis kesakitan seraya berteriak minta tolong dibalik warga yang kian berkerumun mengitarinya. Seragam yang ia kenakan terlihat berlumurkan darah akibat sebilah pisau nan nampak tertancap diperutnya. Raut wajah pemuda itu kian waktu kian terlihat memucat. Sorot mata yang seperti mulai kabur, berlanjut pendengaran samar-samar. Telat sedikit, bisa-bisa hilang di tempat nyawanya.

Untungnya, sigap sekali para petugas medis saat dihubungi oleh para pengendara dijalanan sana. Dalam beberapa menit sahaja, mereka sudah tiba di tempat kejadian. Sontak pemuda itupun langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk diberikan penanganan secepat mungkin.

Salah seorang polisi yang mendampingi ke sana, tampak memeriksa satu-persatu barang pribadi dari pemuda tersebut. Sebuah ponsel tentu yang pertama kali ia tuju. Polisi berbadan kekar itu memilah-milah kontak siapa yang harus ia hubungi. Dan beberapa saat kemudian, sebuah nama bertuliskan KAKAK CANTIK adalah nomor yang pertama kali dihubungi.

Hingga tak lama setelahnya, suara langkah kaki kian terdengar. Semakin cepat langkahnya semakin pula menunjukkan bahwa nomor kontak yang polisi hubungi, benar-benar sanak saudara dari pemuda korban penusukkan dijalanan tadi, sebab dengan melihat gerak-geriknya nan penuh kecemasan itu sudah dapat teryakini bahwa dirinya pasti memiliki ikatan bathin.

“Dimana adik saya Pak?” Ujar seorang wanita berparas cantik yang terlihat mengenakan pakaian kantor.

“Tenang dulu mbaknya yah, adiknya sudah ditangani kok.” Jawab polisi tersebut.

“Mbak, silahkan tunggu disini.” Ujar kembali seorang polisi berbadan cukup kekar.

Wanita itu menangis terisak-isak setelah mendengar penjelasan dari polisi bahwa adiknya telah mengalami penusukkan oleh seseorang saat hendak pulang dari sekolahnya. Tim kepolisian pun akan bertindak secepatnya mengejar pelaku tersebut. Hanya saja sebelum mereka melakukan itu, ia menanyakan beberapa hal kepada wanita itu apakah adiknya mempunyai masalah dengan seseorang, karena cukup diherankan bahwa selepas penusukkan tadi, tak ada satupun barang dari pemuda itu yang hilang. Lantas, kejadian ini bukanlah merujuk pada perampasan barang. Namun, polisi juga tak bisa gegabah, maka dari itu perlu laporan yang lebih jelas dari pihak korban untuk membantu penulusuran lebih lanjut.

“SAUDARA ALI...” Teriak salah seorang Dokter yang keluar dari ruangan UGD.

Wanita cantik nan tampak memiliki rambut sebahu itu seketika cepat-cepat menghampiri. Wajahnya basah dipenuhi air mata dan berjalan mendekat sembari berusaha menghapus tangisnya.

“Bagaimana keadaannya, Dok?”

“Ohiyah perkenalkan, nama saya Bunga, saya kakak kandungnya dari saudara Ali, Dok.” Sambung wanita cantik berambut sebahu. Gelagatnya terlihat sekali berusaha ingin cepat menemui adiknya di dalam ruangan.

“Baik mbak, silahkan masuk...” Dokter membukakan pintu ruangan UGD.

Pintu terbuka lebar berbarengan dengan sosok Bunga nan langsung berlari mendekati sosok pemuda yang telentang di atas kasur.

“Dek...” Lirih Bunga sesaat melihat pemuda itu berbaring di atas kasurnya. Suaranya amat bergetar sekali. Matanya bergelinang air mata.

“Aku gapapa kok Kak, kakak udah bayar administrasinya belum? Maen masuk aja!” Ali berusaha menarik selimut, menutupi perutnya yang dibalut dengan beberapa helai perban.

“Hussssss... enteng banget bibir kamu yah bilang gapapa! Udah gila, tadi ini pisau asli loh bukan mainan yang nancep diperut kamu tuh.” Jawab Bunga dengan nada tinggi.

“Iyah emang asli, tapi bodoh Kak pelaku yang nusuknya. Kayaknya amatir deh dia, soalnya tadi Dokter bilang tusukkannya emang gaterlalu dalem banget.”

Polos sekali jawaban pemuda itu. Jelas-jelas ini sudah termasuk tindakan kriminal, ia bisa-bisanya masih bercanda pada Bunga. Padahal, kakaknya itu selama perjalanan menuju ke Rumah Sakit sudah berpikir kemana saja tentang kondisi adiknya tersebut.

“Rasain nihhh amatiirrrrrrrrrrrrr,” Bunga memukul kecil perut adiknya.

“Awwwwwwwwwww... sakit Kak!!” Ali memegang perutnya seraya membalikkan badan.

“Ehh...ehhh...Maaf! Dokter tolong dok.” Bunga tampak tegang dan berusaha memanggil kembali Dokter yang tadi menangani adiknya itu.

Dokter pun sontak datang dengan tergesa-gesa. Ia takut kalau-kalau perban yang diikat tadi terlalu kencang atau ada yang salah dari penangannya. Belum lagi memang Bunga terlihat begitu cemas saat memanggilnya. Namun, sesaat Dokter tersebut datang ke ruangan. Ia terlihat kesal dan berbicara tegas pada Bunga untuk tidak bermain-main saat berada di area Rumah Sakit.

“Hahaha... Rasain tuh dimarahin Dokter.” Ali menyentuh hidung Bunga dengan jarinya.

“Wahhhh... bener-bener udah gila ini anak yah!” Kedua mata bunga yang berwarna cokelat terlihat menyembul mengarah pada sosok pemuda itu.

Selepas menertawai kakak perempuannya nan cantik. Ali berusaha membangunkan badan. Walau terlihat kesakitan, ia dengan sekuat tenaga mencoba beranjak dari kasurnya dan meminta untuk segera diajak pulang. Bunga pun menggelengkan kepala berulang kali. Lagi-lagi adiknya itu melakukan hal yang kurang normal. Ia juga melepaskan pakaian pasien yang serba hijau itu untuk segera digantikan kembali oleh baju seragamnya. Namun, melihat kondisi pakaiannya nan lusuh, juga berlumurkan darah. Bunga tentu tak menyetujuinya dan berkata:

“Sabar dulu dek, kamu tunggu di sini sebentar aja! Kakak mau urus administrasi sama mau pulang bentar bawa salin baju buat kamu yah.” Bunga mengelus pipi adik laki-lakinya.

Bunga pun berlalu pergi meninggalkan ruangan tersebut. Walau kondisi adiknya memang tak terlihat begitu parah, tetap saja hatinya begitu sedih. Bak sebuah luka yang disirami oleh segelas anggur dalam sekejap mata. Ia menangis terisak-isak saat di belakang Ali. Dalam benaknya bertanya-tanya bagaimana bisa orang dengan teganya melakukan hal sekejam itu pada adik laki-lakinya, dengan melihat selama ini Ali seringkali memberikan hiburan dari sikapnya yang konyol.

Hari demi hari mulai berganti. Pagi berganti malam. Musim silih berganti dari penghujan menjadi kemarau. Semuanya memang tergantikan. Namun, ada satu hal dalam benak Lunar yang sulit tergantikan, ialah sosok Ali Ganda sang pemilik jambul kecil. Sudah beberapa hari ini ia tidak terlihat batang hidungnya sedikitpun di sekolahan. Tentu saja hal itu berpengaruh besar pada sikap Lunar yang terbilang tak perduli pada laki-laki.

Disela waktu ke waktunya, Lunar tampak memerhatikan setiap sudut sekolahnya. Bahkan lebih jauhnya lagi, Lunar mulai merindu dengan kehadiran laki-laki nan kemarin pernah bernyanyi di depan kelasnya sampai Pak Suryono dibuat kesal.

Kala itu genap satu minggu sosok Ali tidak hadir di sekolahnya. Hingga upacara bendera pun telah kembali menemuinya. Lunar pikir Ali pasti telat masuk seperti minggu lalu saat dimana ia pernah dititipi tas miliknya yang memang membuatnya cukup kesal juga.

“Tess...Tesss...” Pak Suryono mengetuk-ngetuk mikrofon.

“Ada sedikit kabar kurang baik menimpa anak didik saya yang juga teman kalian, bahkan bisa dikatakan saudara kita semua. Diharapkan seluruh siswa untuk diam sejenak.” Sambung Pak Suryono sembari terus mengusap wajahnya menahan tangis.

Kondisi upacara begitu hening tak seperti biasanya. Suasana yang terasa lebih mencekam berbanding minggu lalu saat Pak Suryono berteriak marah-marah, memang begitu pekat pada hari itu. Bahkan, Robi dan gerombolan teman-temannya yang selalu berada di posisi belakang terlihat tak banyak tingkah dan mulai bertanya-tanya maksud perkataan dari gurunya tersebut.

“Pihak sekolah telah menerima kabar bahwa salah satu dari teman kalian menjadi korban penusukkan oleh seseorang saat hendak pulang sekolah minggu kemarin.” Pak Suryono berbicara dengan bergemetar. Kedua matanya berkaca-kaca. Meminta seluruh siswa untuk berdoa bersama.

 “SIAPA PAK? SIAPAAAAAA?” Gemuruh seluruh siswa.

Pak Suryono menghela nafas panjang. Kedua tangannya bergerak seolah menyuruh seluruh siswa tidak menjadi gaduh. Hingga beberapa menit berlalu, Pak Suryono dengan beratnya berucap kembali:

“Ali Ganda, Kelas XII IPS-1. Mari semua menundukkan kepala mendoakannya agar segera lekas sembuh dan dapat kembali bergabung bersama kita semua disini.”

INALILLAHI...

Tubuh Lunar seketika melemas saat mendengar kabar tentang laki-laki yang sempat ia cari mengalami kejadian nahas seperti itu. Memang benar kepenasarannya kini terpecahkan, namun bukan kabar semacam ini yang sejatinya ingin terdengar ditelinganya. Sungguh begitu pedih rasa dihatinya. Begitu sulit menahan air matanya. Tingkah lucu laki-laki itu pula kini terbayang dalam isak tangisnya. Hingga menit berikutnya semua seolah menjadi gelap. Lunar tak sadarkan diri.

Irma memeluk tubuh sahabatnya sebelum terjatuh. Untung saja ia sergap, kalau tidak bisa-bisa Lunar terbentur cukup keras. Sontak Irma pun berteriak-teriak. Meminta pertolongan untuk segera membawa Lunar ke ruangan UKS sekolah.

15 menit berlalu.

Lunar mulai membukakan matanya perlahan-lahan. Seketika itu ia langsung kebingungan karena badannya tengah menghadap ke arah langit-langit sebuah ruangan. Di sampingnya terlihat sosok Irma yang terus menggosokkan minyak aroma terapi ke bagian hidungnya.

“Lun... kamu kenapa? Belum sarapan yah makanya bisa pingsan.”

“Hah... emang tadi aku pingsan, Ma?” Lunar membangunkan badannya dengan sekaligus. Sembari membenahi hijabnya yang mulai melonggar.

“Iyah tadi kamu pingsan tau! Huhhhh... berat tau aku ngangkat badan kamu kesini. Untung aja dibantuin sama guru-guru.” Irma mengerutkan wajahnya.

Lunar diam sejenak. Sorot matanya menatap lurus dan kosong. Sebuah lamunan pada sosok laki-laki berjambul kecil menjadi alasan utamanya ternyata.

Astagfirullah... yaudah kuyy Ma kita ke kelas, pasti udah ketinggalan jauh nih pelajaran.” Lunar menampar pelan wajah cantiknya itu guna benar-benar menyadarkan dirinya.

“Kuyyyyy... tapi ke kantin aja deh, gausah ke kelas. Soalnya semua guru lagi pada pergi, katanya mau pada jenguk si Ali, Lun!” Irma merangkul sahabatnya.

“Oooo...gituuu yah.” Jawab Lunar dengan nada melemas.

“Udah gausah keterusan sedihnya ah, Ali udah gapapa kok. Barusan Robi udah vicall sama dia. Aku liat sendiri malah dia kayaknya lagi maen-maen gitar deh. Kagak keliatan sakit-sakitnya.” Irma berusaha meyakinkan. Mengelus pundak Lunar.

Angin segar datang menyapu wajah.

Penantian Lunar kembali berkobar. Bak seorang pekerja nan setia berangkat menukarkan waktunya demi lembar-lembar rupiah. Seberat apapun terpaan dalam setiap pekerjaannya, semua dapat berbanding dengan cintanya terhadap keluarga yang harus terpenuhi kebutuhannya. Namun, di sisi lain Lunar juga enggan mengunjuk gigikan terus kesedihannya terhadap laki-laki berjambul kecil itu. Sebab ia teringat kembali pada ucapannya ke Irma dahulu, perihal niatnya ke sekolah itu yang tak lain adalah karena mencari ilmu bukan mencari pilu.

Pukul 12.00

“Permisi...Assalammualaikum,” Pak Suryono melirikkan kepalanya ke setiap sudut sebuah rumah. Tangannya sembari terus menggoyangkan gagang selot pagar besi berwarna hitam.

“Gimana Pak? Ada orang gak? Apa masih pada di Rumah Sakit gitu?” Tutur seorang guru lainnya yang sedang memangku sepaket parsel buah-buahan.

“Ada kayaknya Bu. Enggak mungkin di RS ah, saya tadi udah chat kakaknya juga. Katanya Ali emang udah di rumah.” Dialek khas jawanya Pak Suryono kini terdengar jelas.

Sinar mentari terasa begitu terik menyorot tepat di atas kepala guru-guru yang berdiam di depan pagar besi sebuah rumah. Rasa pegal karena berdiri lama akhirnya terbayarkan setelahnya. Dari arah belakang, terlihat mobil sedan mendekat. Tampak jelas pengemudinya adalah Bunga. Ia lantas, terkocoh-kocoh turun dari mobilnya seraya menghampiri beberapa guru di depan rumahnya itu.

“Bapak-Ibu guru, waduh maaf kelamaan nunggunya yah,” Bunga menjabat tangan. Seraya membukakan pintu pagarnya.

“Mari Bapak, Ibu masuk...” Bunga melebarkan sebelah tangannya, mempersilahkan guru-guru masuk duluan.

Bunga terlihat mengenakan pakaian semi formal dengan nuansa warna serba hitamnya. Ia tampak begitu berwibawa di hadapan guru-gurunya Ali.

“Pantes aja si Alinya ganteng. Kakaknya juga bening benerrrrr...” Salah seorang guru muda berbisik pelan pada telinga Pak Suryono.

“Husssssssssss kamu tuh yaaa...” Pak Suryono sedikit menepis lengan guru muda tersebut.

#Jrenggg...Jrenggg...Jrenggg

*Suara alunan gitar terdengar nyaring

Lihat selengkapnya