SEMUA TENTANG LUNAR

M Teguh Gumilar
Chapter #4

SESI #4 - BERANI MENGAMBIL RESIKO

Wuusss...gerbong kereta melintas kian cepat melintasi proses pemuaian sebuah rel besi nan panjang. Melewati orang-orang nan dibatasi jarak oleh palang cukup besar. Mengundang lamunan sejenak pada setiap terpaan angin yang menerjangnya.

“Gilaaa...bisa gila gua.” Gumam Robi di balik helm Fullface miliknya.

Seandainya dulu ia tak senekat itu dalam membantu perjuangan sebuah cinta. Mungkin perasaannya akan sedikit lebih tenang dari saat ini. Gelagat Robi salah tingkah sekali berdiam di atas motornya untuk menunggu kereta melintas. Sebab, sedari tadi Robi menyadari kediamannya tampak diamati oleh beberapa orang di sampingnya. Ia pun berancang untuk menarik gas motornya dengan cepat selepas palang besar itu tak menghalanginya lagi.

*Persetan dengan keselamatan!

#Brummmm... Robi menancap gas motornya.

Selama dalam perjalanan Robi tak henti-hentinya melihat ke arah belakang melalui kaca spion. Memastikan orang-orang tadi tidak lagi mengikutinya. Namun, kian berdetak hebatlah jantungnya sesaat melihat bahwa orang-orang tadi semakin bertambah banyak jumlahnya, mereka terlihat mengenakan motor-motor besar dengan dipimpin oleh seorang wanita. Nahas sudah posisi Robi saat itu, jikalau ia berusaha menghindar pun akan terasa sulit sekali karena sudah pasti akan terkejar oleh mereka.

Akhirnya, Robi berniat membelokan laju motornya ke arah sekolahnya yang memang kebetulan tidak jauh dari keberadaannya saat itu. Sebab, dengan begitu ia merasa sedikit aman karena tak mungkin gerombolan motor besar itu berani masuk ke dalam lingkungan sekolah. Dan benar saja dugaannya, motor-motor itu berhenti seketika. Robi memastikan sendiri dengan melihat ke arah belakang sesaat ia sudah tepat berdiam di depan gerbang sekolahnya itu.

“Aman...” Lirih Robi dengan dengusan kencang.

Setelahnya, ia masuk dan memarkirkan sepeda motornya. Kemudian Robi berjalan menuju ke arah dimana sebuah pohon besar berdiri tegak. Disana ia mengeluarkan gawainya dan menelpon seseorang dengan berkata:

“Gua udah bilangkan, jangan macem-macem sama si Ali. Sialan, gua sekarang yang kena getahnya! Bangsat lu!!!!” Wajah Robi memerah. Intonasinya pun tinggi sekali.

Kesal sekali sepertinya perasaan Robi. Ia terlihat mematikan ponselnya tanpa mendengar lebih lanjut penjelasan dari seseorang yang hendak bercengkrama melalui telponnya. Tak mungkin ada asap kalau tak pernah menyalakan api. Itulah kira-kira yang Robi tanamkan dalam benaknya baik-baik.

“NAK ROBIIIIIIIIII...” Teriak salah seorang guru memanggil dari arah kejauhan yang juga terlihat berdampingan dengan beberapa orang dari kepolisian.

Raut wajah Robi yang tadinya menyimpan kekesalan pun akhirnya berubah menjadi pucat dan ketakutan, sesaat melihat ke arah Pak Suryono yang tepat berdampingan dengan beberapa orang dari kepolisian. Dan juga tak lama kemudian terdapat seorang wanita datang menghampiri mereka seraya menunjuk ke arah dimana Robi berdiri dan entah berbicara apa padanya. Yang jelas, setelah itu para anggota kepolisian seolah bergegas untuk menangkap Robi. Namun, sebelum itu terjadi laki-laki berbadan tinggi besar itu mencoba menghindar dan berusaha berlari masuk lebih dalam ke area sekolahnya yang kebetulan ramai sekali karena sedang mengadakan pensi sekolah.

Kelas demi kelas nan berada dilantai bawah maupun lantai atas Robi singgahi satu-persatu dengan secepat mungkin. Ia memang menyadari tidak ada jalan lain untuk kabur dari penangkapan dirinya. Namun, ternyata bukan itu alasannya memutari seisi sekolahnya.

“Robiiiii... kamu kemana aja sih?” Ujar salah seorang wanita di salah satu kelas yang Robi singgahi.

“Aku gak punya banyak waktu buat ngobrol. Sekarang dimana si Ali, Ma? Kasih tau aku” Mata Robi tampak berkaca-kaca.

“Ada apa sih Rob?” Jawab Irma terkejut melihat beberapa polisi yang mulai berdatangan.

“Ali lagi ada di lapang Rob, dia lagi tampil soalnya.” Sambung Irma kembali dengan nada terbata-bata.

Robi menelan ludah. Melihat anggota polisi itu kian mengikuti kemanapun ia berpindah tempat. Keringatnya terlihat bercucuran tak tertahankan. Kakinya lemas sekali untuk berdiri. Ia pun dengan sekuat tenaga mencoba berkata pada kekasihnya itu:

“Maafin aku... tapi sumpah bukan aku yang nusuk Ali, Ma!” Robi memegang tangan Irma.

Setelahnya, dua orang dari kepolisian itu berdiri tegak menjepit tubuh Robi dari kedua samping. Mereka tersenyum menatap sosok Irma di hadapannya yang tampak mulai meneteskan air mata. Tidak terlihat sama sekali adanya penjemputan paksa, semuanya terlaksana sebijaksana mungkin. Bahkan, reaksi Irma yang membabi buta menyingkirkan para anggota polisi dan juga meminta agar Robi diberikan waktu untuk menemui Ali pun sepertinya bukan menjadi masalah besar bagi mereka menyetujuinya.

Seolah tak ingin memakan waktu lama lagi. Robi mulai melangkahkan kaki lebih cepat dari sebelumnya saat meninggalkan kelas tersebut. Melepaskan egonya untuk membela diri dari kesalahan dan tak akan berkelit menjelaskan dengan sejujur-jujurnya perihal tragedi penusukan terhadap Ali. Hingga sesampainya di depan laki-laki berciri khas rambut berjambul kecil, Robi rela bersimpuh dikedua kakinya seraya berkata:

“Al, maafin gua yah. Gua gak tau kalau orang yang nyerang lu bakalan nekat sampai nusuk lu!” Ujar Robi sembari meraih kedua kaki Ali. Bahasa tubuhnya seakan pasrah dengan reaksi Ali terhadapnya.

*DAKKKKKKKK...

#Suara benturan kaki Ali pada tubuh Robi.

Robi tersungkur dari posisinya semula. Marah sekali sepertinya laki-laki berjambul kecil itu, tendangan nan bertenaga kuat tepat sekali mengarah pada bagian dada Robi. Sudah pasti rasa sakit tertuai di sana. Namun, ia memaklumi reaksi spontan dari temannya itu tak lain adalah sebuah kekecewaan mendalam kepadanya sendiri. Lantas, Robi pun harus rela menerima apapun yang akan Ali lakukan. Hingga beberapa menit berlalu, ia terkejut dengan kedatangan kekasihnya secara tiba-tiba untuk membela serta memberanikan berseteru dengan Ali.

“MA... Maafin akuu! Ini semua emang salah aku kok, bukan salah Ali.” Robi memegang tangan Irma. Mengusap tetesan air mata wanita di sampingnya dan tersenyum.

Robi mengangkatkan tubuhnya dengan dibantu oleh Irma dan beberapa polisi yang sudah berdiam di sana. Sebelum, pertikaian semakin memanas hingga merusak suasana kebahagiaan para siswa sekolah tersebut, Robi akhirnya dibawa untuk diperiksa lebih lanjut tentang tragedi nahas penusukan pada Ali waktu itu.

“Kamu tenangin diri disini aja dulu yah.” Bunga mengusap bahu Ali.

“Enggak...ayok kita beresin sekarang aja Kak!” Jawab Ali seraya menghela nafas panjang.

Wajah Ali terlihat menghadap ke atas, dimana awan-awan putih berani membentang pada luasnya sang cakrawala. Kepalan tangannya semakin membulat sempurna bak sebuah bola biliar yang siap sedia menyundul bola-bola lainnya. Cukup lama ia bersikap seperti itu, hingga ia baru menyadari sosok Lunar sudah tak lagi di sana. Mungkin ia sengaja pergi menjauh diajak oleh Alvi yang memang notabenenya tak ingin terlibat dalam permasalahan orang lain.

Tak lama setelahnya, Cindy tampak menghampiri Ali. Sosoknya anggun sekali saat sedang berjalan. Rambut panjang nan terurai dan tertiup angin silir-semilir menambah kesan keelokan aura dari seorang wanita. Pula warna kulitnya nan terbilang sangat putih bersih seolah dengan mudahnya memantulkan kembali cahaya mentari yang menyorotinya. Sungguh menarik perhatian sekali kehadiran wanita dewasa ini pada ruang lingkup sekolahan, sampai-sampai seluruh sorot mata terutama siswa laki-laki kini hanya tertuju ke arah dirinya seorang.

“Lohh kok? Sama siapa kesini mbak?” Ali menunjuk ke arah Cindy. Berusaha memberikan senyuman terbaiknya. Membulak-balikan pandangan pada Bunga dan Cindy.

“Tadi sih sama anak-anak Al, tapi mereka udah aku suruh pulang duluan.” Tutur Cindy sembari berpeluk-pelukan akrab bersama Bunga.

“Cin... Aku mau pergi ke kantor polisi duluan. Kamu bisa nolongin aku buat si kunyuk ini bisa lebih tenang gak?” Sambung Bunga sembari memainkan rambut adiknya tersebut.

“Oohhh Bunga mau jalan sekarang kesana? Yaudah biar nanti aku keramasin ni anak yah biar agak sedikit dingin kepalanya hahaha...” Gurau Cindy. Matanya tak terlepas dari sosok laki-laki di hadapannya.

Udara sejuk kembali terasa dalam suasana ingar bingar pensi sekolah tersebut. Para siswa berulang lagi menjumpai gelak tawanya. Masing-masing darinya berusaha dialihkan fokusnya berdasarkan arahan terbaik oleh guru-guru di sana. Alunan musik pun diputarkan lagi guna merelaksasikan mental-mental siswa dari tragedi mencekam sebelumnya. Seluruh pengisi acara pula turut membantu akan lahirnya sebuah kehangatan dalam musim pendingin itu.

Sejak satu jam lamanya wewangian aroma sedap sebuah makanan mulai tercium dari setiap stannya. Sosok Lunar pula kembali terlihat berada di area lapangan bersama dengan kekasihnya. Namun, kali ini ada yang berbeda dalam bahasa tubuhnya. Ia seolah lebih berani secara terang-terangan mencari sosok laki-laki berjambul kecil itu di hadapan Alvi, dengan dalih ingin mencari tahu perkembangan masalah penusukan terhadap Ali waktu dulu yang berkaitan dengan Robi.

Kala itu sikap Alvi lebih dewasa dalam menanggapi keinginan kekasihnya itu. Walaupun dengan berat hati, ia akhirnya mengamini keinginan kekasihnya bertemu dengan Ali. Kebetulan jua laki-laki sang pemilik jambul kecil itu menurut kabar dari siswa-siswa lain dirinya memang masih berada di sekolah, tepatnya diruangan kelas XII-IPS 1.

Tanpa memakan waktu lama-lama lagi, Alvi dan Lunar berjalan bergandengan menuju ke ruangan tersebut. Alvi yang semula masih kesal dengannya, ternyata ikut terharu jua sesaat ia melihat saingannya itu melamun tak berkata-kata dalam diamnya bersama seorang wanita cantik di sampingnya.

Assamualaikum...” Lirih Lunar sembari mengetuk pintu kelas yang terbuka.

Tiada pedang tajam tanpa giatnya pengasahan. Tiada hati kuat tanpa tekunnya kepekaan. Kata-kata itulah nan terus bersemayam dalam benak Ali saat melihat kehadiran wanita idamannya bergandengan dengan lelaki lain. Bertubi-tubi sekali pesakitan yang ia dapat sepagi ini, mulai dari pengkhianatan rekan dekatnya, serta hancurnya asa untuk mendapatkan kebahagiaan. Ambisi Ali meraih sosok Lunar dalam hidupnya tak berkutik sedikitpun. Hingga waktu berjalan dengan cepat, ia berkata kepada keduanya:

“Maaf gua sering gangguin kisah cinta kalian. Antagonis banget peran gua dalam cerita kalian berdua. Selebihnya gua janji bakal buang jauh-jauh ego gua ini buat dapetin hati Lunar, Vi! Gua ngaku kalah sama lu.” Sebelah tangan Ali menarik secarik kertas di dekatnya, lalu ia kibarkan berulang kali.

Sehelai kertas putih itu menjadi bukti bahwa menyerah adalah sesuatu nan penuh kesucian  dengan berlatarkan sebuah ikrar dari seseorang yang tak mungkin diingkari. Ali Ganda, seorang laki-laki pemilik jambul kecil yang dikenal selalu pergi bersama dengan gitarnya mulai beranjak dari tempat duduk tanpa memerdulikan lagi sosok Lunar di dekatnya. Sampai tanpa sadar percikan air mata mulai turun dari indahnya bola mata wanita berhijab itu. Bibir Lunar memang terpaku membisu tak mengeluarkan kata sedikitpun akan tetapi hatinya justru bergumam:

Pleaseee... kamu jangan ngomong kayak gitu AL. Di sini aku salah karena enggak berani ngakuin kalau aku juga memiliki perasaan yang sama dengan kamu.”

Ali berjalan meninggalkan kelas itu sambil menggendong gitar akustiknya. Diikuti dengan Cindy yang seakan-akan merasakan jua suasana melankolis remaja. Mereka melangkah beriringan bersama tanpa adanya cengkeramaan. Sedangkan, sosok Alvi sendiri yang masih di sana dengan Lunar terlihat bingung sekali melihat kekasihnya menjadi murung dan perlahan-lahan menangis. Semuanya memang terjadi diluar kendali. Sebab, ia awalnya datang ke tempat itu bersama Lunar berniat membahas tragedi penusukan bukan justru seperti ini adanya.

Secerdik apapun pikiran Alvi dalam konteks pelajaran sekolah. Ia ternyata kikuk jua untuk memahami hati seorang wanita. Hampir satu jam setengah ia membiarkan kekasihnya itu menangis dan tak sedikitpun membujuknya. Padahal, saat ini adalah waktu yang tepat baginya menunjukan perhatian secara mendalam untuk benar-benar meraih hati Lunar seutuhnya. Akan tetapi, entah dirinya memang tak sampai pada pemikiran semacam itu. Lagi dan lagi Alvi justru lebih memilih kembali pergi ke lapangan sekolah untuk bersuka cita bersama teman-temannya tanpa memikirkan bahwa hal itu dapat membuat Lunar lebih menyesal karena telah memilih dia berbanding laki-laki berjambul kecil itu.

Apa daya diri Lunar saat itu. Selain rasa sesak di dalam dada, ia juga harus bisa menerima kenyataan bahwa sosok Alvi lah yang sudah ia pilih menjadi pendamping kisah-kasihnya untuk menjalani masa remaja. Pahit ataupun manis itu, tak lain adalah buah dari hasil rasa kasihannya menerima pernyataan cinta Alvi kepadanya tanpa dipikirkan berulang kali. Sungguh semua ini pasti menyiksa sekali batinnya, raga nan bersama orang yang tak dicintai sepenuh hati, sejatinya akan melahirkan kepura-puraan dalam menggapai kebahagiaan hidupnya kelak. Pula berkembang dan beranak-pinak menjadi sebuah kemunafikan pada setiap langkahnya.

Awan-awan hitam kian memenuhi seluruh isi kanvas langit disetiap penjuru kota. Warna-warna nan indah mulai memudar. Bara api terlihat silih menyambar lembaran demi lembaran kertas yang dikumpulkan dalam tong sampah kecil. Sang semesta pun seakan mendukung kemelut perasaan seorang laki-laki pemilik jambul kecil itu,dan seolah mengajak dirinya membukakan mata lebar-lebar kerana tak hanya wanita bernama Lunar seorang yang hidup dalam pijakannya.

“Kok dibakar?” Tutur seorang wanita sembari mengasongkan secangkir teh pahit.

Ali tersenyum kemudian. Menatap dalam-dalam kedua bola mata Cindy. Intens sekali sorot matanya, seolah mulai tersadar kehadiran wanita cantik berambut pirang itu selalu menemaninya ketika merasa gundah gulana seperti ini. Jantungnya pun mulai merasakan ada getaran yang aneh. Apakah dia mulai tertarik dengan sosok Cindy? Secepat itukah perasaannya beralih dari Lunar? Pertanyaan itu ternyata belum terjawab sedikitpun di pelataran belakang rumahnya itu. Sebab, pendekatan di antara keduanya terganggu dengan kedatangan Bunga yang secara tiba-tiba, selepas menyelesaikan perkara penusukan di kantor polisi.

“Hayolohh ngapain saling tatap-tatapan gitu? Entar pada cinta repotloh hahahahahaha...” Ujar Bunga sembari tertawa terbahak-bahak.

“Apasih Kak? Garing banget becandanya.” Ali menyeruput segelas teh hangat, malu.

Usia Cindy memang terhalang 6 tahun dengan usia Ali. Akan tetapi, bukankah ia tetaplah seorang wanita nan sukar menyembunyikan perasaan gembira, jika diperlakukan sedemikian halusnya oleh seorang laki-laki. Mulai dari gelagat yang tak nyaman bergerak kian kemari. Bibir nan tersenyum-senyum kecil. Juga jemari nan tak henti-henti dimainkan. Jelas sekali itu pertanda dari seseorang yang terbelit oleh indahnya percintaan. Kedua bola mata indahnya terlihat seakan-akan terus bersinar memancarkan cahaya, berharap ucapan indah terlontar dari mulut Ali sendiri dalam menyatakan cinta. 

“Eh jadi gimana masalah si Robi, Kak? Bener dia orangnya yang nusuk aku waktu itu?” Ujar Ali kembali. Mengalihkan suasana.

Lihat selengkapnya