Semuanya Asumsimu

Muhammad Ridhoi
Chapter #2

Pertama: Penyesalan Terdalam

Aku telah gagal sebagai kekasih. Setelah sekian purnama aku mengabaikan Cipta, kali ini dia benar-benar memutuskanku.

“Kita udah nggak sejalan lagi, Bis. Kita selesai."

Pesan itu baru saja kuterima beberapa jam yang lalu. Dan, sekarang, aku benar-benar dilanda kegalauan lagi.

Pukul 01.22, aku merenung di depan kos. Setelah berjam-jam berkendara tanpa arah. Memutari jalanan Malioboro dengan harapan bisa menemukan bahan liputan. Namun, tak satupun aku menemukan sesuatu yang bisa kutulis. Di atas motor, aku tak pernah lepas memikirkan masalah yang baru saja menimpaku. Lagi-lagi kacau. Aku menunduk, memijit pelipisku yang terasa sedikit pegal. Lalu merogoh saku jaket. Meraih sebungkus rokok kretek dan korek api gas yang hampir habis. Kugigit batangnya, lalu kusulut perlahan. Api menyala dengan bunyi “cekrek”, lalu bara merekah di ujung. Kutarik nafas dalam-dalam, membiarkan asap mengisi paru-paru yang terasa hampa. Bara api merekah, menyala, lalu jatuh, dan padam. Dingin yang sejak tadi kurasakan, perlahan mulai terasa hangat. 

Aku mengepulkan asap rokok di tengah kesepian malam, ditemani suara jangkrik yang saling bersahutan. Untuk kesekian kalinya aku merasa hampa. Namun, kali ini tidak benar-benar hampa. Sebab aku sudah merasakannya, jauh sebelum Cipta mengakhiri hubungan ini. Atau jika aku boleh berkata: aku adalah antagonis dalam kisah semua perempuan yang pernah mencintaiku. Aku hampir merasa biasa saja ketika mendengar kata putus itu. Entah, aku merasa hanya hampa saat aku menjalani hubungan dengannya selama ini.

Semuanya gara-gara seseorang yang sudah merenggut kebahagiaanku ketika kuliah dulu. Aku menjalani hubungan cinta, tanpa tahu akhir dari kisah itu. Sampai sekarang bahkan aku tak pernah menemukan alasan yang tepat: mengapa dia tiba-tiba hilang, pergi, dan tak pernah lagi hadir di kehidupanku. Kami belum sempat mengakhiri hubungan kami satu sama lain. Sebab, aku tahu, kami juga tak pernah memulainya. 

Aku juga tak pernah merasa sebegitu kosong ini. Bukan karena kehilangan Cipta. Tapi karena perasaan yang seharusnya kutanam untuknya … ternyata telah lama mati. Bahkan sebelum sempat tumbuh. Aku menjalin hubungan dengan seseorang, berharap bisa mengisi ruang kosong di dadaku. Tapi nyatanya, yang kulakukan hanyalah menutup lubang luka dengan suatu plester kecil yang bernama pengalihan. Aku tidak pernah benar-benar mencintai Cipta. Aku hanya … mencoba menyembuhkan luka yang bahkan belum sempat kututup. Luka itu masih tentang dia. Tentang masa kuliah dulu.

Dua tahun. Dan aku masih saja begini. Dia telah lama menghilang dari hidupku. Tapi tidak dari pikiranku. Dan juga, tidak dari hatiku. Dia seakan punya ruang khusus dalam dadaku, yang tak pernah seorangpun bisa menggantikannya. Aku tidak tahu, dan tidak pernah tahu apa alasannya. Aku ingin tahu alasannya. Tapi, aku tidak tahu harus ke mana untuk mencari alasannya. Yang aku bisa lakukan hanyalah, berasumsi. Membuat seribu kemungkinan yang menjadikannya alasan untuk pergi dan mengabaikan komitmen ini. Kami tidak pernah berpisah. Karena untuk berpisah, setidaknya kami harus pernah benar-benar bersama. Tapi hubungan yang hanya sebatas komitmen ini, membuat semuanya runyam. Sebuah janji tak diucap yang dibiarkan menggantung di udara, tanpa pegangan, tanpa kepastian. Dan ketika ia perlahan menjauh, aku tak bisa mencegahnya. Sebab sejak awal, aku memang tak berhak.

Pukul 01.47. Aku menyulut rokok kedua. Lebih cepat kali ini. Sisa tembakau dari batang pertama masih terasa di lidah. Panas di dadaku lebih dari cukup untuk menggantikan kopi atau nasi. Kehilangan membuatku kenyang dengan rasa bersalah.

Kini, dia bersama orang lain. Dengan hubungan yang jelas. Berpacaran.

Tidak seperti saat bersamaku dulu—sebuah komitmen tanpa status. Tempat untuk mengeluh, tanpa hak untuk cemburu, tanpa alasan pula untuk bertanya: “Kita ini sebenarnya apa?” Sungguh itu membuat pikiranku kacau lagi. Kalau dulu alasannya adalah trauma dari perceraian orang tuanya, lantas kenapa sekarang dia bisa berpacaran dengan orang lain? Apa karena laki-laki itu lebih sabar dariku? Lebih tampan? Lebih kaya? Lebih mudah dipercaya? Atau, lebih dari segalanya daripada aku? Atau ironisnya lagi, mungkinkah aku hanya pelampiasan atas pupus cintanya yang dulu?

Sialan.

Aku menyesal. Tapi bukan karena aku menyia-nyiakannya. Aku menyesal sebab ternyata, aku tak pernah cukup dari awal. Tak pernah cukup dewasa. Tak pernah cukup tenang. Aku menyayanginya, tapi terlalu takut kehilangannya. Hingga akhirnya, akulah yang mendorongnya pergi lebih cepat dari seharusnya. Dan sejak saat itu, aku merasa tak ada satupun hubungan yang terasa layak.

Aku pikir, dengan kemudian berpacaran dengan Cipta, aku bisa menutup lubang itu. Tapi rupanya tidak. Aku malah dihantui oleh rasa bersalah, karena menggenggam tangan yang bukan milik masa laluku. Aku merasa sedang mengkhianatinya. Seakan-akan aku sedang mencemari sebuah komitmen yang dulu kami bangun. Sebab aku merasa, itu belum selesai. Padahal… sudah dua tahun. Dan kami bahkan tak lagi saling menyapa. 

Aku mendongak ke langit. Gelap. Tapi bintang-bintang seperti ikut memperhatikanku yang sedang remuk. Aku menarik nafas panjang, dan akhirnya menyulut rokok ketiga itu juga. Api menyala. Bata menyembur pelan. Lalu padam lagi. 


***


Alarm di ponselku meraung nyaring, membelah keheningan kamar yang masih gelap gulita. Aku mengerjap pelan, lalu menyipitkan mata ke arah layar yang menyala. 

Pukul 07.03. 

Sialan. Aku bangkit secepat mungkin, sampai-sampai hampir tersandung kabel charger. Kepalaku masih berat, bekas begadang semalam di depan kos. Belum ada sepercik air pun yang menyentuh kulitku sejak tadi malam. Tapi, tak ada waktu untuk itu. Tanpa mandi, aku hanya mencuci muka dan menyeka sisa kantuk dengan handuk kecil yang tergantung di belakang pintu. Setelah itu, asal-asalan mengenakan kaus rapi dan celana jeans. Rambut? Kuusap asal dengan jari. Sehingga menyisakan gaya acak yang pas untuk orang yang dikejar waktu. 

Tas ransel berisi laptop dan buku catatan kuraih, lalu keluar kamar sambil mencomot kunci motor dari gantungan. Mesin tua motor Supra meraung kasar saat distarter. Tak ada waktu untuk sarapan. Bahkan kopi pun tak sempat kuseduh. Aku melaju secepat mungkin ke arah kantor. Sampai di Kaliurang, jalanan sudah mulai padat. Tapi motorku terus meliuk-liuk, menyalip siapapun yang menghalangi. Jogja di jam-jam menjelang delapan pagi selalu begini—terlalu ramai untuk kota yang katanya slow living. 

Sesampainya di kantor, tepat pukul 07.52. Aku memarkir motor di deretan yang hampir penuh. Aku masuk lewat pintu samping, agar bisa langsung ke ruang tim liputan. Begitu aku masuk, aroma kopi, pop mie, dan pendingin ruangan menyerbu wajahku. Terlihat rekan satu departemenku, Idhok, sedang membuat pop mie di dapur.  

“Bikinin satu ya, Dhok,” sapaku, sambil berkelakar.

Idhok menoleh. “Gile lu, Ndro. Baru dateng udah nyuruh bikinin. Minimal absen dulu sana.”

Aku meletakkan tas ke meja panjang di pojok ruangan, tempat biasa untuk rapat redaksi. Belum sempat menarik kursi, aku kembali ke dapur. 

“Serius, Dhok. Aku belum makan dari kemarin sore. Pop mie rasa soto bisa menyelamatkan hidupku ini.”

Idhok mendesah panjang, tapi mulutnya masih menyungging senyum. “Lha, kayaknya kemarin kamu juga abis bikin pop mie. Tiap hari sarapan pop mie, menyala nanti lambungmu, Bis.”

Lihat selengkapnya