Manikku menatap buku partitur musik dengan tanpa gairah. Bingung harus mulai dari mana untuk menciptakan nada paling menggugah. Biasanya seniman ternama mengambil sejumput kisah pilu dari kehidupan sebagai inspirasi, lainnya menjadikan kisah indah sebagai landasan berfantasi. Tapi itu semua sama-sama sulit untuk orang sepertiku, yang hidup dalam rona abu-abu. Entah harus goreskan kisah berbahagia atau bersedih ria.
Pernah sekali aku menyetorkan kertas pertitur ke dosen pengampu. Beliau mengetes not tiap not yang membawaku masuk ke jurusan seni musik. Usai menekan tuts terakhir, keningnya mengerut dalam.
"Pieces milikmu sangat membingungkan. Batas antara sedih atau senang tidak ada sama sekali. Bagaimana bisa pendengarmu mengerti jika begini?"
Sejak saat itu aku menyadari, rasa sangatlah penting di tiap karya. Tanpanya, karyamu terasa hampa yang bisa jadi membingungkan penonton. Kemudian, perjalanan menumpahkan rasa dalam suatu gubahan tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan.
Berkat ucapan Bunda, aku merasa semakin terkungkung dalam bayangan kalimat tak mengenakkan. Kepalaku bagai memagari imaji yang sejak pagi aku biarkan menggali sekepingan memori. Nahas, semua buyar begitu saja.
"Mas, ada di dalam?" Ketukan pintu dan suara Arsena mengambil alih perhatianku dari menulis not-not musik. Belum sempat menjawab, kepala Arsena lagi-lagi menyembul dari sana. Seperti sudah kebiasaan.
"Oh, ada. Kirain pergi."
"Mau pergi ke mana, deh? Mas sibuk mikirin UAS yang gak habis-habis. Daripada keluyuran, mending selesaikan semua beban-beban ini," dengusku dengan tubuh yang kembali memaku ke buku partitur.
Aku membelakangi Arsena, tapi masih bisa menebak pergerakannya yang sedang menjajah kasurku—tak jauh dari meja belajar. Suara derit samar menyapa kuping sewaktu ia melemparkan diri ke sana.
"Mas, minggu depan aku mau pergi menginap sama teman-teman band-ku. Ke puncak Bogor, sih." Penjelasan Arsena hanya aku hadiahi dehaman. Jemariku masih sibuk menulis pada buku partitur, berusaha melanjutkan proyek setengah mangkrak ini. Lagipula, untuk apa dia bercerita? Aku tidak peduli.
"Terus aku di sana 3 harian. Aku sudah izin ke Bunda, langsung diiyakan asal tidak aneh-aneh. Kata temanku, vila milik Kak Deon itu nyaman banget. Kita berencana jalan-jalan, main, terus membuat pesta BBQ. Seru, kan?" Arsena masih dalam posisi berbaring karena kasurku tidak menimbulkan bunyi sama sekali. Aku tidak tahu pasti ekspresi macam apa yang ditampilkan, dan lagi-lagi aku memilih untuk tidak terlalu menanggapi, hanya sebatas memberikan dehaman singkat.
"Mas, jawab dong!" protesnya kala tak kunjung mendapat jawaban memuaskan dari mulutku.
Mau tidak mau aku menoleh. Kasurku mulai berderit cukup brutal selagi Arsena berganti posisi, ia sudah duduk di pinggiran dengan manik yang memantulkan kekesalan. "Mau jawaban bagaimana?" tanyaku kalem seolah tak terganggu akan eksistensinya di kamar.
"Kasih reaksi gitu! Masa aku sudah cerita banyak hal malah dihadiahi dehaman saja."
"WAH! Liburan Sena seru sekali, ya! Mas jadi mau ikut juga." Aku menampilkan wajah sok senang meski nada suaraku sedatar papan triplek.
Arsena masih tidak puas, namun dia tetap menimpali. "Ayo kalau Mas mau ikut. Aku sudah izin ke Bunda dan Kak Deon juga tidak mempermasalahkannya." Kali ini aku yang menampilkan raut kesal. Apa-apaan itu?
"Minimal tanya dulu. Kalau Mas masih ada urusan bagaimana?" Tidak hanya menoleh, tubuhku sudah sepenuhnya menghadap Arsena. Dia kelihatan senang setelah sukses mencuri perhatianku seutuhnya.
"Besok kan UAS terakhir. Aku punya teman yang satu kampus dengan Mas Raya."
Bola mataku langsung berotasi malas. Kalau ajakan dia ditolak, pasti Bunda yang akan maju dan membujuk sampai aku mengiyakan. Lagian, tumben sekali Arsena mengajakku pergi bersama teman-temannya tanpa menanyaiku terlebih dahulu.
"Aku merasa ... kita semakin jauh, Mas."