SEMUA TENTANG LUNAR

M Teguh Gumilar
Chapter #5

SESI #5 - BERANI BERTANGGUNG JAWAB

Seruan api perlahan merambat pada setiap celah bebatangan kayu nan telah mengunggun. Membara dan meleburkan pelbagai serat pada kulitnya, hingga mendatangkan sebuah kehangatan melalui serpihan kosong dalam tiap abunya.

Malam ini, ada kegiatan berdoa bersama di sekolah!

Tepat pukul 19.00, tampak seluruh siswa kelas XII mulai memadati sisi demi sisi lapangan sekolah, mengelilingi api unggun nan terus menyala di tengah lapang. Bersenda gurau dan silih bercerita satu sama lain tentang pilihan yang akan diambil untuk kehidupan masing-masing kelak. Suasana seperti ini memanglah dapat bermakna ganda. Sebab, di sisi lain tentu ini menjadi detik-detik menyenangkan untuk bisa berbagi macam hal yang terbaik dalam menggapai cita-cita. Juga sekaligus menjadi momen mengharukan, karena setiap detik yang akan terlalui merupakan bagian terkecil daripada sebuah perpisahan itu sendiri.

Segala sesuatu nan timbul seperti isak tangis, canda tawa, kejenuhan, serta merta lainnya yang muncul dalam perasaan mungkin mustahil untuk menghilang dan melenyap. Namun, orang-orang dalam cerita itulah nan satu-persatu akan menjauh beserta segenap perasaannya bahkan hingga menghilang. Sejatinya, setiap manusia akan enggan untuk merasakan itu, karena perasaan nyaman nan telah bersemayam dalam menjalani setiap harinya terasa patut untuk dipertahankan. Padahal, kembali lagi pada hakikatnya bahwa semua itu hanyalah fatamorgana sahaja.

ACARA PUN DIMULAI.

Salah seorang guru nan mengenakan pakaian rapi beserta peci nan menempel di kepalanya, terlihat memimpin doa bersama dengan penuh kekhidmatan. Memunajatkan segala kelancaran dan kemudahan dalam mengerjakan sesuatunya kepada Sang Maha Pencipta, guna menentukan sebuah kelulusan dari seluruh siswa yang akan menjelang ujian nasional pekan depan. Dalam segenap kepasrahan pada diri masing-masing, harapnya semoga untaian kata-kata dalam doa tersebut dapat dikehendaki oleh Tuhan. Amiinnnn...

45 menit pun berlalu tanpa terasa, terlihat masing-masing dari mereka menghapus sisa-sisa air mata yang sedari tadi sulit tertahankan, di bawah langit nan semakin menghitam, di atas ubin nan semakin mendingin, dan di antara keheningan nan semakin terasa, keakraban seluruh siswa mulai tercipta. Salah seorang siswa laki-laki dengan rambut nan berjatuhan kini mulai mengambil alih posisi, menuntun teman-temannya untuk bernyanyi bersama, menyampaikan pelbagai rasa nan pernah tercipta di sekolah tercinta ini melalui setiap iringan lagunya.

“Malam ini, mungkin malam dimana kesedihan dalam diri kita mulai menampakan siapa dirinya. Menyibukan kalian untuk memikirkan bahwa sebuah perpisahan adalah hal yang paling keji. Sejatinya, ini awal dari kebahagiaan dalam perjalanan kita teman-teman. Mari kita berdiri dan mulai melingkar.” Teriak Ali sembari memegang gitar akustiknya.

Ali kemudian berjalan perlahan-lahan mengitari api unggun sambil memerhatikan wajah-wajah dari seluruh teman sejawatnya. Diikuti dengan jemarinya nan lihai memainkan sebuah lagu berjudul Sampai Jumpa ciptaan dari Endank Soekamti. Lantas, tanpa perlu diaba-aba lagi, hampir semua orang yang berdiri melingkarinya mulai menjabat tangan satu sama lain sembari ikut serta bernyanyi.

Suara-suara siswa itu mula-mula terdengar menggema jua, memecahkan keheningan suatu malam. Meleburkan segala permasalahan dalam logika dan memancarkan segenap rasa pada cinta. Kala itu, mereka semua tampak kompak. Tiada satupun nan malu-malu mengeluarkan tangisnya. Sebab, malam ini bisa menjadi prolog kecil dalam sebuah catatan hidup nan takkan pernah terulang kembali di masa-masa yang akan datang. Namun, dapat dibaca oleh renungan kecil nan berikutnya tertuang melalui dongeng untuk keturunannya hari nanti.

Nikmatilah sikap aroganmu, sifat egoismu, patah hatimu, semangat kecilmu, cinta monyetmu, juga kelabilanmu. Jangan terburu-buru menuntut diri untuk bertemu dengan proses pendewasaan. Sebab, ini memang sudah menjadi bagian awal dari proses itu sendiri. Mengapa? Karena suatu saat nanti kamu akan berpikir bahwa kenyataan dari semua ini, belum ada apa-apanya berbanding dengan cerita-cerita yang akan kamu lalui satu-persatunya. Percayalah kawan! Nikmatilah masa mudamu. Dan senantiasa ingat untuk tidak terburu-buru menemukan kedewasaanmu sendiri, karena jika sudah waktunya jua semua akan berada dalam genggamanmu. -ALI GANDA (Api Unggun 2020.)

Kegiatan pun berakhir pukul 22.00 sesuai jadwal. Seluruh peserta kegiatan doa bersama diwajibkan istirahat, mereka ditempatkan dalam beberapa kelas dengan pemisahan ruang antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. Masing-masing kelas didampingi oleh gurunya dan sebagian guru lainnya bertugas menjaga api unggun sampai padam serta berlanjut berjaga memutari wilayah sekolahan membantu sekuriti. Sukar bagi seluruh siswa berkeliaran pada malam hari, hingga Ali sekalipun yang memang kesulitan menemukan rasa kantuknya, harus bisa menerima kalau-kalau teman-temannya tak ada yang sanggup menemaninya bergadang hingga larut malam.

“Waahhh dasar pecundang lu semua tuh, jam segini udah pada tidur kayak ciwi-ciwi aja!” Celoteh Ali sembari menendang meja di hadapannya.

“Iyah emang pecundang bapak mah Al, udah tua juga dan gak bisa diajak bergadang yah. Sok atuh silahkan kamu kalau mau keluar cari angin mah bapak ijinin, daripada di sini nendang-nendang meja gitu, ganggu yang lain kasian berisik.” Pungkas salah seorang lelaki paruh baya dengan dialek sundanya yang kental.

Dalam seketika tubuh Ali seolah membeku mendengar jawaban atas celotehan kesalnya itu. Pun ia ternyata sedari tadi tidak menyadari keberadaan sosok gurunya di sana, karena memang kondisi kelas gelap sekali dan kebetulan jua posisi gurunya berada dipojokan kelas tak terjangkau oleh pandangannya. Malu sekali rasanya jika menjadi posisi Ali saat itu, lagipula salah siapa coba sampai-sampai mendatangkan kata pecundang dari mulutnya, selain memang kesalahannya sendiri yang tak membiasakan diri untuk tidur pada jam-jam tersebut.

Untung saja Pak Nanan bukanlah tipe orang yang temperamental terhadap siswa-siswanya. Jadi, ujaran spontan semacam itu malah ia respon dengan santai sahaja, tanpa amarah sedikitpun. Pula ia memang terkenal dengan sering memberi petuah kepada guru atau siapapun dengan bahasa sundanya, seperti ini:

“Kalau menghadapi anak muda mah, kitanya jangan mudah baperan atuh. Banyak-banyakin sikap ngewajarin aja, karena memang bapak atau ibu guru juga pernah muda pasti yah. Jangan saling egois ah pamali saur sepuh oge! Nu penting mah barudak kudu parinter jeung rarajin sakolana, da bapak yakin barudak nu sakola didieu mah saroleh. Omat nya kudu kitu ai geus takdirna jadi guru nu diamanatan ku kabeh masarakat jang ngadidik mah.”

Selepas memastikan kembali ijin itu benar-benar diberikan oleh Pak Nanan, Ali tak ingin berlama-lama lagi untuk berdiam di kelas. Kerana memang menjemukan sekali menanti-nanti hal yang tak tahu juga kapan kedatangannya akan tiba, walaupun terdengar sederhana hanya sekadar memejamkan mata dan beristirahat. Kenyataannya, justru akan sulit untuk seorang laki-laki yang membiasakan menongkrong bersama teman-temannya ataupun hanya berkelana mengelilingi kota menggunakan sepeda motornya, sebelum ia benar-benar ingin tidur.

Di antara sisa bebungkusan makanan yang tampak berserakan di dekat api unggun. Ali terlihat mengeluarkan buku catatan kecilnya dan menuliskan:

“Aku tak ingin menjadi engkau, yang diperebutkan mereka ketika merasa lemah. Dan ditinggalkan ketika mereka sudah merasa kuat.”

Kemudian ia memandangi sisa bebotolan minuman. Seraya menulis kembali:

“Aku tak inginlah menjadi engkau, yang dibutuhkan mereka ketika layu. Dan dilemparkan jauh ketika mereka sudah merasa mengkar.”

Tak puas dari itu, Ali memandangi api yang hampir memadam. Dengan menuliskan:

“Aku pula tak inginlah menjadi engkau, yang digandrungi mereka ketika membeku. Dan dipadamkan ketika mereka sudah merasa terbakar.”

Terakhir, ia sebelum menutup lembaran demi lembaran catatan kecilnya. Ali menuliskan:

“Aku tetaplah aku, yang tak ingin diperebutkan, dibutuhkan, juga digandrungi, ketika mereka merasa nyaman. Dan ditinggalkan, dilemparkan, dipadamkan, ketika mereka sudah merasa bosan.”

Ali menyimpan buku catatan tersebut ke dalam saku celananya. Ia berpikir beberapa sitasi tadi sepertinya dapat ia kembangkan lagi, ketika nanti dibutuhkan untuk menciptakan sebuah lagu. Namun, seolah masih terbawa suasana bibirnya spontan berucap:

“Malam ini kenyataannya terasa begitu hening. Akan tetapi, mengapa untaian kata-kata indah itu bising sekali silih berunjuk gigi dalam kepalaku. Apakah benar adanya? Sebuah kebijakan sendiri terlahir dari seseorang yang menganggap hatinya begitu hampa dan sunyi! Arrrghhh...Amat mujur sekali ternyata orang-orang yang patah hati itu dapat menjadi bijak!”

Hari pun berganti, rembulan seolah melambaikan tangannya pada tumpukkan kekayuan nan terkikis oleh baraan api semalam. Meninabobokan seekor burung hantu nan menghinggap di atas pepohonan. Melenyapkan cecahayaan dalam sorot mata para lelawa. Membangunkan insan-insan dalam sebuah kenyamanan mantalnya. Sepagi buta ini, jadwal kegiatan harus segera dilalui kembali oleh seluruh peserta kegiatan di sekolah tersebut. Mulai dari solat berjamaah dan berlanjut dengan meregangkan otot-otot untuk melakukan senam bersama-sama.

Keceriaan tentu harus terlibat di sana, pilihan-pilihan lagu berirama riang menjadi pilihan utama dari seluruh siswa. Semua terlihat kompak mengenakan seragam olahraga masing-masing. Menggemulaikan gerakan badannya mengikuti arahan dari pelatih senam. Bersorak-sorak dan silih menertawakan satu sama lainnya. Hingga tanpa sadar keringat demi keringat pun mulai bercucuran kerana sang mentari semakin terik di atas kepalanya masing-masing.

Sesaat sejenak irama itu terhenti. Para guru berencana memilih perwakilan siswa-siswinya untuk menjadi tutor bagi teman-temannya sembari menemani pelatih senam di depan lapangan sana. Dan alangkah terkejutnya, ketika pilihan itu ternyata jatuh ke tangan Ali dan Lunar. Semula gerakan mereka berdua terlihat begitu semangat dan bertenaga, kini seakan-akan kaku begitu saja. Masing-masing darinya merasa tak fokus bukan hanya karena bergoyang-goyang di depan siswa semata, melainkan logika-logika yang muncul dalam pikirannya amat sangat menggangu mereka.

Pertama-tama, logika seorang Lunar berkata-kata: “Jikalau aku berkenan maju ke depan, bisa-bisa Alvi setelahnya marah dengan dalih aku mencuri-curi kesempatan dalam kesempitan untuk berduaan dengan laki-laki itu.”

Kemudian berlanjut logika Ali berkomentar: “Jikalau aku bersedia untuk menjadi tutor di sana bersama wanita itu, bisa-bisa nanti masalah dengan Alvi berkepanjangan lagi, disangka aku cari perhatian lagi sama pacarnya.”

Kedua kalinya, logika Lunar kembali berujar: “Jikalau aku tak maju ke depan sana, bisa-bisa nanti malah Alvi mikir aku masih punya perasaan sama laki-laki itu, sampai-sampai jadi salah tingkah begini untuk senam juga.”

Dipungkas lagi dan lagi oleh logika Ali dengan berceloteh: “Jikalau aku tak maju ke depan sana sekarang, bisa-bisa nanti Lunar kepedean dan mikir aku belum bisa move on juga darinya, sampai-sampai hanya untuk menjadi tutor pun keberatan.”

Logika-logika itu nan kini terus bersemayam di dalam kepalanya masing-masing. Sampai-sampai kegiatan senam itu terhenti beberapa saat hanya karena mereka berdua belum jua berkenan untuk maju ke arah depan sana. Ditambah lagi entah kebetulan atau apa, para guru tampak seakan-akan tak mau memilih kandidat lain menggantikan mereka berdua. Sebab, tujuan mereka tak lain hanyalah melatih mental seluruh siswanya agar kelak tak menjadi pribadi yang pemalu jika dalam kegiatan apapun ditunjuk sebagai perwakilan.

“MAJU...MAJU...MAJU...” Teriak seluruh siswa serentak berulang kali.

Kian berdebar tak karuanlah detak jantung mereka. Walaupun dalam kondisi panas serta berkeringat seperti itu, tubuh masing-masingnya pula seolah merasakan kebekuan dari setiap aliran darahnya. Hingga gerak-geriknya jua tak terpungkiri tampak menjadi gelagapan dan tanpa sadar hal itu menjadi sebuah tontonan menggemaskan bagi teman-temannya yang berada di sana. Hingga seperti tak kuat lagi menahan teriknya mentari yang menyorot, terjadilah penyuruhan paksa dari salah satu siswa di dekatnya kepada dua orang tersebut, guna menuruti kemauan daripada gurunya agar kegiatan senam pagi itu cepat-cepat berakhir. Jika sudah begitu, mau bersikeras tetap menolak dengan cara seperti apapun juga akan sulit dan mustahil.

Akhirnya, satu-persatu dari mereka mau mengalah juga. Mulai dari sosok Lunar dulu yang terlihat berjalan keluar dari barisan siswa-siswa. Diikuti dengan sosok Ali yang tampak berusaha menyembunyikan ketidakpercayaan dirinya dengan sering kali menyibakan rambutnya nan terasa selalu berjatuhan.

Sesampainya berdiri di depan sana, mereka seolah-olah sepakat untuk memberikan jarak nan lumayan jauh satu sama lainnya. Namun, tetap saja kegiatan senam tersebut belum jua dimulai, entah karena tidak enak untuk dilihat dengan seksama atau entah benar-benar sedang kurang mujur sahaja mereka berdua. Pak Suryono sendirilah yang tampak terjun ke sana membetulkan posisi Ali dan Lunar hingga mereka berposisi berdampingan tanpa dibatasi ruang kosong sedikitpun.

“CIEEEE...CIEEEE...HAHAHAHAHA...”

Gema seluruh siswa menyambut keputusan Pak Suryono yang mendekatkan mereka berdua.

“HATI-HATI ADA YANG CEMBURU AL!” Terdengar jelas disela-sela gema tertawaan seluruh siswa. Seseorang berteriak seperti itu dengan lantangnya.

Lantunan lagupun berdendang cukup kencang. Mengumandangkan atmosfir bahagia dari muda-mudi di sana. Ali dan Lunar nan semula tampak kaku menjadi tutor pun, kini mulai perlahan terbiasa menikmati setiap iramanya, bahkan keberadaan mereka berdua juga telah diakui sebagai pasangan serasi dalam menyadur gerakan pelatih senam dihadapannya tanpa kesalahan sedikitpun. Namun, lagi-lagi kejadian itu memicu kemarahan Alvi sebagai kekasih Lunar yang tak menerima gerak-gerik keduanya seolah berlandaskan pada sebuah perasaan.

Alvi berniat mendekat ke arah dimana keduanya sedang asyik menari-nari mengikuti irama senam yang diperagakan oleh pelatihnya. Nafasnya sudah terdengar mendengus, seolah tak kuasa menahan lama-lama puncak amarahnya. Kepalan tangannya mengeras bagaikan kepala palu nan siap menancapkan pakunya melewati kerasnya sebuah tetembokan. Langkah kakinya pun tampak semakin kuat dalam setiap hentakannya, bak seekor banteng besar menemui sehelai kain berwarna merah.

Dalam hitungan detik, sosok Alvi tengah berlari menuju ke arah dimana Ali berdiri. Akan tetapi, sebelum niatnya itu dapat berjalan dengan mulus, dari kejauhan terdengarlah seorang lelaki berkata dengan nyaringnya:

“AL AWASSSSSSS DI BELAKANG LU!!!!!”

Sontak, Ali yang mendengar teriakan itu spontan langsung membalikan badan dan menepis dengan sekuat tenaga kepalan tangan Alvi, sampai-sampai keduanya terlihat bergulingan dan silih membalas pukulan satu sama lain. Beberapa siswa dan guru yang berada di sana seketika melerai perkelahian itu dengan berupaya memisahkan jarak di antara keduanya. Namun, bukanlah karakter Ali bila dengan mudahnya dipisahkan begitu saja. Ia justru balik menantang berkelahi ke semua orang yang berusaha melerainya tadi, karena Ali merasa tersinggung bahwa mereka telah berani-beraninya mencampuri urusan pribadinya dengan Alvi.

“MONYET LU SEMUA. SINI MAJU SATU-SATU LAWAN GUA!!!!!!!” Ali menunjuk ke arah teman-temannya. Sikapnya semakin membabi buta.

Tak lama setelah Ali berbicara seperti itu, datanglah seorang laki-laki dengan didampingi seorang wanita, ia berkata:

“Mau sampe kapan emosi lu kayak gini? Udahlah tenangin, coba berlapang dada aja!”

“ROBI...? IRMA...?”

Jawab Ali terkejut. Seketika itu raut wajahnya berubah drastis. Nafasnya perlahan mulai teratur. Tangannya berulang kali menggisar kedua matanya, memastikan bahwa saat itu ia benar-benar tidak sedang bermimpi melihat sosok Robi berada lagi di sana. Bukankah menurut kakaknya dia sudah divonis hakim? Mengapa bisa dia dibebaskan secepat itu? Bagaimana bisa sih?

Beribu-ribu pertanyaan menohok tersebut tak lama jua mendatangkan sosok Bunga sendiri yang berjalan beriringan dengan Cindy menghampiri keberadaannya. Bunga berniat menjelaskan segala bentuk rasa kepenasaran adiknya. Namun, sebelum menceritakan lebih jauh, ia memulainya dengan berkata:

“Maafin Kakak, waktu itu semua cerita tentang Robi sengaja kakak buat ngawur, biar kamu enggak banyak pikiran dulu. Dan semua rencana itu juga atas persetujuan Robi kok.”

Lihat selengkapnya