Semuanya Asumsimu

Muhammad Ridhoi
Chapter #3

Kedua: Patah Hati Pertama

Mataku rasanya begitu berat. Lebam. Aku tidak bisa tidur. Lima hari berlalu setelah kejadian tragis menimpaku. Patah hati yang luar biasa baru kali ini aku rasakan. Tidak, mungkin bukan benar-benar luar biasa, tapi ini pertama kalinya aku merasakan sakit hati yang begitu dalam. Semenjak itu aku tak tahu harus berbuat apa. Seringkali aku termenung, berdiri di balkon sambil menghisap berbatang-batang rokok. Meratapi nasibku yang kian musnah diterpa angin malam Surabaya yang hangat. Hari-hariku kembali seperti sebelum aku mengenal Hera. Sendirian. Kesepian. Tak ada tempat untukku bercerita. 

Aku mengecek ponsel. Tidak ada pesan. Biasanya, Hera akan mengirimiku pesan dan meminta maaf karena ketiduran dan tak sempat membalas pesanku. Mengingat masa itu membuat relungku makin sengsara. Membuka laptop. Mencari ide untuk bahan tulisanku hari ini. Tapi urung. Pikiranku masih belum bisa lepas dari kegalauan yang menerpaku. Aku tidak bisa menulis dengan fokus lagi. Sialan. Aku benci dengan diriku yang sekarang. Sudah pukul enam pagi dan aku belum tidur. Padahal hari ini aku ada kuliah. Hidupku benar-benar berantakan semenjak saat itu.

“Bangsat,” keluhku, saat kudapati bungkus rokokku kosong. Segera aku membuka ponsel, menelepon Rico. Dia tidak menjawab.


Sebelum mengenal Hera, aku tak pernah semenyedihkan ini. Rasanya aku baru merasakan gagal dengan hubungan cinta semenjak kuliah ini. Atau, mungkin, sejak SMA? Entahlah. Saat SMA aku tak pernah merasakan jatuh cinta yang begitu hebat. Masa SMA kuhabiskan dengan membaca komik, buku, dan menonton anime. Jika ada peluang, aku biasa mengikuti lomba menulis berita. Beberapa kali menang juga. Itu yang mengarahkanku menjadi seorang penulis. Ah, ada satu lagi alasan. Aku mengenal seseorang yang suka dengan tulisanku. Aku memang lemah kalau ada orang yang menyanjung tulisanku dengan sepenuh hatinya. Aku penasaran dengan kabarnya sekarang. 

Dia, teman dekatku ketika SMA. Ketua kelas, dan aku wakilnya. Kami cukup akrab sampai-sampai dia sering mampir ke rumahku untuk meminjam buku. Kalau diingat-ingat, sifatnya seperti Hera. Energi positifnya selalu membuatku menjadi semangat. Sayangnya, aku tak berani menyukainya dulu. Dia terlalu silau bagiku yang sebatas remang-remang. Padahal dia juga satu kampus denganku. Tapi semenjak kelulusan, dia tak pernah menghubungiku lagi. Aku juga sama. Mungkin saja, dia sudah berpacaran dengan kakak kelas yang dia sukai dulu. Yang aku tahu, dia masuk kampus ini karena dia ingin dekat dengan orang yang disukainya. Aku harap, dia tak bernasib sama sepertiku: gagal. 

Aku kembali membuka laptopku. Mulai mengetik. Menghapus. Mengetik. Menghapus. Lalu aku menutupnya lagi. Sekarang aku tak bisa menulis seperti dulu. Hera bilang aku penulis yang hebat. Persetan. Buktinya, aku tidak bisa menghasilkan satu artikel pun semenjak patah hati. Padahal kata orang-orang, gunakan patah hatimu untuk menghasilkan tulisan. Nyatanya, tidak. Aku masih buntu. Isi kepalaku hanya dipenuhi kata “Maaf” yang Hera ucapkan. Kata itu masih terngiang di kepalaku. Seperti roller coaster yang berputar tanpa henti. Kini, aku terlihat sangat menyedihkan. Aku mematikan lampu kamar, lalu menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Menatap langit-langit kamar, menunggu rasa kantuk menyerangku. Semenit. Dua menit. Mataku masih tetap terbuka. Beberapa kali menguap, tapi mataku seperti tak mau aku tertidur. Aku paksakan dengan menutup mata. Namun, pikiranku tetap berkelana sehingga membuat mataku kembali terbuka.

“Cok,” umpatku kepada diriku sendiri.

Hampir satu jam aku tak kunjung terlelap. Segera aku berdiri, merogoh kaleng biskuit Tango yang berisi obat-obatan, lalu mengambil CTM yang masih terbungkus. Segera kuteguk dan kembali merengkuh di kasur. Aku biarkan pikiranku melayang, berkelana, meratapi nasib, dan berasumsi liar. Kubenamkan muka ke bantal agar tak lagi merasa ingin membuka mata.


***


Aku mendengar suara pintu terbuka. 

“Oi, Bisma.”

Silau. Mataku langsung merespon dengan membuka mata. Lampu kamarku menyala. Kudapati Rico berdiri dengan memegang saklar lampu.

“Cuk. Malah bolos lagi,” umpatnya. 

Dengan malas aku mengabaikannya. Rasa kantuk masih membebani mataku. Aku kembali mendekap gulingku dan memejamkan mata. Kali ini, tendangan kecil mengarah ke pantatku.

“Oi, bangun, Bisma. Udah jam berapa ini, kocak.”

“Apa sih, baru tidur aku,” jawabku malas.

“Lihat jam, kocak.”

Aku menggerayahi kasur, mencari ponsel. Ketemu. Kuraih dan menyalakan layar. Dengan mata sedikit terbuka, aku mengintip jam yang tertera di sana. Pukul 14.39.

“Udah sore ini, bangke.”

Yang benar saja. CTM benar-benar membuatku tewas sejenak. Aku meregangkan badanku. Kruk. Terasa lega. Segera bangkit. Membuang guling ke arah Rico. 

“Kenapa telpon pagi tadi?”

Aku berdiri, meneguk air minum dari tumbler.

“Ada rokok, nggak?”

“Buset, baru bangun langsung ngerokok.”

Rico merogoh sakunya. Mengeluarkan sebungkus Malrlboro dan menyodorkannya ke arahku. Aku mengambil sebatang, lalu membakarnya. 

“Kayaknya ada yang masih galau, nih,”

“Sssutttt. Diem, cok. Kalau mau ngeroasting gausah dateng ke sini.”

Rico tertawa lepas. Lebih lepas dari sebelum-sebelumnya saat aku ceritakan tragedi penolakan itu. Ironis sekali rasanya mendengar tawa lepas Rico yang seharusnya patut kusalahkan karena memberiku dukungan agar aku segera menembak Hera.

“Udahlah, cok. Kita ngopi aja. Refreshing. Udah lima hari kan kamu nggak keluar kosan?” 

“Ke mana?”

“Kopi Cangkir.”

Sejenak aku diam. Berpikir. Mungkin aku perlu udara segar agar aku bisa menghasilkan tulisan lagi. Lagipula, terus-terusan merenung juga tidak ada gunanya. Kata Rico, ini adalah konsekuensi dari cinta: patah hati. Aku harus bergerak. Sebab, Hera bukan satu-satunya perempuan. Masih banyak perempuan yang mau menerimaku. Katanya. Tapi aku masih skeptis dengan itu. Sejak dulu aku tak pernah mendapatkan pengakuan cinta dari siapapun. 

` “Oke.”

Aku mematikan rokok. Pergi untuk mandi. Sejurus kemudian, aku kembali dengan raut wajah yang segar. 

“Aku ngajak Dian, katanya OTW,” pungkas Rico. 

Aku mengangguk. Memasukkan laptop usangku ke tas. Lalu meraih ponselku.

“Gas.”


Setengah jam berlalu. Aku dan Rico sampai di depan kafe. Terlihat satu lagi temanku, Dian, sudah menunggu di tempat parkir. Kafe itu bernama Kopi Cangkir, langganan mahasiswa Kampus C Unair untuk mengerjakan tugas. Tak cuma mahasiswa, beberapa pekerja kantoran juga sering nongkrong di sini. Tempat ini cukup terkenal dengan kopinya yang nikmat dan suasananya yang nyaman. Tempatnya cukup luas juga. Aku juga sering menjumpai anak-anak organisasi yang rapat di sini. 

Saat aku masuk, aroma kopi yang segar menyeruak, membuatku beban perasaanku sedikit terangkat. Aku, Rico, dan Dian, memilih duduk di outdoor agar kami bisa merokok. Sepertinya hari ini cukup ramai pengunjung. Aku memutuskan untuk memesan Americano, sementara Rico dan Dian memesan Cappucino. Setelahnya, Aku menuju ke outdoor dan duduk. Ada beberapa kursi kosong. Dua meja ditempati muda-mudi yang pacaran, dan satu komplotan mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas sambil menggosip. Aku mulai duduk. Mengeluarkan rokok, lalu membakarnya. 

“Gimana kabarmu, udah lama nggak ketemu,” celetuk Dian.

“Serius nanya kabar ke Bisma? Lagi galau dia,” sahut Rico.

“Aman. Sehat ini. Gausah tanggepin omongan si fakboy ini.”

Lihat selengkapnya