Semua Untuk Raya

Aiden
Chapter #1

Kisah Pertama : Tentang aku, Bunda, dan Arsena


Terlahir sebagai kembar, bukanlah sesuatu yang luar biasa. Camkan kalimat itu. Apa yang bisa dinikmati? Mempunyai sahabat abadi bukan berarti seluruh masalahmu bisa mudah terlewati. Bahkan tidak jarang bibit-bibit permasalahan muncul akibat orang yang dilabeli sahabat abadi.

Berbicara tentang Arsena—saudara kembarku—daripada dipanggil kembaran, dia lebih mirip dengan setan tak berperasaan. Sejak kecil, ia paling lihai dalam mengelabui keluarga sampai berhasil menyematkan julukan 'anak malaikat yang menggemaskan' pada namanya sendiri. Sementara itu, julukan berkonotasi negatif berhasil melekat erat dalam nama Brayatanu. Semua berkat kerja keras Arsena dalam berdalih.

Dulu, saat Arsena bertingkah tanpa diketahui, Ayah adalah satu-satunya orang yang menyadari. Ia tidak pernah hanya memarahi satu anaknya, justru kami berdua sering kedapatan dihukum bersama. Hubunganku dan Arsena bahkan tidak seburuk sekarang. Mungkin, hilangnya sosok Ayah membuat kami sekeluarga terguncang.

Semenjak kematian Ayah pula Bunda jadi sangat keras terhadapku. Rasanya, seluruh harapan tinggi milik Bunda ditumpuk ke bahuku yang tak seberapa kokoh. Berbeda dengan Arsena yang jauh diberi kebebasan, tiap prestasi miliknya akan selalu dielukan. Seolah-olah pencapaianku hanya sebatas kewajiban yang tak berkesan, sementara milik Arsena merupakan rekor paling diidamkan.

Sabtu damai yang harusnya bisa dipakai bersantai, perlahan berubah semraut kala teriakan Bunda menyapa rungu. Aku sedikit tersentak lantaran pekikan diiringi pintu kamar yang terbanting sukses mengusik kegiatanku.

"Brayatanu!" Bunda berdiri di ambang pintu dengan mata garang menguliti. Aku sudah berhenti memetik senar, atensi sepenuhnya tercurahkan ke arah wanita jelita di sana.

"Kamu pecahin vas punya Bunda, ya?!" todongnya tanpa repot-repot bertanya terlebih dahulu. Bunda sangat meyakini ucapannya barusan, tak terlihat setitik keraguan dalam raut penuh rasa kesal.

Aku lantas mengerutkan kening bingung. Sejak selesai sarapan, tungkaiku belum kembali menginjak ubin di luar kamar. Boro-boro tahu tragedi vas milik Bunda, menyadari mentari sudah berkelana jauh dari peraduan saja baru setengah jam lalu.

"Mas enggak tau. Coba tanya Sena."

"Kenapa jadi Sena, sih? Bunda lagi nanya kamu!" Bunda mendekatiku dengan tangan berkacak pinggang. "Jujur sama Bunda." Ia masih teguh mempercayai pelaku dibalik rusaknya vas seharga jutaan itu adalah aku. Brayatanu Diaskara si brandalan yang hobi menggenjreng gitar di kamar.

"Bukan, Mas —" Usahaku membela diri dipotong secara dramatis oleh kemunculan kembaranku bersama peliharaannya.

"Bun .... " Kepala Arsena menyembul dari balik pintu, diikuti ngeongan neko dalam dekapannya. Mata Arsena tertuju padaku, ada binar-binar menyebalkan dari balik tatapannya yang luput dari penglihatan Bunda.

Lihat selengkapnya