Semuanya Asumsimu

Muhammad Ridhoi
Chapter #1

Prolog

Membual. Aku tahu dia sedang membual. Sedangkan di hadapannya kini, aku cuma diam. Mendengarkan segala alasan yang dia pikir logis, tapi aku tak memercayainya. Padahal, sudah beberapa minggu ini aku melarangnya bertemu dengan laki-laki itu. Dia mengiyakan. Tapi, nyatanya itu cuma bualan semata. Kalau tidak ketahuan, aku yakin, dia akan melakukan hal yang sama lagi.

“Lantas?,” tanyaku.

“Kamu itu percaya nggak sih sama aku, Bis?”

Aku menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menahan emosi atas apa yang dia ucapkan barusan. Aku yang dulu mungkin masih bisa memercayainya. Sungguh. Sebelum akhirnya, keragu-raguanku muncul setelah dia berbohong kepadaku. Dan itu, sungguh menyakitkan.

“Kita udah berjalan dua tahun, loh. Kamu masih saja meragukanku?”

Lagi-lagi dia menganggap seolah semua ini salahku. 

“Aku masih bisa percaya sama kamu. Tapi, aku perlu alasan untuk itu. Bagaimana caraku memercayaimu, sedangkan kamu saja selalu menghindar saat kutanya alasannya.”

“Udah aku bilang, dia itu cuma temen. Kami cuma satu sirkel, sama kayak kamu sama Dian dan Rico, dan Tania…”

“Tania itu pacarnya Rico. Kamu tahu itu…”

“Dan Aji juga sudah punya pacar. Kamu juga tahu.”

Tanganku mengepal. Mencoba menahan sesuatu yang sebaik-baiknya kupendam. Aku tak ingin masalah ini tambah semakin runyam. 

“Terus kamu menganggap aku itu apa?,” tanyaku, dengan nada pelan tapi menohok.

Dia membisu. Tak bisa mengungkapkan kata-kata yang sepertinya hampir saja dia ucapkan. Aku semakin tersulut. Segera aku meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dia berusaha meraih, tapi aku tangkis dengan kasar. Dia mengerang kesakitan. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin mengetahui kebenarannya.

“Ini yang kamu sebut cuma teman?”

Aku meletakkan ponselnya di hadapannya. Dia membisu, setelah aku menunjukkan foto yang kutemukan dalam galerinya.

“Teman macam apa yang saling pegangan tangan?”

Dia masih membisu. Dadaku makin sakit. Sesak. Aku kembali menarik nafas dalam-dalam agar emosiku tetap terkontrol. Agar aku bisa mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang masih membebani pikiranku.

“Bisma… aku bisa jelasin ke kamu…” Suaranya mengecil. 

Aku berusaha tetap tenang. Menahan nafas, menahan emosi, menahan diriku sendiri agar tidak meledak. Tapi hatiku berontak. Kepalaku panas. Dadaku sesak.

Dia masih berusaha bicara. “Bisma… aku bisa jelasin ke kamu. Sungguh. Ini semua nggak seperti yang kamu pikir.”

Aku menyipitkan mata. “Lagi-lagi itu kalimatnya. Sama. Persis.”

Lihat selengkapnya