SEMUA TENTANG LUNAR

M Teguh Gumilar
Chapter #3

SESI #3 - BERANI BERTINDAK

Hembusan syair berselesa menetap dan terbentuk menjadi sebuah lagu. Diikuti oleh arus nada kian merdu di antara gemerencang suara pedang dalam lubuk hati setiap penggembala cinta. Dibuahi oleh pena nan senantiasa menggoreskan setitik demi setitik tinta hitam hingga terlahir eloknya sebuah aksara. Hampir satu jam lamanya Ali duduk di kursi ruang tamunya dengan gitar andalan yang serta merta seolah mengerti apa yang sedang ia rasa. Meja bundar berwarna cokelat dihadapannya pun terlihat berantakan. Sesak dengan lembaran kertas yang digulungkan. Namun, terdapat satu lembar yang masih bersitegak di sana dan dipandangi berulang kali olehnya disela-sela jemarinya nan terus memetik dawai gitar.

Kertas itu berisikan:

LUNAR

Jika saja waktuku ditambah lagi,

ingin sekali kujabarkan satu analogi.

Aku yang seolah menjadi pulau,

dan begitu juga engkau.

Tentu itu membuat kita sukar untuk bersatu,

 sebab ketidakmungkinan tak akan pernah berlalu.

Namun, bukan berarti aku menyerah.

lambat laun di sana tercipta secerca kisah.

Walau sang laut berusaha memisahkan,

aku yakin setelahnya terlahir sebuah jembatan.

Kuat, kokoh, dan abadi.

sebab, lapisannya berakar dari cinta nan teramat suci.


“Woiii...Ngapain sih dek?” Bunga menarik secarik kertas di atas meja.

“Lah...lah... jangan diambil kak!” Ali mulai bersikap tak tenang.

“Wawww... Puisi atau apaan ini jenisnya dek? Hahahaha keren-keren sih ini kata aku.” Bunga sesekali menganggukan kepalanya seraya terus memerhatikan kertas ditangannya.

“Aku ga ngerti sih ini jenisnya apaan, tadinya mau aku bikinin lagu, cuman susah banget kak nyari kunci gitarnya yang masuk kayak gimana enaknya. Ada yang gaenak gak sih, menurut kakak kalimatnya?” Ali meneruskan kembali memainkan gitarnya.

“Udah sih bagus kalau kata aku yah kalimatnya. Emang ini mau dipake kamu buat nembak cewek? Gokillll kalau iyah.” Bunga memainkan rambut Ali hingga berantakan.

*Kringgg...Kringgg...

#Ponsel berdering menyela pembicaraan

Ali menidurkan gitarnya di atas sofa . Ia menengok ke arah layar gawainya yang menyala seraya menunjukkan salah satu nama dari kontaknya. Setelahnya, ia sedikit menjauh dari ruangan itu seakan pembicaraannya tak mau terdengar oleh kakak perempuannya yang masih berdiam diri di sana. Bunga sendiri tak terlihat menyimpan keganjalan. Ia pun tak lama beranjak dari tempatnya duduk menuju ke arah dapur untuk menyiapkan santapan.

15 menit berlalu. Percakapan antara Ali bersama temannya yang menelpon berakhir juga. Selama pembicaraan tadi, wajah Ali terlihat marah sekali. Urat darahnya seolah kian mengencang, menahan sesuatu yang amat berat dalam hatinya. Kepalan tangannya yang disertai dengan segenap kekuatan besar seakan menambah kesan bahwa ia siap untuk memangsa.

“Arghhhhhhhhhhhhhhhh...” Ali berteriak histeris.

“Dek...Dek...kamu kenapa?” Bunga berlari menghampiri adiknya yang sedang menutupi wajahnya sembari menangis tersedu.

Ali menatap Bunga, tak bersuara sedikitpun. Ia seperti belum berani untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

“Maafin Ali kak.” Ali memeluk Bunga dengan erat.

Jemari Bunga mengayun-ayun di antara rambut adiknya. Ia berusaha menenangkan walau sebenarnya tak mengerti mengapa adiknya seperti itu. Padahal 15 menit yang lalu Ali masih baik-baik saja sebelum temannya menelpon dan entah berbicara apa.

“Kak, Ali pamit ijin keluar sebentar yah cari angin doang.” Ali mengangkat wajahnya dari bahu Bunga.

“Kamu mau kemana ini udah malem dek?” Bunga semakin khawatir. Ia berusaha menarik tangan adiknya.

Brummm...brummm...

Suara mesin motor yang ditarik-tarik terdengar jelas di depan halaman rumah. Malam itu rembulan pun terlihat pudar tertutup oleh awan-awan. Sebelum pergi, Ali sedikit menengokan kepala pada perempuan yang terus berusaha menahan dirinya seraya berkata:

“Jangan nangis mulu, CENGENG! Aku pergi bentar yah.”

Tak lama kemudian, Ali pergi meninggalkan Bunga yang masih berdiri di pelataran rumah. Ia melajukan sepeda motornya yang berwarna merah. Yang juga berarti seolah berani menghadapi apapun yang kan menghalanginya. Yang sekaligus menjadi kobaran semangat juangnya menjelma. Amat kencang sekali Ali dalam berkendara. Walau kondisi jejalanan tampak cukup ramai pada jam tersebut, tetapi ia sanggup tiba disuatu tempat tanpa menyita waktunya lama-lama.

Ali memarkirkan motornya tepat di dekat sebuah warung kecil yang tak jauh dari lokasinya bersekolah. Di sana terlihat ramai sekali orang yang seumuran dengannya saling bersenda gurau. Namun, seketika juga kehangatan mereka terpecah berantakan sesaat menyadari sosok Ali sedang menghampirinya.

“MANA SI ROBI?” Tanya Ali dengan nada membentak.

Semua orang yang memenuhi warung kecil itu seketika terdiam. Tak berani menatap ke arah sosok Ali yang kini tengah berdiri tegak dihadapan mereka.

“WOIIIIII... BUDEK KALIAN! DIMANA SI ROBI?”

Ali mulai kesal. Amarahnya semakin tak tertahankan, pandangannya berpindah-pindah pada masing-masing wajah yang berkumpul di sana. Hingga akhirnya ia mendekati salah seorang laki-laki yang mengenakan topi berwarna merah, seraya berkata:

“MAU CARA BAIK APA HARUS ADA KONTAK FISIK DULU?”

Laki-laki yang mengenakan topi merah itu terlihat seperti salah seorang yang menjadi penanggung jawab atas perkumpulan tersebut. Namun, entah mengapa, orang itu terlihat ketakutan sekali sesaat Ali berbicara padanya.

“Tangan kanan si Robi macam beginian, hah?” Ali menarik kencang baju laki-laki bertopi merah itu.

Situasi di sana kian terasa mencekam. Sosok Ali lah yang menjadi penyebab utamanya. Laki-laki berdarah dingin itu memang ditakuti oleh orang-orang karena cerita-cerita apapun yang berkenaan dengan keributan, selalu saja dirinya terlibat di dalamnya.

“Ampun AL, kita bener-bener gak tau masalah ini.” Jawab laki-laki bertopi merah itu. Suara dan gerak-geriknya bergemetar hebat.

“Masalah apaan anjing!! Gua belum ngomong apa-apa juga.” Wajah Ali semakin mendekat padanya.

#Brummm...brummm... Brummm...brummm... Brummm...brummm...

*Suara beberapa motor bergemuruh

Wajah laki-laki bertopi merah itu semakin memucat. Keringat dinginnya bercucuran sulit tertahankan, sesaat motor-motor tersebut berhenti di dekat warung kecil tersebut.

“ALI...!!!” Teriak salah seorang wanita yang datang dengan gerombolan bermotor.

Ali membalikan pandangan menuju wanita yang memanggilnya. Tangannya yang semula menarik kencang kerah baju laki-laki bertopi merah itu, akhirnya dilepaskan juga. Nafasnya diatur sedemikan rupa. Pun sejenak ia menutupkan matanya. Kemudian ia menghampiri wanita tersebut dan berbisik. Tak terdengar sama sekali apa yang telah mereka bicarakan. Namun, sesekali mereka melihat ke arah orang-orang yang terlihat menunduk di dekat warung kecil itu.

Wanita yang kini berdiri di samping Ali. Terlihat memiliki rambut berwarna pirang. Postur badannya tinggi kecil. Parasnya cantik, akan tetapi jelas sekali perbedaan umurnya yang tampak lebih dewasa dari Ali.

“Yaudah sekarang kamu pulang yah udah malem.” Tutur halus wanita berambut pirang itu sembari memegang tangan Ali.

“Mbak Cindy aja duluan. Aku masih ada urusan.” Ali terlihat masih bersikeras.

Cindy tak menyerah begitu saja. Ia kemudian memikirkan cara agar Ali cepat-cepat pulang karena hari sudah semakin malam.

“Kalian pulang duluan aja. Aku nanti barengan Ali.” Ujar Cindy pada gerombolan motor tersebut, seraya mengambil helmnya yang menggantung di atas salah satu motor besar.

Ia kemudian menatap pada Ali yang terus memerhatikannya. Bibirnya tak kuat untuk tidak tersenyum pada laki-laki yang usianya lebih muda tersebut. Salah tingkah sekali Cindy sepertinya. Maklum saja, hatinya sudah direbut oleh Ali saat pertama kalinya ia berkunjung ke rumah bersama dengan Bunga. Masalah umur, memang lumayan beda beberapa tahun di antara mereka berdua. Namun, setahu Cindy, tidak ada senioritas dalam perihal cinta. Kebebasan berekspresi memang tidak hanya tertuang dalam ruang lingkup seni saja. Dalam cinta pun kebebasan mengekspresikan perasaan demikian sangat berlaku ternyata.

Cindy merupakan sahabat karib Bunga semasa kuliah hingga saat kini mereka menjalani pekerjaan yang sama di sebuah perusahaan motor besar. Berkat jasanya lah Bunga dapat bekerja dengan posisi enak di sana. Sebab, ayahnya memang cukup berpengaruh dalam dunia motor besar. Jadi bukan hal yang sulit untuk dirinya meminta sahabatnya bekerja di tempat tersebut. Namun, jika teringat kembali pada zaman dahulu. Cindy selalu tersenyum-senyum sendiri. Sebab, andai saja dulu dia tidak pernah berkenan mampir ke rumah sahabatnya itu. Mungkin, sosok laki-laki muda dan tampan yang kini dihadapannya takkan pernah mampir dalam kehidupannya.

“Mbak mau pulang bareng aku?” Ali menepuk jidat seraya menghela nafas panjang.

“IYA! Yuk kita berangkat sekarang aja. Tapi cari makan dulu yah, aku gakuat laper.” Ujar Cindy yang terkesan manja.

“Iyah...” Jawab singkat Ali sembari berlalu mengambil sepeda motornya.

Ali menyalakan sepeda motornya, diikuti oleh Cindy yang langsung naik tanpa menunggu diajak. Udara segar bagi orang-orang yang berkumpul di warung kecil tersebut mulai terasa, karena mencekam sekali jika sosok Ali berlama-lama di sana. Buktinya, tadi saja walau dalam waktu yang singkat, segerombolan bermotor besar datang menghampirinya, seolah menjadi bala bantuan untuk Ali yang memang bernyali besar memaki semua orang dengan seorang diri.

Roda berputar melewati jejalanan yang terkadang halus serta tak jarang juga rusak. Tangan Cindy terlihat melingkar di antara tubuh Ali. Namun, sesekali juga Ali bereaksi sedikit menjauh dari tubuh wanita di belakangnya yang berupaya semakin mendekat. Mungkin ia merasa sungkan karena bagaimanapun Cindy adalah teman dekat kakaknya.

Jam menunjukan pukul 22.00.

Tibalah mereka disalah satu tempat makan kaki lima. Wewangian sedap dari kepulan asap ayam yang dibakar seolah menyambut hangat kedatangan mereka. Padat sekali orang-orang yang makan di sana, sampai-sampai Ali terlihat kesulitan mencari lahan untuk memarkirkan sepeda motor kesayangannya.

“Mbak...” Tutur Ali saat motornya berhenti di depan gerobak pedagang kaki lima tersebut.

“Ya?” Jawab Cindy dengan nada khasnya yang manja.

“Mbak turun duluan yah, cari tempat duduk. Takutnya keburu diisi orang. Aku mau nyari tempat parkir dulu. Disini penuh soalnya, mau nyari belah sana” Sambung Ali sambil menengok-nengokan pandangannya ke arah dalam tempat makan tersebut.

“Okay... tapi awas loh yah, kamu kabur ninggalin aku disini sendirian!” Cindy turun dari motor. Membuka helmnya dan kemudian diberikan pada Ali.

“Masa iyah sih, aku ninggalin mbak.” Ali tersenyum seraya mengaitkan helm di kaca spion motornya.

Setelahnya, Ali melajukan kembali sepeda motornya perlahan sembari pandangannya tak henti-henti mencari tempat yang kosong untuk memarkirkan sepeda motornya. Namun, di ujung jejalanan sana ternyata jawaban dari petugas parkir sekitar terdapat lahan kosong untuk dirinya. Tanpa banyak berpikir lagi, Ali menghampiri tempat tersebut. Kasihan juga Cindy takut menunggu lama jika ia harus mencari tempat lain.

“Kamu pakai jaket aku ajayah, udah malem. Dingin soalnya.” Terdengar suara laki-laki yang sedang berjalan melewati tempat dimana Ali memarkirkan motornya.

Lihat selengkapnya